Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Duka Nasionalisme dalam Cerita dari Tapal Batas Karya Kurnia Hadinata



Duka Nasionalisme dalam Cerita dari Tapal Batas Karya Kurnia Hadinata
Oleh:  Rizki Rohma

Kehidupan manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki warna-warni yang berbeda bak pelangi berwarna-warni terlihat cantik jika rintikan air membasahi bumi. Usaha kerja keras untuk memberikan warna yang berbeda pada tiap insan mewarnai ikhtiar seorang hamba bertahan pada dunia yang terkadang tak bisa bersahabat. Air mata, senyuman, derap langkah yang takpernah berhenti, kedua tangan yang selalu sibuk dengan kreatif yang diciptakan mengalir bak air yang tak pernah berhenti. Kreativitas itu tak pernah berhenti walau sampai helaian rambut memutih, keriput menghiasi wajah, dan derap langkah semakin melemah. Lakon cerita pada tiap jalan hidup tak pernah habis untuk dituliskan pada secarik kertas, setumpuk buku, dan segudang arsip. Pada secarik kertas yang berbendel nyata ataupun tidak nyata kisah kehidupan yang dilukiskan semua terwujud dalam sebuah prosa. Penghayatan dari berbagai fenomena hidup atau imajinatif yang dipadu dengan estetika menghasilkan karya sastra berwujud cerita pendek atau novel. Pengarang melukiskan tokohnya lengkap dengan segala alur dan konflik dirangkai dengan kata yang indah dan imajinatif dan sarat akan estetika.
Gaya penceritaan pengarang dalam merangkaikan kata menjadi kalimat menjadi paragraf dan menghasilkan cerita mampu membawa penikmat sastra menikmati cerita yang disuguhkan lengkap dengan maksud yang hendak disampaikan. Untuk mengungkapkan makna dibalik cerita yang tertulis pada lembar-lembar kertasnya pengarang memasukan unsur-unsur seperti tokoh, alur, latar dan tema.  Inti dari cerita atau pesan dapat dirasakan penikmat sastra melalui tema atau tokohnya tergantung pengarang itu melukiskannya dan kebermaknaan dari tulisan pengarang itu sampai pada pemaknaan penikmat karyanya.
Dari situ kita bisa menengok pada salah satu sastrawan Indonesia yang telah menciptakan sebuat cerita pendek sarat akan makna penting mengenai tanah airnya. Kurnia Hadinata merupakan sastrawan Indonesia baru yang memberikan warna baru pula pada dunia kata pensastraan. Pada cerpennya yang berjudul Cerita dari Tapal Batas, ia menggugah jiwa nasionalisme generasi muda penerus bangsa. Ia menceritakan sosok pemuda Indonesia yang berasal dari kampung yang ada di plosok menimba ilmu kenegaraan jauh dari keluarga dan kampung halaman kemudian mengabdikan dirinya untuk negara yang penuh tantangan dan maut.Di dalam tugasnya ia sungguh-sungguh berjuang karena tempatnya yang benar-benar sunyi dan jauh dari segala kemudahan dan kemewahan, tetapi maut mengintai setiap saat. Pemuda itu berasal dari keluarga yang ikut berjuang mempertahankan negara Indonesia dari penjajah. Keluarga yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap tanah airnya, maka ia meneruskan perjuangan kakeknya yang mati di tangan penjajah untuk membela dan mempertahankan tanah airnya dari pihak-pihak luar yang ingin menghancurkan negara Indonesia. Akan tetapi, ia dikhianati oleh sahabat yang sudah dianggapnya sebagai saudara. ia menghianatinya bukan hanya sebagai sahabat tetapi juga menghianati negara Indonesia karena ia membantu pihak luar untuk menghancurkan Indonesia demi segepok uang yang dengan susah payah ia dapatkan. Lebih jauh lagi Kurnia Hadinata melalui bahasa tulisnya yang indah dan sederhana ia menceritakan bahwa pada masa itu gaji seorang pembela negara minim sekali bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga juga tidak sepadan dengan perjuangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, ada sebagian pembela negara demi segepok uang itu rela berhianat terhadap negara. Demi sesuap nasi seorang tentara yang seharusnya mencintai bangsanya sendiri harus berkhianat kepada pihak lain yang ingin menghancurkan NKRI. Sungguh ironi memang, rasa nasionalisme harus luntur karena kebutuhan yang tidak bisa dielakkan lagi. Gaya penceritaannya dimulai dari konflik cerita kemudian beralur mundur menjelaskan satu persatu peristiwa demi peristiwanya.
Tokoh-tokoh yang disajikan dalam cerita ini diceritakan dengan berbagai karakteristik yang berbeda-beda. Keberbedaan karakteristik itu memudahkan penikmatnya untuk memahami setiap tokohnya. Meskipun keberbedaan itu ada tetapi di setiap karekateristik yang muncul juga diselipkan jiwa nasionalisme atau berhubungan dengan nasionalisme terhadap bangsa. Diantara semua tokoh yang ada pada cerita ini, tokoh yang paling berperan yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan yang penting. Sosok seorang pemuda dengan nama Buyung yang berasal dari kampung di daerah Bukittinggi, Sumatera Barat. Buyung diceritakan sebagai tokoh utama yang selalu ada dari awal cerita hingga akhir cerita. Awalnya pemuda ini sama sekali tidak niatan untuk menjadi seorang tentara atau TNI, tetapi lambat laun ia ingin mewujudkan keinginan ayah dan kakeknya untuk meneruskan perjuangan mereka dalam membela dan mempertahankan NKRI. Sebelum menjadi tentara ia harus menempuh pendidikan tentara atau dengan nama Secatam atau Secaba di kota Padangpanjang jauh dari rumah dan keluarga. Setelah menjadi seorang tentara, jiwa nasionalisme Buyung tumbuh sedikit demi sedikit. Ia bersedia ditempatkan di plosok Indonesia yang butuh perjuangan karena tempatnya yang memprihatinkan dan maut mengancam serta gaji yang minim.
Ciri fisik tokoh Buyung pada cerpen ini tidak diceritakan. Kurnia Hadinata hanya menceritakan tokoh Buyung sebagai seorang anak laki-laki keturunan tentara yang berasal dari kampung di Bukittinggi. Diceritakan pula Buyung merupakan anak yang penurut pada ayahnya.
Inilah kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah karena aku ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin aku menjadi tentara, dan untuk itu dia mau melakukan apa pun.

Tokoh utama lainnya yang disebutkan dalam cerpen Cerita dari Tapal Batas adalah Ramses Situmorang. Secara fisik tokoh Ramses memiliki tubuh yang kuat. Tubuhnya tegap dan tinggi kekar. Dilihat dari fisiknya, sangat sesuai untuk menjadi seorang tentara. Karena memiliki tubuh yang kuat dan kekar, Ramses dijuluki Letnan Samson. Dari segi mental, tokoh Ramses mudah bergaul dan mudah akrab dengan orang. Ramses termasuk tentara yang disiplin. Akan tetapi, dalam urusan cinta, ia selalu gagal.
Ia mudah bergaul dan aku sangat akrab dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Di barak aku seperti mendapatkan seorang kakak laki-laki yang dulu selalu kuimpikan. Jika ada kesempatan, aku selalu mengajaknya pulang ke kampung halamanku di Bukittinggi, karena jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak terlalu jauh. Ia juga akrab dengan keluargaku, dengan ayahku.
Ia termasuk tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya tegap dan tinggi kekar. Segala lomba adu kekuatan stamina di barak —mulai adu panco, push-up, sampai lomba lari— ia nomor satu. Tak ada yang mampu mengalahkannya. Kami sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi masalah cewek dia paling apes. Setiap kali dia naksir cewek, cintanya selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk orang yang sangat setia dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami sama-sama jatuh cinta dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia lebih menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu menjadi pacarku.

Tokoh selanjutnya yaitu ayah. Secara fisik tokoh ayah tidak diceritakan secara jelas, tetapi hanya disebutkan bahwa tokoh ayah adalah seorang pejuang veteran yang berjuang membela bangsa Indonesia mengusir penjajah. Dari segi mental, tokoh ayah adalah orang yang keras kepala dan teguh pendirian. Sekali ia bermimpi, mimpi itu harus terwujud. Diceritakan pula bahwa tokoh ayah adalah orang yang rela mengorbankan apapun untuk mewujudkan impiannya. Tokoh ayah juga sangat mencintai bangsa Indonesia.
Aku masih ingat, tiga hektar kebun kopi milik ayah berikut sebuah sepeda motor Honda CB keluaran akhir 70-an ludes terjual. Ya, kebun kopi yang sangat produktif berbuah itu beserta motor kesayangan ayah terpaksa dijual demi memasukkanku ke sekolah calon tentara di kota Padangpanjang. Awalnya aku menolak karena aku tahu dan sadar ayah mempertaruhkan segalanya asal aku bisa masuk sekolah pendidikan tentara itu. Aku berusaha membujuk ayah untuk mengurungkan niatnya agar tidak memberikan uang pelicin.
“Sudahlah, Buyung, sekarang ini sudah jarang orang masuk Secatam itu tanpa uang pelicin, mumpung ini ada orang yang membantumu, Yung. Ayah ikhlas, dan hutang ayah sudah lunas kelak jika melihat kau gagah berpakaian loreng itu,” ujarnya waktu itu.
“Tapi, Yah, aku yakin aku bisa lulus tanpa pakai uang seperti itu. Jumlahnya tidak sedikit, Yah. Lebih baik untuk yang lain saja, untuk menjadi orang sukses itu tidak musti jadi tentara, Yah,” aku lagi-lagi mencoba merajuk membujuk ayah.
“Pokoknya Ayah ingin kamu menjadi tentara. Kamu harus bisa membanggakan keluarga, membanggakan almarhum kakekmu, karena kamulah anak laki-laki satu-satunya yang Ayah miliki,” balas ayah. Kalau sudah begitu aku pasti menurut pada ayah, sebab aku tahu persis tabiat ayahku: ia orang yang teguh pendirian.

Latar yang sangat tampak yaitu sewaktu tokoh Buyung kecelakaan helikopter pada awal cerita tempatnya tidak diceritakan dengan jelas nama daerahnya hanya disebutkan arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura, mungkin dekat dengan Papua Nugini. Keadaan pada saat itu sungguh mengenaskan karena semua isi helikopter tewas di tempat, kecuali Buyung yang terluka sangat parah. 
Letaknya entah di distrik atau kabupaten apa, kurang jelas karena kabut yang memangkas jarak pandang. Mungkin arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura. Mungkin juga tidak terlalu jauh dari perbatasan Papua Nugini. Di situlah aku kini tersungkur tak berdaya.
Kulihat tubuhku remuk, tak tentu bentuk, beberapa tulang lenganku tersumbur keluar, darahku telah membeku. Kepalaku, astaga wajahku sungguh hancur. Hampir seluruh bagian kepalaku tak dapat dikenali, tak utuh lagi mungkin terhempas ke benda keras. Ya semua serba berantakan, serba hancur, puing demi puing berserakan, sebahagian tergantung di dahan-dahan kayu.
Pilot dan copilot heli, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Lettu Penerbang Guntur, sudah tak bernyawa. Keadaan tubuh mereka lebih parah dari aku. Hery tubuhnya tergeletak dengan posisi tertelungkup. Kepalanya remuk dan sebuah besi panjang menancap di dadanya hingga tembus ke belakang. Lebih parah lagi Guntur. Tubuhnya nyaris sama sekali tidak dapat dikenali, terpotong, terpisah-pisah akibat diterjang baling-baling heli. Ah, sungguh aku tak bisa menceritakan keadaannya, sangat mengenaskan. Ya aku ingat sewaktu heli oleng tubuhnya terbanting ke luar dan langsung ditebas baling-baling. Sementara dua lagi temanku sama-sama penempatan di pos pengintaian di Arso, Serka Bambang dan Serka Dodi, mayat mereka tergantung di atas pohon dengan kondisi memiriskan dan tak lagi bernyawa. Hanya bunyi gemerisik suara radio HT yang mematahkan daun-daun. Kadang suara itu menyatu dengan gemericik tetesan hujan dan semilir angin yang tersasar di sela-sela kayu.

Kemudian tempat penugasan Buyung di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini. Tempatnya sungguh jauh dari hiruk pikuk kota raya, belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Keadaannya sungguh memprihatinkan dan ironis, masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam. Selain itu, di daerah ini sangat berbahaya karena maut mengancam sewaktu-waktu.
Ya hitungan waktu, tak terasa sudah memasuki bulan kedua aku di sini, di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini.
Di sini orang-orangnya fasih berbahasa Nugini, berbahasa Indonesia, atau bahasa suku setempat. Kadang sulit membedakan mana orang Indonesia atau yang mana orang Nugini. Semuanya serba campur aduk, inikah kehidupan tapal batas itu? Jauh dari hiruk-pikuk kota raya.
Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang dataran rendah aliran sungai.
Kadang kehidupan penduduk yang alami itu seperti mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Mereka masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam, ironis memang.
Inilah kehidupanku, jauh dari kesan kemewahan, jauh dari kesenangan hidup dan idealnya hidup zaman sekarang. Hidup kulalui seakan sebagai orang yang tengah bersemedi di kesunyian hutan. Bertemankan malam-malam yang dingin, tiada makanan enak di sini, cuma santapan sederhana, itu tidak lebih. Tiada hal yang berbau kemewahan di sini, semua serba apa adanya. Hidup dalam bayang-bayang kewaspadaan dan rasa kekuatiran. Di sini antara hidup dan mati tipis sekali bedanya. Kadang kita bisa aman sewaktu-waktu, kadang bahaya mengancam keadaan bisa berubah buruk.

Alur yang tampak pada cerpen Cerita dari Tapal Batas adalah alur flashback yang dimulai dari Buyung mendapat kecelakaan helikopter yang sangat parah di arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura, mungkin dekat dengan Papua Nugini. Sebenarnya cerita itu berada di tengah, tetapi peristiwa itu dijadikan perkenalan. Kemudian setelah peristiwa itu dijelaskan sebab musababnya terjadinya peristiwa tersebut. Buyung bekerja sebagai tentara. Ia ditugaskan di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini. Tempatnya sungguh jauh dari hiruk pikuk kota raya, belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Keadaannya sungguh memprihatinkan dan ironis, masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam. Selain itu, di daerah ini sangat berbahaya karena maut mengancam sewaktu-waktu.
Sebelum Buyung menjadi tentara dan ditugaskan di wilayah tapal batas, terlebih dahulu ia menimba ilmu tentaranya di Padangpanjang dengan sekolah Secatam atau Secaba. Disana Buyung bertemu dengan Ramses yang kemudian menjadi sahabatnya bahkan seperti saudaranya sendiri. Ramses tidak hanya bersahabat dengan Buyung, tetapi ia kenal dekat dengan orangtua Buyung karena Ramses sering ke kampung halamannya Buyung setiap libur sekolah. Pada masa tugasnya Buyung sempat bertemu Ramses bahkan pernah satu tempat dengan Ramses. Kemudian mereka berpisah lagi.
Suatu ketika Buyung bersama satu tim regunya telah melakukan patroli. Ketika melewati tebing yang ia yakini itu merupakan batas antara Indonesia dengan Papua Nugini, ia melihat suatu kelompok yang berseragam TNI dan beranggotakan senjata lengkap seperti orang yang sudah terlatih. Buyung semakin penasaran dengan yang dilihatnya, ia pun bersama regunya mengintai aktivitas yang dilakukan kelompok tersebut. Ketika pengintaian, tiba-tiba terjadi kontak senajata. Rentetan tembakan saling balas membalas dari dua kelompok. Regunya Buyung tidak ada korban yang tertembak. Kemudian Buyung beserta regunya menyisiri daerah itu untuk memastikan sudah aman dan mengumpulkan korbannya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa teman yang dianggapnya setia dan menghormati persahabatan kini merupakan salah satu anggota dari kelompok TNI yang membeking perdagangan gelap yang termasuk salah satu korban tembak yang tertembak di kakinya. Buyung pun menjadi sangat marah dan kecewa. Ia merasa bahwa Ramses telah berkhianat tidak hanya pada dirinya sebagai kawan tetapi juga kepada negara dan bangsa Indonesia. Setelah kejadian itu Buyung pun melupakan Ramses dan tidak pernah lagi berhubungan dengannya.
Setelah Buyung merasa kedaan aman, ia berniat untuk cuti dan pulang ke kampung halamannya untuk menjenguk ayah dan ibunya. Sebelum cuti ia harus menyelesaikan tugas terakhirnya yaitu misi patroli udara dan menjemput beberapa personil TNI di beberapa distrik di kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan radar dan alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga. Kemudian Buyung berangkat diantar dengan menggunakan heli TNI AU jenis super puma SA330 yang dikendalikan oleh pilot dan copilot Mayor Penerbang Heri dan Lettu Penerbang Guntur dari landasan terbang milik TNI di Jayapura. Saat terbang cuaca agak mendung tetapi tidak mengisyaratkan cuaca buruk. Tiba-tiba di tengah perjalanan heli mulai hilang kendali. Mesinnya berbunyi meraung-raung, terbang sedikit oleng dan dengan kepanikan mesinnya mati. Heli pun jatuh menghempas pohon besar, baling-balingnya menyebat apa saja lalu berhenti dan patah. Semua penumpang tewas kecuali Buyung dalam keadaan kritis. Ramseslah yang ikut menyelamatkan Buyung dengan ikut menjadi anggota tim SAR. Sekarang Ramses beranggapan bahwa antara dia dan Buyung impas karena setelah ia membuatnya kecewa kini ia telah menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi, Buyung masih belum bisa memaafkan Ramses dengan pengkhianatannya terhadap persahabatan, bangsa, dan negara.
Setelah melihat tokoh, latar, dan alur kita bisa mengidentifikasi tema mengenai cerpen ini. Tema yang tersirat yang dapat kita  simpulkan yaitu perjuangan seorang tentara di dalam tugasnya yang dihianati oleh sahabatnya yang berdusta pada negara dan menodai jiwa nasionalisme.
Rasa cinta dan semangat nasionalisme disampaikan Kurnia Hadinata melalui kata-kata yang diciptakannya. Pelukisan kata yang penuh dengan gaya bahasa dan perumpamaan membuat makna menjadi lebih indah dan hidup. Saat membacanya kita dibuat seakan ikut dalam peristiwa itu. Kita bisa merasakan sesuatu yang jauh dari penglihatan tetapi seakan dekat ikut serta. Simbol gaya bahasa membuat mata dan hati bercermin betapa ironi keadaan yang jauh dari pelupuk mata. Membuat seorang insan bercermin betapa indahnya kehidupan yang telah dilalui tanpa lembah hitam yang mengancam. Melalui percakapan dan penceritaan membuat kita tersadar betapa malang nasionalisme kita telah berduka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar