Duka
Nasionalisme dalam Cerita dari Tapal
Batas Karya Kurnia Hadinata
Oleh: Rizki Rohma
Kehidupan manusia dari waktu
ke waktu selalu memiliki warna-warni yang berbeda bak pelangi berwarna-warni terlihat
cantik jika rintikan air membasahi bumi. Usaha kerja keras untuk memberikan
warna yang berbeda pada tiap insan mewarnai ikhtiar seorang hamba bertahan pada
dunia yang terkadang tak bisa bersahabat. Air mata, senyuman, derap langkah
yang takpernah berhenti, kedua tangan yang selalu sibuk dengan kreatif yang
diciptakan mengalir bak air yang tak pernah berhenti. Kreativitas itu tak
pernah berhenti walau sampai helaian rambut memutih, keriput menghiasi wajah,
dan derap langkah semakin melemah. Lakon cerita pada tiap jalan hidup tak
pernah habis untuk dituliskan pada secarik kertas, setumpuk buku, dan segudang
arsip. Pada secarik kertas yang berbendel nyata ataupun tidak nyata kisah
kehidupan yang dilukiskan semua terwujud dalam sebuah prosa. Penghayatan dari
berbagai fenomena hidup atau imajinatif yang dipadu dengan estetika
menghasilkan karya sastra berwujud cerita pendek atau novel. Pengarang
melukiskan tokohnya lengkap dengan segala alur dan konflik dirangkai dengan kata
yang indah dan imajinatif dan sarat akan estetika.
Gaya penceritaan
pengarang dalam merangkaikan kata menjadi kalimat menjadi paragraf dan
menghasilkan cerita mampu membawa penikmat sastra menikmati cerita yang
disuguhkan lengkap dengan maksud yang hendak disampaikan. Untuk mengungkapkan
makna dibalik cerita yang tertulis pada lembar-lembar kertasnya pengarang
memasukan unsur-unsur seperti tokoh, alur, latar dan tema. Inti dari cerita atau pesan dapat dirasakan
penikmat sastra melalui tema atau tokohnya tergantung pengarang itu
melukiskannya dan kebermaknaan dari tulisan pengarang itu sampai pada pemaknaan
penikmat karyanya.
Tokoh-tokoh yang
disajikan dalam cerita ini diceritakan dengan berbagai karakteristik yang
berbeda-beda. Keberbedaan karakteristik itu memudahkan penikmatnya untuk
memahami setiap tokohnya. Meskipun keberbedaan itu ada tetapi di setiap
karekateristik yang muncul juga diselipkan jiwa nasionalisme atau berhubungan
dengan nasionalisme terhadap bangsa. Diantara semua tokoh yang ada pada cerita
ini, tokoh yang paling berperan yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan yang
penting. Sosok seorang pemuda dengan nama Buyung yang berasal dari kampung di
daerah Bukittinggi, Sumatera Barat. Buyung diceritakan sebagai tokoh utama yang
selalu ada dari awal cerita hingga akhir cerita. Awalnya pemuda ini sama sekali
tidak niatan untuk menjadi seorang tentara atau TNI, tetapi lambat laun ia
ingin mewujudkan keinginan ayah dan kakeknya untuk meneruskan perjuangan mereka
dalam membela dan mempertahankan NKRI. Sebelum menjadi tentara ia harus
menempuh pendidikan tentara atau dengan nama Secatam atau Secaba di kota
Padangpanjang jauh dari rumah dan keluarga. Setelah menjadi seorang tentara,
jiwa nasionalisme Buyung tumbuh sedikit demi sedikit. Ia bersedia ditempatkan
di plosok Indonesia yang butuh perjuangan karena tempatnya yang memprihatinkan
dan maut mengancam serta gaji yang minim.
Ciri fisik tokoh Buyung
pada cerpen ini tidak diceritakan. Kurnia Hadinata hanya menceritakan tokoh
Buyung sebagai seorang anak laki-laki keturunan tentara yang berasal dari
kampung di Bukittinggi. Diceritakan pula Buyung merupakan anak yang penurut
pada ayahnya.
Inilah kehidupan seorang tentara,
menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja,
mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah karena aku ingin memenuhi keinginan
dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin aku menjadi tentara,
dan untuk itu dia mau melakukan apa pun.
Tokoh utama lainnya yang disebutkan dalam cerpen Cerita dari Tapal Batas adalah Ramses
Situmorang. Secara fisik tokoh Ramses memiliki tubuh yang kuat. Tubuhnya tegap
dan tinggi kekar. Dilihat dari fisiknya, sangat sesuai untuk menjadi seorang
tentara. Karena memiliki tubuh yang kuat dan kekar, Ramses dijuluki Letnan
Samson. Dari segi mental, tokoh Ramses mudah bergaul dan mudah akrab dengan
orang. Ramses termasuk tentara yang disiplin. Akan tetapi, dalam urusan cinta,
ia selalu gagal.
Ia mudah bergaul dan aku sangat
akrab dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia sudah kuanggap seperti saudaraku
sendiri. Di barak aku seperti mendapatkan seorang kakak laki-laki yang dulu
selalu kuimpikan. Jika ada kesempatan, aku selalu mengajaknya pulang ke kampung
halamanku di Bukittinggi, karena jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak
terlalu jauh. Ia juga akrab dengan keluargaku, dengan ayahku.
Ia termasuk
tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya tegap dan
tinggi kekar. Segala lomba adu kekuatan stamina di barak —mulai adu panco, push-up,
sampai lomba lari— ia nomor satu. Tak ada yang mampu mengalahkannya. Kami
sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi masalah cewek dia paling apes. Setiap
kali dia naksir cewek, cintanya selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk
orang yang sangat setia dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami
sama-sama jatuh cinta dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia
lebih menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu
menjadi pacarku.
Tokoh selanjutnya yaitu ayah. Secara fisik tokoh
ayah tidak diceritakan secara jelas, tetapi hanya disebutkan bahwa tokoh ayah
adalah seorang pejuang veteran yang berjuang membela bangsa Indonesia mengusir
penjajah. Dari segi mental, tokoh ayah adalah orang yang keras kepala dan teguh
pendirian. Sekali ia bermimpi, mimpi itu harus terwujud. Diceritakan pula bahwa
tokoh ayah adalah orang yang rela mengorbankan apapun untuk mewujudkan
impiannya. Tokoh ayah juga sangat mencintai bangsa Indonesia.
Aku masih ingat,
tiga hektar kebun kopi milik ayah berikut sebuah sepeda motor Honda CB keluaran
akhir 70-an ludes terjual. Ya, kebun kopi yang sangat produktif berbuah itu
beserta motor kesayangan ayah terpaksa dijual demi memasukkanku ke sekolah
calon tentara di kota Padangpanjang. Awalnya aku menolak karena aku tahu dan
sadar ayah mempertaruhkan segalanya asal aku bisa masuk sekolah pendidikan
tentara itu. Aku berusaha membujuk ayah untuk mengurungkan niatnya agar tidak
memberikan uang pelicin.
“Sudahlah,
Buyung, sekarang ini sudah jarang orang masuk Secatam itu tanpa uang pelicin,
mumpung ini ada orang yang membantumu, Yung. Ayah ikhlas, dan hutang ayah sudah
lunas kelak jika melihat kau gagah berpakaian loreng itu,” ujarnya waktu itu.
“Tapi, Yah, aku
yakin aku bisa lulus tanpa pakai uang seperti itu. Jumlahnya tidak sedikit,
Yah. Lebih baik untuk yang lain saja, untuk menjadi orang sukses itu tidak
musti jadi tentara, Yah,” aku lagi-lagi mencoba merajuk membujuk ayah.
“Pokoknya Ayah
ingin kamu menjadi tentara. Kamu harus bisa membanggakan keluarga, membanggakan
almarhum kakekmu, karena kamulah anak laki-laki satu-satunya yang Ayah miliki,”
balas ayah. Kalau sudah begitu aku pasti menurut pada ayah, sebab aku tahu
persis tabiat ayahku: ia orang yang teguh pendirian.
Latar yang sangat tampak yaitu sewaktu tokoh Buyung
kecelakaan helikopter pada awal cerita tempatnya tidak diceritakan dengan jelas
nama daerahnya hanya disebutkan arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer
dari Jayapura, mungkin dekat dengan Papua Nugini. Keadaan pada saat itu sungguh
mengenaskan karena semua isi helikopter tewas di tempat, kecuali Buyung yang
terluka sangat parah.
Letaknya entah
di distrik atau kabupaten apa, kurang jelas karena kabut yang memangkas jarak
pandang. Mungkin arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura.
Mungkin juga tidak terlalu jauh dari perbatasan Papua Nugini. Di situlah aku
kini tersungkur tak berdaya.
Kulihat tubuhku
remuk, tak tentu bentuk, beberapa tulang lenganku tersumbur keluar, darahku
telah membeku. Kepalaku, astaga wajahku sungguh hancur. Hampir seluruh bagian
kepalaku tak dapat dikenali, tak utuh lagi mungkin terhempas ke benda keras. Ya
semua serba berantakan, serba hancur, puing demi puing berserakan, sebahagian tergantung
di dahan-dahan kayu.
Pilot dan
copilot heli, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Lettu Penerbang Guntur,
sudah tak bernyawa. Keadaan tubuh mereka lebih parah dari aku. Hery tubuhnya
tergeletak dengan posisi tertelungkup. Kepalanya remuk dan sebuah besi panjang
menancap di dadanya hingga tembus ke belakang. Lebih parah lagi Guntur.
Tubuhnya nyaris sama sekali tidak dapat dikenali, terpotong, terpisah-pisah akibat
diterjang baling-baling heli. Ah, sungguh aku tak bisa menceritakan keadaannya,
sangat mengenaskan. Ya aku ingat sewaktu heli oleng tubuhnya terbanting ke luar
dan langsung ditebas baling-baling. Sementara dua lagi temanku sama-sama
penempatan di pos pengintaian di Arso, Serka Bambang dan Serka Dodi, mayat
mereka tergantung di atas pohon dengan kondisi memiriskan dan tak lagi
bernyawa. Hanya bunyi gemerisik suara radio HT yang mematahkan daun-daun.
Kadang suara itu menyatu dengan gemericik tetesan hujan dan semilir angin yang
tersasar di sela-sela kayu.
Kemudian tempat penugasan Buyung di ujung wilayah
tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan
wilayah negara Papua Nugini. Tempatnya sungguh jauh dari hiruk pikuk kota raya,
belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Keadaannya sungguh
memprihatinkan dan ironis, masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup
sederhana dan menggantungkan diri pada alam. Selain itu, di daerah ini sangat
berbahaya karena maut mengancam sewaktu-waktu.
Ya hitungan
waktu, tak terasa sudah memasuki bulan kedua aku di sini, di ujung wilayah
tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan
wilayah negara Papua Nugini.
Di sini
orang-orangnya fasih berbahasa Nugini, berbahasa Indonesia, atau bahasa suku
setempat. Kadang sulit membedakan mana orang Indonesia atau yang mana orang Nugini.
Semuanya serba campur aduk, inikah kehidupan tapal batas itu? Jauh dari
hiruk-pikuk kota raya.
Mereka ada yang mendiami
tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang dataran
rendah aliran sungai.
Kadang kehidupan
penduduk yang alami itu seperti mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali belum
terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Mereka masih banyak
hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada
alam, ironis memang.
Inilah
kehidupanku, jauh dari kesan kemewahan, jauh dari kesenangan hidup dan idealnya
hidup zaman sekarang. Hidup kulalui seakan sebagai orang yang tengah bersemedi
di kesunyian hutan. Bertemankan malam-malam yang dingin, tiada makanan enak di
sini, cuma santapan sederhana, itu tidak lebih. Tiada hal yang berbau kemewahan
di sini, semua serba apa adanya. Hidup dalam bayang-bayang kewaspadaan dan rasa
kekuatiran. Di sini antara hidup dan mati tipis sekali bedanya. Kadang kita
bisa aman sewaktu-waktu, kadang bahaya mengancam keadaan bisa berubah buruk.
Alur yang tampak pada cerpen Cerita dari Tapal Batas adalah alur flashback yang dimulai dari
Buyung mendapat kecelakaan helikopter yang sangat parah di arah paling timur
negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura, mungkin dekat dengan Papua Nugini.
Sebenarnya cerita itu berada di tengah, tetapi peristiwa itu dijadikan
perkenalan. Kemudian setelah peristiwa itu dijelaskan sebab musababnya
terjadinya peristiwa tersebut. Buyung bekerja sebagai tentara. Ia ditugaskan di
ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara
NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini. Tempatnya sungguh jauh dari hiruk
pikuk kota raya, belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis.
Keadaannya sungguh memprihatinkan dan ironis, masih banyak hidup di bawah garis
kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam. Selain itu, di
daerah ini sangat berbahaya karena maut mengancam sewaktu-waktu.
Sebelum Buyung menjadi tentara dan ditugaskan di
wilayah tapal batas, terlebih dahulu ia menimba ilmu tentaranya di
Padangpanjang dengan sekolah Secatam atau Secaba. Disana Buyung bertemu dengan
Ramses yang kemudian menjadi sahabatnya bahkan seperti saudaranya sendiri.
Ramses tidak hanya bersahabat dengan Buyung, tetapi ia kenal dekat dengan
orangtua Buyung karena Ramses sering ke kampung halamannya Buyung setiap libur
sekolah. Pada masa tugasnya Buyung sempat bertemu Ramses bahkan pernah satu
tempat dengan Ramses. Kemudian mereka berpisah lagi.
Suatu ketika Buyung bersama satu tim regunya telah
melakukan patroli. Ketika melewati tebing yang ia yakini itu merupakan batas
antara Indonesia dengan Papua Nugini, ia melihat suatu kelompok yang berseragam
TNI dan beranggotakan senjata lengkap seperti orang yang sudah terlatih. Buyung
semakin penasaran dengan yang dilihatnya, ia pun bersama regunya mengintai
aktivitas yang dilakukan kelompok tersebut. Ketika pengintaian, tiba-tiba
terjadi kontak senajata. Rentetan tembakan saling balas membalas dari dua
kelompok. Regunya Buyung tidak ada korban yang tertembak. Kemudian Buyung
beserta regunya menyisiri daerah itu untuk memastikan sudah aman dan
mengumpulkan korbannya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa teman yang
dianggapnya setia dan menghormati persahabatan kini merupakan salah satu
anggota dari kelompok TNI yang membeking perdagangan gelap yang termasuk salah
satu korban tembak yang tertembak di kakinya. Buyung pun menjadi sangat marah
dan kecewa. Ia merasa bahwa Ramses telah berkhianat tidak hanya pada dirinya
sebagai kawan tetapi juga kepada negara dan bangsa Indonesia. Setelah kejadian
itu Buyung pun melupakan Ramses dan tidak pernah lagi berhubungan dengannya.
Setelah Buyung merasa
kedaan aman, ia berniat untuk cuti dan pulang ke kampung halamannya untuk
menjenguk ayah dan ibunya. Sebelum cuti ia harus menyelesaikan tugas
terakhirnya yaitu misi patroli udara dan menjemput beberapa personil TNI di
beberapa distrik di kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan
radar dan alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga.
Kemudian Buyung berangkat diantar dengan menggunakan heli TNI AU jenis super
puma SA330 yang dikendalikan oleh pilot dan copilot Mayor Penerbang Heri dan
Lettu Penerbang Guntur dari landasan terbang milik TNI di Jayapura. Saat
terbang cuaca agak mendung tetapi tidak mengisyaratkan cuaca buruk. Tiba-tiba
di tengah perjalanan heli mulai hilang kendali. Mesinnya berbunyi meraung-raung,
terbang sedikit oleng dan dengan kepanikan mesinnya mati. Heli pun jatuh
menghempas pohon besar, baling-balingnya menyebat apa saja lalu berhenti dan
patah. Semua penumpang tewas kecuali Buyung dalam keadaan kritis. Ramseslah
yang ikut menyelamatkan Buyung dengan ikut menjadi anggota tim SAR. Sekarang
Ramses beranggapan bahwa antara dia dan Buyung impas karena setelah ia
membuatnya kecewa kini ia telah menyelamatkan nyawanya. Akan tetapi, Buyung
masih belum bisa memaafkan Ramses dengan pengkhianatannya terhadap
persahabatan, bangsa, dan negara.
Setelah melihat tokoh,
latar, dan alur kita bisa mengidentifikasi tema mengenai cerpen ini. Tema yang
tersirat yang dapat kita simpulkan yaitu
perjuangan seorang tentara di dalam tugasnya yang dihianati oleh sahabatnya
yang berdusta pada negara dan menodai jiwa nasionalisme.
Rasa cinta dan semangat
nasionalisme disampaikan Kurnia Hadinata melalui kata-kata yang diciptakannya.
Pelukisan kata yang penuh dengan gaya bahasa dan perumpamaan membuat makna menjadi
lebih indah dan hidup. Saat membacanya kita dibuat seakan ikut dalam peristiwa
itu. Kita bisa merasakan sesuatu yang jauh dari penglihatan tetapi seakan dekat
ikut serta. Simbol gaya bahasa membuat mata dan hati bercermin betapa ironi
keadaan yang jauh dari pelupuk mata. Membuat seorang insan bercermin betapa
indahnya kehidupan yang telah dilalui tanpa lembah hitam yang mengancam. Melalui
percakapan dan penceritaan membuat kita tersadar betapa malang nasionalisme
kita telah berduka.
0 komentar:
Posting Komentar