Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mengorek Nilai Didaktis Melalui Cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya



Mengorek Nilai Didaktis Melalui Cerpen “Peradilan Rakyat”
karya Putu Wijaya

Oleh: Fryskatana Wira Stya M


I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang akrab kita dengar Putu Wijaya ini merupakan sastrawan yang serba bisa. Sastrawan yang dilatar belakangi lulusan Fakultas Hukum di UGM dengan gelar sarjana pada tahun 1969 dan juga pernah belajar seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) ini tetap aktif dalam kegiatan menulis cerpennya.
Tahun 2006 Putu Wijaya kembali menuangkan pemikirannya lewat cerpen yang berjudul Peradilan Rakyat dengan menciptakan tokoh utama seorang pengacara muda (anak) cerdas yang sangat profesional dan pengacara tua (ayah) yang sangat terkenal dan dihormati oleh para penegak hukum. Cerpen ini menggambarkan wajah peradilan yang ada di negeri ini, sebab dalam cerpen ini pengarang sangat paham mengenai keadaan politik, sosial, serta moral yang ada di negara ini. Permasalahan untuk menulis cerpen ini muncul ketika banyak oknum pejabat yang banyak melakukan pelanggaran hukum. Dalam cerpen ini Putu Wijaya mengungkapkan kritikannya terhadap kasus mafia-mafia (markus) yang telah membudaya di negeri ini pada masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan. Komisi Yudiasial pada waktu itu telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran, namun rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang dijatuhi sanksi hanya ada dua yang ditindaklanjuti. Keadaan negeri yang carut marut membuat para pelaku mafia kasus bisa menghindari jeratan hukum apabila mereka bisa menyewa pengacara terkenal sekaligus menyuap aparat negara. Seperti yang terdapat dalam kutipan cerpen berikut.
...
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka.
...

Kutipan di atas memang benar-benar Putu Wijaya mengkritik bahkan secara langsung menyindir mafia kasus yang sedang melilit di negeri ini melalui cerpennya. Ia menggungkapkan bahwa penjahat besar yang seharusnya mendapat hukuman mati bisa menghindari jeratan hukum dan merayakan kegembiraan yang seharusnya bukan miliknya. Dari kutipan tersebut dapat diambil nilai bahwa seseorang yang salah seharusnya mendapat hukuman dan orang yang benar hendaknya mendapat keadilan atas kebenaran tersebut. Simak pula kutipan berikut ini.
          ...
"Apa yang ingin kamu tentang, pengacara muda? Pengacara muda  tertegun.

 "Ayahanda bertanya kepadaku?"

"Ya kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian  keadilan  di negeri  yang  sedang  dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku”
...

Kutipan tersebut menggambarkan suatu wajah peradilan di negeri ini yang sedang dilanda oleh penyakit korupsi yang merajalela. Melalui kedua tokoh, Putu Wijaya mengungkapkan sebuah harapan untuk mencari keadilan di negeri ini. Kedua kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bagi orang kaya atau bagi orang yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan, keadilan merupakan barang yang dapat dijual beli, kejahatan mampu ditukar dengan uang. Jadi orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan tidak patut mendapat keadilan. Dengan cerpen inilah Putu Wijaya berharap peradilan di negeri ini dapat memberikan keadilan kepada pihak yang benar. Berikut merupakan kutipan yang berisikan harapan Putu Wijaya kepada peradilan negeri ini.
            Istilah tokoh sendiri menunjuk pada pelaku dalam cerita, sedangkan watak menunjuk pada sifat dan sikap pelaku dalam cerita. Tokoh memiliki posisi penting sebagai penyampai pesan atau amanat yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam cerpen Peradilan Rakyat ini karakter atau watak pengacara muda ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
            ...
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"

...

“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman.Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak.” Pengacara tua itu terkejut
"Sama  sekali   tak dibicarakan berapaa kan membayarmu?
"Tidak."
 "Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara muda itu tertawa
."Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"  
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"Pengacara muda ituterdiam.
...

Kutipan tersebut seakan Putu Wijaya menyampaikan pesannya kepada pembaca untuk selalu profesional dalam pekerjaan terutama kepada penegak hukum di negeri ini agar tidak salah melakukan pembelaan serta keadilan. Kutipan di atas menggambarkan bahwa pengacara muda tersebut membela kliennya bukan karena ancaman maupun uang, bahkan pengacara muda mengatakan "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!", kutpan tersebut menunjukkan bahwa tokoh pengacara muda ini merupakan seseorang yang sangat profesional dalam pekerjaanya. Terkadang yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Dengan kata lain yang kaya atau yang memiliki kekuasaan selalu benar dan menang sedangkan yang miskin dilarang benar dan menang. Kutipan tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa apapun pekerjaan yang kita lakukan atau kerjakan hendaknya selalu konsisten dan senantias bertindak di jalan yang benar, jujur dan mengutamakan keadilan.
Apalah artinya profesionalitas dalam peradilan hukum jika hanya meloloskan orang-orang yang salah hanya karena uang dan menyalahkan orang-orang yang benar. Kutipan di atas memang benar-benar menggambarkan pengacara yang profesional, tetapi tidak dilihat dari siapa yang dibela, namun dilihat dari profesionalitas sebagai seorang pengacara yang sesungguhnya, tanpa tawaran negara yang menjanjikan, tanpa uang. Sehingga kutipan di atas merupakan sindiran-sindiran kepada aparat-aparat yang selalu memberatkan materi dari pada keadilan, sebab bagi mereka keadilan tersebut merupakan dagangan yang bisa dibeli dengan harga yang tidak murah.
Dalam cerpen ini, juga menggambarkan kemarahan yang terjadi ketika pengacara muda berhasil meloloskan bajingan dari jeratan hukum.
...
Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
...

Sebenarnya kutipan tersebut memberikan peringatan kepada aparat, jika hal tersebut selalu ada di setiap peradilan maka betapa hancurnya negara ini tanpa adanya keadilan dalam sebuah pengadilan yang selalu memenangkan pihak yang salah. Seorang pengacara yang profesional hendaknya bertanggung jawab sesuai normayang ada, sehingga tidak menyengsarakan rakyat kecil yang dianggap selalu salah. Bukan tidak mungkin bila rakyat marah karena ketidakdilan bagi mereka.
Kutipan dibawah ini merupakan akhir dari kisah yang disajikan Putu Wijaya melalui cerpen Peradilan Rakyat ialah nilai kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya meskipun anaknya melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang pengacara yang profesional, namun kasih sayang orang tua tidak akan putus karena kesalahan anaknya. Simak kutipan berikut.
...
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
"Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?".

Bagian kutipan di atas menggambarkan penyesalan seorang ayah kepada anaknya yang merupakan pengacara muda yang profesional akan tindakannya yang meloloskan penjahat besar di negeri ini. Meskipun demikian sang ayah tetap menerima dan merindukan kedatangan anaknya namun bukan sebagai seorang pengacara muda yang profesional melainkan sebagai anaknya.        
            Peradilan Rakyat merupakan cerpen yang menggambarkan betapa ironisnya politik di negara ini, selain itu, cerpen ini juga menggambarkan keadaan hukum yang sangat buruk karena tidak adanya keadilan yang sejati di negara ini. Banyaknya mafia-mafia di negeri ini merupakan bukti kebrobrokan moral di negeri ini, yang mana hukum bisa diperjual belikan. Selain gambaran peradilan di negeri ini, dalam cerpen ini juga terdapat nilai-nilai pendidikan yang bisa diambil melalui cerpen ini secara implisit maupun eksplisit, sebab di dalam cerpen Peradilan Rakyat terdapat pesan-pesan moral yang ditampilkan melalui kedua tokoh tersebut.
Berikut merupakan nilai yang dapat diambil melalui cerpen Peradilan Rakyat.
1.      Orang yang salah hendaknya dijerat hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan orang yang benar hendaknya mendapat keadilan atas kebenarannya.
2.      Profesionalitas dalam pekerjaan itu sangatlah penting, sebab dengan bekerja secara profesioanl seseorang tersebut akan sukses.
3.      Kasih sayang orang tua kepada anaknya tidaklah putus karena kesalahan yang dilakukan oleh anaknya.
4.      Jika yang kita lakukan benar, maka jangan pernah takut untuk melakukan sesuatu hal yang benar dan adil.
5.      Jangan pernah salah untuk selalu membela orang yang benar.
6.      Keadilan tidak dapat diperjual belikan, sebab keadilan bukan untuk orang yang salah dan berkuasa atau kaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar