Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memandang Manusia melalui Dua Cermin: Sebuah Perenungan tentang Orang Malam Karya Sony F.Maulana



Memandang Manusia melalui Dua Cermin:
Sebuah Perenungan tentang Orang Malam Karya Sony F.Maulana
Oleh: Wisnu Bramantyo

             Karya sastra merupakan sebuah jalinan indah makna yang disajikan pada penikmatnya untuk dinikmati dan diuraikan kembali. Baik itu puisi, prosa, maupun drama, karya itu akan menyampaikan suatu pesan tersendiri. Beberapa karya membawa pesan yang langsung dapat dicerna, sementara yang lain menyampaikan pesan-pesan yang lebih tersembunyi. Drama, sebagai suatu bentuk karya sastra yang dapat dinikmati dengan 2 cara (sebagai naskah dan sebagai pementasan), mempunyai sedikit perbedaan. Drama sebagai pementasan akan menuntut penikmat yang memiliki kemampuan lebih dalam mencerna pesannya. Hal ini ialah karena sifatnya sebagai pementasan yang sekejap dan real time memerlukan konsumen yang dapat segera menafsirkan pesan-pesan yang disampaikan. Memang, makna-makna juga dapat digali melalui bedah naskah ataupun diskusi bedah drama (setelah dipentaskan), namun sensasi apresiasi yang didapat tentunya berbeda.
            Orang Malam karya Sony F. Maulana ialah drama yang memiliki dua cermin di dalamnya. Dua pesan besar. Satu akan mudah ditangkap oleh penonton atau pembaca naskah, sedangkan yang satu lagi sedikit tersamar secara filosofis dan memerlukan perenungan sejenak. Drama ini menarik untuk diangkat karena tema sosial seperti yang didengungkan dalam Orang Malam biasanya merupakan inti dari pesan yang ingin disampaikan sebuah karya. Tetapi, hal sebaliknya terjadi dalam drama ini. Sony justru menjadikan plot dan makna sosial ini sebagai pintu gerbang menuju makna yang lebih instropektif dan lebih dalam. Lebih unik lagi, makna, cermin kedua ini juga masih berhubungan erat dengan cermin pertama. Pengungkapan jatidiri cermin ini di akhir drama akan memberikan sebuah kejutan bagi penonton karena dia juga berfungsi sebagai twisted plot. Pengemasan pertunjukan yang bagus akan memfungsikan kedua cermin ini sedemikian rupa, sehingga di akhir pentas penonton akan terpana dan terdiam, berpikir sejenak mengenai esensi drama dan esensi kehidupan itu sendiri.
           
Drama ini sebenarnya berkisah tentang cerita yang sangat sederhana. Di taman saat malam, seorang laki-laki setengah baya bernama Kimung bertemu dengan seorang wanita bernama Dirah, setengah baya pula. Mereka berbincang tentang masa lalu mereka. Ternyata Kimung selama ini selalu merindukan kekasihnya, mantan aktivis yang telah bertahun diculik oleh pihak tidak dikenal dan dianggap sudah meninggal. Ketika Kimung mulai bersajak dengan puisi ciptaan kekasihnya, tiba-tiba Dirah merasa mengenali puisi tersebut sebagai puisinya sendiri. Di akhir drama, Kimung dan Dirah berpelukan, tidak tahu lagi siapakah yang melamunkan siapa. Apakah selama ini Kimung yang melamun, atau Dirah yang melamun? Ataukah kedua entitas merupakan hantu-hantu masa lalu yang sedang berbicara pada penonton?
            Orang Malam dapat dipandang sebagai sebuah kritik sosial langsung terhadap pemerintah saat itu (Orde Baru). Fokus cerita pada pasangan kekasih yang terpisah karena penculikan aktivis mewakili kesedihan orang-orang yang dicintai saat fenomena penghilangan orang kerap ditemui. Tidak hanya penculikan, terkadang kasus kematian yang tidak wajar dan sulit dijelaskan juga terjadi, seperti pada kasus Munir. Sampai akhir cerita drama ini, nasib sebenarnya Dirah yang diculik juga tidak jelas. Tidak hanya pemerintah, drama ini juga menyampaikan kritik terhadap penegak hukum yang tidak berbuat apa-apa dalam penanganan kasus-kasus tersebut.
            Mengenai akhir cerita yang berupa sebuah condundrum membingungkan, Sony memberikan bantuan untuk menguraikannya. Di akhir drama, pengarang menuliskan dialog “Kita dewasa dan besar dalam penjara” serta “Ya, kita sama-sama tua dan besar dalam penjara.”, lalu mereka berpelukan. Dialog ini menunjukkan bahwa kedua tokoh, Kimung dan Dirah, tumbuh dan besar di dalam penjara. Dapat dianalisis bahwa kedua tokoh eksis secara bersamaan, merupakan bayangan masa lalu semata, namun juga ialah suatu kesatuan satu dengan yang lain. Hal ini semakin diperjelas dengan digunakannya keterangan waktu yang sangat lama dalam drama, seperti 750 tahun dan ratusan tahun, yang mengindikasikan keabadian.
            Selanjutnya yang perlu direnungkan lagi ialah makna cermin kedua. Cermin kedua ini muncul ketika Dirah dan Kimung sadar bahwa mereka sebenarnya merupakan bayangan masa lalu yang merupakan suatu kesatuan. Di sini penonton diingatkan bahwa manusia merupakan sebuah makhluk yang kompleks dan paradoksal. Di dalam batin seseorang akan selalu terjadi dialog antar entitas yang berbeda: auto-argumentasi. Di dalam tingkah laku dan pikiran manusia sering tampak hal-hal yang paradoks. Pengarang ingin para penonton menyadari hal ini dan menggunakannya agar memandang segala hal dengan lebih bijak.
Di sisi lain, kalimat “Kita dewasa dan besar dalam penjara” juga mengandung makna lain yang dalam. Penjara di sini dapat berarti “pembatasan diri”, “pandangan sempit”, “kekolotan tradisi”, “kesalahan mengartikan akidah” dan hal-hal semacamnya. Manusia selalu tumbuh dan membawa penjaranya sendiri ke manapun ia pergi.
Sebagai sebuah drama, Orang Malam ialah lakon yang unik, menarik dan memiliki makna yang dalam. Biarpun sangat sederhana, makna yang terjalin di dalamnya sangat indah dan patut direnungkan. Tetapi, kesederhanaan ini juga dapat berdampak buruk. Sebagai naskah, dampak ini tidak terlalu menjadi masalah, namun saat diterjemahkan menjadi pementasan drama ini memerlukan efek-efek panggung yang mendukung suasana agar para penonton mengerti kedalaman pesan yang disampaikan, terutama di akhir cerita. Jika penanganan khusus tidak diberikan, dikhawatirkan makna yang indah tersebut, cermin kedua itu, tidak terlihat oleh penonton.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar