Nyai
Ontosoroh, Simbol Perlawanan Sanikem
Oleh: Dwi Sastra Nurokhma
Drama berjudul Nyai Ontosoroh, Hikayat Perlawanan Sanikem yang
merupakan adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer yang Berjudul Bumi Manusia yang mengisahkan akan
seorang Sanikem, anak dari juru tulis Sastrotomo yang dinikahkan dengan tuan Mellema, seorang
pejabat besar pabrik gula agar ayahnya dapat naik jabatan menjadi juru bayar,
jabatan yang sudah lama di idam-idamkannya. Berbeda dengan judul drama dimana
Sanikem seharusnya melakukan perlawanan, justru dalam drama karya Rakhmat
Garyadi ini sosok Sanikem menerima dan hanya diam ketika sang ayah
menyerahkannya ke tangan tuan Mellema. Sejak diserahkan, Sanikem berjanji pada
dirinya sendiri untuk menerima jalannya dan akan melakukan yang harus dia
kerjakan dengan totalitas dan sebaik-baiknya. Mulai saat itu, Sanikem yang dulu
sudah terkubur dalam hatinya, dia sekarang adalah Nyai Ontosoroh, gundik tuan
Mellema.
Drama dibuat
dengan latar yang sama dengan yang dituliskan pada novel aslinya, yaitu masa kolonial
belanda. Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan pada perempuan muda,
setengah baya yang menjadi ‘gundik’ ‘perempuan simpanan’ orang asing, khususnya
orang Eropa. Sebutan ini menurut anggapan orang Eropa pada masa itu setara
dengan concubine, bijwijf atau selir
yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara yang memang memiliki banyak selir.
Meski Nyai melahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Hindia Belanda saat
itu tidak pernah menganggap perkawinan itu syah. Pemerintah Hindia Belanda
hanya mengakui anak tapi tidak bagi perempuan pribumi yang dijadikan gundik.
Disinilah letak tidak manusiawinya hukum Eropa kepada manusia lainya.
Masyarakat hanya melihat secara kasat mata bahwa kehidupan seorang nyai bisa
dibilang enak, bergaul dengan bangsa Eropa, dan tinggal di rumah mewah. Hal
yang dilakukan tuan Mellema pada Nyai Ontosoroh dalam drama ini sedikit
bertolak belakang dengan yang terjadi di lapangan pada masa itu. Pada drama,
Nyai Ontosoroh, selain menjadi seorang ‘teman tidur’, dia juga diajarkan agar
mampu baca tulis, membaca dan berbicara bahasa belanda serta mengurus usaha
perekonomian pribadi tuan Mellema. Sebagaimana monolog Sanikem pada dram
berikut,
.
Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang
guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik.
Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya
dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.
Nyai Ontosoroh bahkan tidak
segan-segan memecat beberapa pembantu agar tidak melihat kesalahan yang beliau
lakukan. Selain itu, sebagaimana yang telah diungkapkan, beliau ingin menjadi
gundik yang penuh totalitas.
Rakhmat Garyadi,
Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya tahun 1994 yang memang sudah
berpengalaman dalam bidang drama sejak masih kuliah ini mampu mengemas drama
dengan apik. Alur flashback mampu memberikan kesan dan membuat pembaca berimaji
dan mengingat kembali antara sosok Sanikem dan Nyai Ontosoroh. Pemilihan latar
di tata dengan penuh pertimbangan. Drama dibuka dengan kemunculan buruh pabrik,
kemudian Sostrotomo, ayah Sanikem yang menyerahkan Sanikem pada tuan Mellema,
dilanjutkan dengan prosesi upacara menjadi dewasa, perselisihan ayah Sanikem,
Sastrotomo dengan istrinya, penyerahan Sanikem pada tuan Mellema, pemberian
uang dari tuan Mellema pada Sastrotomo, hingga puncak dimana Sanikem mulai
tinggal dan menguatkan hatinya untuk menjadi nyai sepenuhnya.
Tidak hanya
sampai pada totalitas Sanikem sebagai nyai, Sanikem juga berjuang untuk tidak
bergantung pada tuan Mellema. Dia belajar dengan giat untuk dapat menjadi nyai
yang cantik, berwibawa, cerdas dan mampu mengurus segala hal tak terkecuali
urusan kantor. Sosok nyai inilah yang berbeda dengan sosok nyai pada umumnya.
Hanya sedikit nyai yang belajar mengenai baca tulis, mereka lebih pada hal
mengurus rumah, keperluan tuannya, maupun urusan ranjang. Meski telah
dijelaskan bahwa pada beberapa kasus nyai juga berperan sebagai buku atau penerjemah
agar para pejabat kolonial lebih lancar berkomunikasi dengan penduduk pribumi,
namun pada kenyataannya hanya sedikit nyai yang diperbolehkan untuk
memperlihatkan sosoknya di masyarakat.
Sosok Nyai
Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah
dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah
simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri
sebuah bangsa. Dia tidak ingin bergantung pada tuan Mellema, bahkan justru tuan
Mellema yang bergatung padanya. Hal ini dituliskan dalam monolog Sanikem di
akhir drama sebagai berikut,
Segala
yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan
harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan
lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja
sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi,
orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.
Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema.
Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap
untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak.
Dapat dikatakan, Nyai Ontosoroh
menjelmakan dirinya menjadi sosok nyai yang berbeda. Ia merupakan harmonisasi
dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan, keberanian, dan kepintaran
seorang perempuan Eropa. Di titik inilah Ontosoroh menjelmakan dirinya sebagai
bagian dari politik narasi kebangsaan. Ia hadir, mengiringi sekaligus mengambil
bagian di dalam pergulatan kebangsaan.
Akan tetapi, pencitraan kuatnya sosok
Nyai Ontosoroh dalam drama ini dirasa masih kurang mewakili. Hal ini
dikarenakan akhir cerita yang sedikit tidak sesuai atau malah bertentangan
dengan sosok Nyai Ontosoroh yang gigih.
Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.
Dalam penggalan isi drama dapat
dikatakan bahwa nyai tidak ingin memperjuangkan hak anaknya sebagai anak
keturunan, dia hanya kana memanfaatkan yang didapatnya dari tuan Mellema untuk
kehidupannya setelah tuan Mellema meninggalkannya, nanti. Akan tetapi, dialog
Sanikem dengan tuan Mellema ketika orangtua Sanikem datang berkunjung mampu
mewakili dendam Sanikem pada ayahnya. Yang dimaksud dengan perjuangan
perlawanan Sanikem dalam drama juga tampak di sini. Di mulai ketika dia
memutuskan untuk sepenuhnya menjadi nyai dengan menolak kunjungan orangtuanya.
Dia tidak ingin lagi berhubungan dengan orangtua maupun keluarganya. Bahkan
Sanikem berani meminta pada tuan Mellema untuk mengusir orangtuanya, Sanikem
sampai bersitegang dengan tuan Mellema.
Sanikem mengancam tuan Mellema bahwa dia akan kembali pada orangtuanya
jika dipaksa menemui mereka.
Darsam: Tuan,
maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.
Nyai Ontosoroh: Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem sudah tidak
ada sekarang.
Tuan Besar Mellema: Temuilah…
Nyai Ontosoroh: Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah
mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari
sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak
jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual
kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni
kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski
menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu
sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan
kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh
dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.
Tuan Besar Mellema :(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!
Nyai Ontosoroh: Saya
memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau
dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!
Tuan Besar
Mellema: Jangan…!(Memberi kode pada
Darsam). Darsam beritahu mereka…
Bahkan tuan Mellema pun tak mampu
mengatur Sanikem ketika dia sudah membuat keputusan. Penyajian Sosok Nyai
Ontosoroh dalam drama karya Rakhmat Garyadi yang merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia adalah simbol dari perlawanan Sanikem. Simbol
perjuangannya agar tidak dipandang rendah pada posisinya sebagai nyai. Nyai
Ontosoroh adalah lambang dari nyai-nyai masa kolonial yang tersiksa dengan
statusnya meski mereka tinggal di rumah mewah. Kekerasan hati mampu membuat
Nyai Ontosoroh berdiri kokoh. Tetapi, untuk nyai yang lain, tidak semua mampu
memperjuangkan diri untuk layak dipandang lebih oleh pemilik mereka.
0 komentar:
Posting Komentar