Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Nyai Ontosoroh, Simbol Perlawanan Sanikem



Nyai Ontosoroh, Simbol Perlawanan Sanikem
Oleh: Dwi Sastra Nurokhma
 
Drama berjudul Nyai Ontosoroh, Hikayat Perlawanan Sanikem yang merupakan adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer yang Berjudul Bumi Manusia yang mengisahkan akan seorang Sanikem, anak dari juru tulis Sastrotomo  yang dinikahkan dengan tuan Mellema, seorang pejabat besar pabrik gula agar ayahnya dapat naik jabatan menjadi juru bayar, jabatan yang sudah lama di idam-idamkannya. Berbeda dengan judul drama dimana Sanikem seharusnya melakukan perlawanan, justru dalam drama karya Rakhmat Garyadi ini sosok Sanikem menerima dan hanya diam ketika sang ayah menyerahkannya ke tangan tuan Mellema. Sejak diserahkan, Sanikem berjanji pada dirinya sendiri untuk menerima jalannya dan akan melakukan yang harus dia kerjakan dengan totalitas dan sebaik-baiknya. Mulai saat itu, Sanikem yang dulu sudah terkubur dalam hatinya, dia sekarang adalah Nyai Ontosoroh, gundik tuan Mellema.
Drama dibuat dengan latar yang sama dengan yang dituliskan pada novel aslinya, yaitu masa kolonial belanda. Sebutan nyai pada masa kolonial ditujukan pada perempuan muda, setengah baya yang menjadi ‘gundik’ ‘perempuan simpanan’ orang asing, khususnya orang Eropa. Sebutan ini menurut anggapan orang Eropa pada masa itu setara dengan concubine, bijwijf atau selir yang meniru kebiasaan para raja di Nusantara yang memang memiliki banyak selir. Meski Nyai melahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Hindia Belanda saat itu tidak pernah menganggap perkawinan itu syah. Pemerintah Hindia Belanda hanya mengakui anak tapi tidak bagi perempuan pribumi yang dijadikan gundik. Disinilah letak tidak manusiawinya hukum Eropa kepada manusia lainya. Masyarakat hanya melihat secara kasat mata bahwa kehidupan seorang nyai bisa dibilang enak, bergaul dengan bangsa Eropa, dan tinggal di rumah mewah. Hal yang dilakukan tuan Mellema pada Nyai Ontosoroh dalam drama ini sedikit bertolak belakang dengan yang terjadi di lapangan pada masa itu. Pada drama, Nyai Ontosoroh, selain menjadi seorang ‘teman tidur’, dia juga diajarkan agar mampu baca tulis, membaca dan berbicara bahasa belanda serta mengurus usaha perekonomian pribadi tuan Mellema. Sebagaimana monolog Sanikem pada dram berikut,
.
Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tetapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.
Nyai Ontosoroh bahkan tidak segan-segan memecat beberapa pembantu agar tidak melihat kesalahan yang beliau lakukan. Selain itu, sebagaimana yang telah diungkapkan, beliau ingin menjadi gundik yang penuh totalitas.
Rakhmat Garyadi, Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya tahun 1994 yang memang sudah berpengalaman dalam bidang drama sejak masih kuliah ini mampu mengemas drama dengan apik. Alur flashback mampu memberikan kesan dan membuat pembaca berimaji dan mengingat kembali antara sosok Sanikem dan Nyai Ontosoroh. Pemilihan latar di tata dengan penuh pertimbangan. Drama dibuka dengan kemunculan buruh pabrik, kemudian Sostrotomo, ayah Sanikem yang menyerahkan Sanikem pada tuan Mellema, dilanjutkan dengan prosesi upacara menjadi dewasa, perselisihan ayah Sanikem, Sastrotomo dengan istrinya, penyerahan Sanikem pada tuan Mellema, pemberian uang dari tuan Mellema pada Sastrotomo, hingga puncak dimana Sanikem mulai tinggal dan menguatkan hatinya untuk menjadi nyai sepenuhnya.
Tidak hanya sampai pada totalitas Sanikem sebagai nyai, Sanikem juga berjuang untuk tidak bergantung pada tuan Mellema. Dia belajar dengan giat untuk dapat menjadi nyai yang cantik, berwibawa, cerdas dan mampu mengurus segala hal tak terkecuali urusan kantor. Sosok nyai inilah yang berbeda dengan sosok nyai pada umumnya. Hanya sedikit nyai yang belajar mengenai baca tulis, mereka lebih pada hal mengurus rumah, keperluan tuannya, maupun urusan ranjang. Meski telah dijelaskan bahwa pada beberapa kasus nyai juga berperan sebagai buku atau penerjemah agar para pejabat kolonial lebih lancar berkomunikasi dengan penduduk pribumi, namun pada kenyataannya hanya sedikit nyai yang diperbolehkan untuk memperlihatkan sosoknya di masyarakat.
Sosok Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet dan pantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Dia tidak ingin bergantung pada tuan Mellema, bahkan justru tuan Mellema yang bergatung padanya. Hal ini dituliskan dalam monolog Sanikem di akhir drama sebagai berikut,
Segala yang saya pelajari selama hidup bersama TB Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apalagi, orang seperti saya yang masih begitu muda untuk berkeluarga.
Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak tergantung pada TB Mellema. Sebaliknya dia sangat tergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak pernah menolak.
Dapat dikatakan, Nyai Ontosoroh menjelmakan dirinya menjadi sosok nyai yang berbeda. Ia merupakan harmonisasi dari paras dan rupa Timur yang elok dengan keuletan, keberanian, dan kepintaran seorang perempuan Eropa. Di titik inilah Ontosoroh menjelmakan dirinya sebagai bagian dari politik narasi kebangsaan. Ia hadir, mengiringi sekaligus mengambil bagian di dalam pergulatan kebangsaan.
Akan tetapi, pencitraan kuatnya sosok Nyai Ontosoroh dalam drama ini dirasa masih kurang mewakili. Hal ini dikarenakan akhir cerita yang sedikit tidak sesuai atau malah bertentangan dengan sosok Nyai Ontosoroh yang gigih.
Saya tahu, apa yang diajarkan oleh TB Mellema kelak akan berguna bagi diri saya dan anak-anak saya, kalau TB pulang ke Nederland.
Dalam penggalan isi drama dapat dikatakan bahwa nyai tidak ingin memperjuangkan hak anaknya sebagai anak keturunan, dia hanya kana memanfaatkan yang didapatnya dari tuan Mellema untuk kehidupannya setelah tuan Mellema meninggalkannya, nanti. Akan tetapi, dialog Sanikem dengan tuan Mellema ketika orangtua Sanikem datang berkunjung mampu mewakili dendam Sanikem pada ayahnya. Yang dimaksud dengan perjuangan perlawanan Sanikem dalam drama juga tampak di sini. Di mulai ketika dia memutuskan untuk sepenuhnya menjadi nyai dengan menolak kunjungan orangtuanya. Dia tidak ingin lagi berhubungan dengan orangtua maupun keluarganya. Bahkan Sanikem berani meminta pada tuan Mellema untuk mengusir orangtuanya, Sanikem sampai bersitegang dengan tuan Mellema.  Sanikem mengancam tuan Mellema bahwa dia akan kembali pada orangtuanya jika dipaksa menemui mereka.

Darsam: Tuan, maaf Tuan, ada orang tua Nyai datang, Tuan. Mereka menunggu di depan.
Nyai Ontosoroh: Katakan kepada mereka, bahwa Sanikem sudah tidak ada sekarang.
Tuan Besar Mellema: Temuilah…
Nyai Ontosoroh: Kalau saya menemuinya, berarti Tuan telah mengembalikan saya kepada pemiliknya semula. Apakah saya harus pergi dari sini? Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras. Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinannya saya dijual kepada Tuan. Saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap. Sudahlah, biar semua putus sudah terhadap masa lalu. Itu sudah sebaik-baiknya yang saya bisa lakukan. Suruh mereka pulang atau Tuan akan kehilangan sapi-sapi dan pabrik susu itu…? Saya telah menjadi telor yang jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah.
Tuan Besar Mellema :(Pause) Kau terlalu keras Nyai…Temui Ayahmu!
Nyai Ontosoroh: Saya memang ada ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!
Tuan Besar Mellema: Jangan…!(Memberi kode pada Darsam). Darsam beritahu mereka…
Bahkan tuan Mellema pun tak mampu mengatur Sanikem ketika dia sudah membuat keputusan. Penyajian Sosok Nyai Ontosoroh dalam drama karya Rakhmat Garyadi yang merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia  adalah simbol dari perlawanan Sanikem. Simbol perjuangannya agar tidak dipandang rendah pada posisinya sebagai nyai. Nyai Ontosoroh adalah lambang dari nyai-nyai masa kolonial yang tersiksa dengan statusnya meski mereka tinggal di rumah mewah. Kekerasan hati mampu membuat Nyai Ontosoroh berdiri kokoh. Tetapi, untuk nyai yang lain, tidak semua mampu memperjuangkan diri untuk layak dipandang lebih oleh pemilik mereka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar