Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memandang Bendera Darah dan Air Mata Kami dari Kaleidoskop Sejarah



Memandang Bendera Darah dan Air Mata Kami dari Kaleidoskop Sejarah
Oleh: Wisnu Bramantyo

            Banyak penyair di Indonesia yang kurang mendapat apresiasi sesuai dengan yang pantas didapatkannya. Contohnya pengarang/ penyair seperti Saini KM, Soebagyo Sastrowardoyo, dan Kuntowijoyo yang tidak terlalu banyak diketahui publik biarpun mereka telah berkarya dengan aktif dan menghasilkan karya-karya bermutu, bahkan tidak hanya di dunia puisi saja. Saini khususnya,di samping menulis puisi, ia adalah pengarang esai, drama, prosa, dan buku nonfiksi. Kesetiannya selama hampir 20 tahun dalam membina rubrik ulasan sastra “Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat Bandung telah menumbuhkan bakat-bakat baru dalam dunia sastra Indonesia, khususnya Jawa Barat. Acep Zamzam Noor, Wan Anwar, dan Agus R.Sardjono hanyalah sebagian kecil dari sederet nama sastrawan yang menambatkan karir dan inspirasi-inspirasi awalnya dari ulasan Saini. Walaupun begitu, peran di belakang layar ini dinikmatinya dengan sungguh-sungguh: ia benar-benar mengerti bahwa penyair sejati selalu ada di dalam kesepian, seperti nampak dalam sebuah pesannya untuk para penyair muda.

Berhentilah menulis kalau kau tak rela hidupmu
Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya
               
                Saini menulis puisi sejak masih duduk di bangku kuliah di PTPG (Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru, sekarang UPI Bandung). Puisinya pertama kali dimuat dalam majalah Siasat pada tahun 1960. Selanjutnya, salah satu puisinya (Bendera Darah dan Air Mata Kami) juga dimuat di majalah Basis edisi Agustus 1965, sebuah puisi yang menjadi salah satu puisinya yang paling terkenal dan kerap dibacakan dalam berbagai acara.
           
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Bendera Darah dan Air Mata Kami dimuat untuk memperingati 20 tahun Dirgahayu Kemerdekaan, namun suasana zaman tahun 1965 juga patut untuk dipertimbangkan. Kala itu sedang terjadi perseteruan budaya antara Manipol versus Manikebu, antara sastra yang dikehendaki pemerintah (bernada kerakyatan, sosialis) melawan para sastrawan yang tidak ingin dikekang oleh rezim Soekarno dan PKI. Tahun-tahun itu juga diwarnai berbagai kesulitan hidup, ekonomi yang tidak menentu, serta kebingungan arah bangsa. Saat itulah, sajak Bendera Darah dan Air Mata Kami (selanjutnya disebut BDAMK) dilepas Saini ke publik.

BENDERA DARAH DAN AIR MATA KAMI

 Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit
Berkibarlah s'lalu ! lambailah angkatan-angkatan yang akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api !
Kami yang datang hari ini dan yang bernaung di kakimu
telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.
Bendera darah dan air mata kami, berkibarlah, berkibarlah !
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa
dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.

                Seperti sajak-sajaknya yang lain, BDAMK setia pada 4 baris kuartrin, bahkan terdiri dari 3 bait, sebuah aturan puisi yang klasik. Bahasa yang digunakan juga cenderung lugas dan mudah dipahami, tanpa metafora yang tidak perlu, serta langsung menuju sasaran. Kurangnya metafora dalam puisi mengindikasikan dekatnya jarak estetis atau rendahnya mutu puisi, namun hal-hal tersebut tidak mengecilkan makna puisi ini, justru mengentalkan nilai patriotisme yang ingin disampaikan pada zaman dan anak-anak zaman kala itu (‘66) dan saat ini.
            Hal menarik pertama yang tampak adalah penggunaan kalimat “lambailah angkatan-angkatan yang akan datang dari ufuk sejarah” . Di sini Saini seperti sadar bahwa zaman itu (menjelang G-30S-PKI) adalah zaman menjelang perubahan besar, dan akan terbentuk sebuah angkatan pengubah zaman. Saini juga mengingatkan sekaligus optimis bahwa masih ada masa depan, masih ada anak cucu yang akan meneruskan perjuangan bangsa ke depan. Di bait kedua, dalam kalimat “telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri”, Saini mengingatkan bahwa kemerdekaan yang ada saat itu (tahun 1965) telah dipertahankan dengan tidak mudah. Telah banyak yang dipertaruhkan: nyawa, harta, perasaan, tenaga. Di bait terakhir, Saini bertanya dengan sindiran halus dan penuh keharuan: Apakah yang sudah kita (pembaca) berikan kepada bangsa ini? Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa, dan tangan-tangan yang akan jadi kaku selagi memegang tiangmu. Sebuah pernyataan yang saat tahun 1965 diberikan kepada anak-anak zaman itu, yang sedang bertikai secara ideologis, yang sedang bingung menentukan landasan bangsa. Apakah mereka benar-benar sedang berpikir untuk bangsa?
           
            Kembali ke masa kini, apakah pesan Saini masih aktual untuk anak-anak zaman ini?

Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa,
dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu

Kalimat tersebut serasa menohok hati, apabila direnungkan dalam-dalam oleh generasi sekarang, generasi facebook, twitter, dan online gaming. Bahkan walaupun tidak terlalu kecanduan jejaring sosial pun, para generasi muda, khususnya akan berkonsentrasi membangun karir dan mencari penghasilan yang pantas. Apakah mereka masih memikirkan apa yang dapat mereka berikan kepada tanah airnya? Apakah mereka, yang sudah bosan dengan perdebatan dan kericuhan politik, kegagalan kontingen olahraga, yang dicandui oleh budaya Korea, Jepang, dan Barat, masih menyisakan kebangaan terhadap negerinya? Yang tinggal hanyalah pertanyaan-pertanyaan retoris, sayup suara sajak sepi Saini, dan kelepak suara bendera merah putih.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar