Memandang
Bendera Darah dan Air Mata Kami dari Kaleidoskop Sejarah
Oleh: Wisnu Bramantyo
Banyak
penyair di Indonesia yang kurang mendapat apresiasi sesuai dengan yang pantas
didapatkannya. Contohnya pengarang/ penyair seperti Saini KM, Soebagyo
Sastrowardoyo, dan Kuntowijoyo yang tidak terlalu banyak diketahui publik
biarpun mereka telah berkarya dengan aktif dan menghasilkan karya-karya
bermutu, bahkan tidak hanya di dunia puisi saja. Saini khususnya,di samping
menulis puisi, ia adalah pengarang esai, drama, prosa, dan buku nonfiksi.
Kesetiannya selama hampir 20 tahun dalam membina rubrik ulasan sastra
“Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat Bandung telah menumbuhkan
bakat-bakat baru dalam dunia sastra Indonesia, khususnya Jawa Barat. Acep
Zamzam Noor, Wan Anwar, dan Agus R.Sardjono hanyalah sebagian kecil dari
sederet nama sastrawan yang menambatkan karir dan inspirasi-inspirasi awalnya
dari ulasan Saini. Walaupun begitu, peran di belakang layar ini dinikmatinya
dengan sungguh-sungguh: ia benar-benar mengerti bahwa penyair sejati selalu ada
di dalam kesepian, seperti nampak dalam sebuah pesannya untuk para penyair
muda.
Berhentilah
menulis kalau kau tak rela hidupmu
Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya
Jadi sajen di candi dewata yang tak dikenal
Menulislah kalau kau yakin sajakmu menjadi sepi
: Keheningan pertapa saat roh memandang dirinya
Saini
menulis puisi sejak masih duduk di bangku kuliah di PTPG (Pendidikan Tinggi
Pendidikan Guru, sekarang UPI Bandung). Puisinya pertama kali dimuat dalam
majalah Siasat pada tahun 1960. Selanjutnya, salah satu puisinya (Bendera Darah
dan Air Mata Kami) juga dimuat di majalah Basis
edisi Agustus 1965, sebuah puisi yang menjadi salah satu puisinya yang paling
terkenal dan kerap dibacakan dalam berbagai acara.
BENDERA DARAH DAN AIR MATA KAMI
Telah kami pertahankan bagimu suatu ruang di langit
Berkibarlah s'lalu ! lambailah angkatan-angkatan yang akan datang
dari ufuk sejarah. Biarlah mereka tengadah padamu senantiasa
Bawah hujan darah, bawah taufan api !
Kami yang datang hari ini dan yang bernaung
di kakimu
telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.
telah jauh berjalan, melangkahi mayat sanak sendiri
Kami yang kini tegak beradu bahu di sini, yakni akan kebesaran
semangat kami yang dilambangkan oleh kedua warnamu.
Bendera darah dan air mata kami,
berkibarlah, berkibarlah !
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa
dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.
Kami masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa
dan tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu
sepasang tangan di antara berjuta, yang datang dan yang pergi.
Seperti
sajak-sajaknya yang lain, BDAMK setia pada 4 baris kuartrin, bahkan terdiri
dari 3 bait, sebuah aturan puisi yang klasik. Bahasa yang digunakan juga
cenderung lugas dan mudah dipahami, tanpa metafora yang tidak perlu, serta
langsung menuju sasaran. Kurangnya metafora dalam puisi mengindikasikan
dekatnya jarak estetis atau rendahnya mutu puisi, namun hal-hal tersebut tidak
mengecilkan makna puisi ini, justru mengentalkan nilai patriotisme yang ingin
disampaikan pada zaman dan anak-anak zaman kala itu (‘66) dan saat ini.
Hal
menarik pertama yang tampak adalah penggunaan kalimat “lambailah angkatan-angkatan yang akan datang dari ufuk sejarah” .
Di sini Saini seperti sadar bahwa zaman itu (menjelang G-30S-PKI) adalah zaman
menjelang perubahan besar, dan akan terbentuk sebuah angkatan pengubah zaman.
Saini juga mengingatkan sekaligus optimis bahwa masih ada masa depan, masih ada
anak cucu yang akan meneruskan perjuangan bangsa ke depan. Di bait kedua, dalam
kalimat “telah jauh berjalan, melangkahi
mayat sanak sendiri”, Saini mengingatkan bahwa kemerdekaan yang ada saat
itu (tahun 1965) telah dipertahankan dengan tidak mudah. Telah banyak yang
dipertaruhkan: nyawa, harta, perasaan, tenaga. Di bait terakhir, Saini bertanya
dengan sindiran halus dan penuh keharuan: Apakah yang sudah kita (pembaca)
berikan kepada bangsa ini? Kami
masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa, dan tangan-tangan
yang akan jadi kaku selagi memegang tiangmu. Sebuah pernyataan yang saat
tahun 1965 diberikan kepada anak-anak zaman itu, yang sedang bertikai secara
ideologis, yang sedang bingung menentukan landasan bangsa. Apakah mereka
benar-benar sedang berpikir untuk bangsa?
Kembali
ke masa kini, apakah pesan Saini masih aktual untuk anak-anak zaman ini?
Kami
masing-masing tak mampu memberi lebih dari pada satu nyawa,
dan
tangan-tangan yang akanjadi kaku selagi memegang tiangmu
Kalimat tersebut serasa menohok
hati, apabila direnungkan dalam-dalam oleh generasi sekarang, generasi facebook, twitter, dan online gaming. Bahkan walaupun tidak
terlalu kecanduan jejaring sosial pun, para generasi muda, khususnya akan
berkonsentrasi membangun karir dan mencari penghasilan yang pantas. Apakah
mereka masih memikirkan apa yang dapat mereka berikan kepada tanah airnya?
Apakah mereka, yang sudah bosan dengan perdebatan dan kericuhan politik,
kegagalan kontingen olahraga, yang dicandui oleh budaya Korea, Jepang, dan
Barat, masih menyisakan kebangaan terhadap negerinya? Yang tinggal hanyalah
pertanyaan-pertanyaan retoris, sayup suara sajak sepi Saini, dan kelepak suara
bendera merah putih.
0 komentar:
Posting Komentar