Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

KESEDERHANAAN DAN MITOS DALAM SAJAK-SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO



KESEDERHANAAN DAN MITOS DALAM SAJAK-SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh: Windy Tiarasari Budiono

            Sapardi Djoko Damono telah membuktikan kembali bahwa ia bukanlah penyair ide. Dia tak menggunakan kata-kata abstrak dan besar, tetapi ia justru menggunakan kata-kata yang cenderung sederhana dalam sajak-sajaknya. Sapardi seolah tahu bahwa peranan mitos di dalam puisi itu adalah penting.
            Kata-kata yang sederhana sering ia gunakan untuk menyampaikna gambaran puitisnya dalam sajak-sajaknya. Namun, walaupun ia menggunakan ungkapan sederhana dalam puisi, tak identic bahwa penyairnya juga sederhana. Kesanggupan untuk memakai kata-kata sederhana itu menunjukkan bahwa Sapardi menghargai dan menghormati kata-kata. Puisi-puisi yang “hebat”, lazimnya memakai kata-kata yang nustru sederhana. Dengan sentuhan tangan penyair yang hebat, kata-kata sederhana menjelma menjadi puisi yang hebat pula.
            Sapardi juga sangat pintar dalam mendayagunakan teknik penulisan puisi. Dengan teknik berpuisinya yang sudah matang, kata-kata sederhana itupun punya mempunyai tenaga keindahan yang khas yang dimiliki oleh Sapardi Djoko Damono. Salah satu tugas penyair memang memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata agar puisi itu memiliki jiwa dalam tiap kata-katanya. Contohnya pada puisi dibawah ini:

AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang
menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana. tinggalkan begitu saja —
perahumu biar aku yang menjaganya



SERULING
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
menutup membuka lubang-lubangnya, menciptakan
pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan
jauh yang tak terbayangkan merdunya.....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa
menganga

            Dalam sajak Akulah Si Telaga dan Seruling di atas, Sapardi menggarap pencitraan alam dan alam benda. Sapardi menghidupkan alam benda untuk meninggalkan aku-lirik. Sapardi juga mengidentikkan sajaknya pada dirinya sendiri. Objek-objek diberi peran subjek-subjek dan Sapardi meletakkan dirinya sebagai persona kedua dalam sajaknya.
            Usaha ini terjadi ketika penyairnya cermat dan hemat kata-kata, jeli dan hati-hati mengamati gejala alam, dan tentunya dengan ditunjang penguasaan teknik berpuisi yang baik. Tanpa adanya kesanggupan seperti itu, semnagat bergelora seorang penyair akan berhenti atau mandeg. Tentunya tanpa adanya kesanggupan itu pula, penyair manapun tak pernah dapat menyelesaikan proses penciptaan sebuah puisi karena kata-kata yang ditulis dalam puisinua tak tampak dan tak tampil secara intuitif. Contohnya dalam sajak Perahu Kertas di bawah ini:

PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan
kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan
perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang
lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan ber
bagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau
pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang
tak pemah lepas dari rindumu itu.


Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya
Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
banjir besar dan kini terdampar di sebuah pulau."

            Dalam sajak Perahu Kertas di atas, Sapardi seolah sedang “mempermainkan” mitos. Bermula dari ungkapan gejala alam yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita baru tahu bahwa akhirnya kita diajak masuk ke dalam sebuah mitos dalam kitab suci agama Kristen. Dalam sajak Perahu Kertas, Sapardi Djoko Damono  meletakkan mitos Nuh pada akhir sajaknya.
   Taufiq Ismail juga pernah membebaskan puisi dari mitos. Hal ini terbukti pada kumpulan Tirani dan Benteng yang menyatakan hal tersebut. Tapi usaha ini lebih di latarbelakangi situasi rumit atau buteg di sektor sosial-politik-ekonomi daripada pertimbangan estetika dalam puisi modern. Puisi-puisi ini pun merupakan manifestasi dari sikap penyair (Taufiq) yang memberontak realitas rutin yang biasa dialami. Puisi anti-mitos menunjukkan adanya kemauan keras penyairnya dan keterbatasan wilayah anti-mitos itu sendiri.
            Tapi tak ada pemakai bahasa yang bebas mitos. Karena pada dasarnya bahasa itu sendiri adalah mitos. Makna bahasa dan makna kata-kata disimpan oelh masyarakatnya. Baik dulu, sekarang, maupun esok. Benteng kebudayaan berupa mitos bahasa dna mitos kata-kata ini sanagt kukuh dan kokoh. Para pemakainya mustahil dapat menggempur dan merobohkan  serta menghancurkan bangunan abstrak itu.
            Penyair modern bergulat dengan mitos. Berangkat dari mitos dan samapi pula pada mitos. Mengingkari mitos dan mengakui mitos. Mitos adalah sumber kreatidf dari seorang oenyair. Masyarakat yang kaya akan mitos merupakan wilayah yang potensial untuk lahirnya puisi besar dan penyair besar. Tak ada penayir besar yang bebas mitos. Serta tak ada puisi besar yang tanpa mitos.
            Sapardi Djoko Damono menerima mitos dengan wajar. Dia selektif dan terkesan hati-hati memanfaatkan mitos dalam puisi. Dia menggali makna di balik mitos yang ada dan kemudia menerjemahkannya ke dalam puisi.
            Ke-42 sajak dalam Perahu Kertas ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1983. Bahkan telah memperoleh hadiah seni dari Dewan Kesenian Jakarta oada tahun 1983. Sapardi juga diakui, disahkan, serta dikukuhkan secara institusional. Perahu Kertas ini “hanya” merupakan kelanjutan dari usaha Sapardi di dalam berseni kata.
            Sapardi bermain-main dengan kata-kata, dalam kata-kata dan lewat kata-kata. Pembaca Perahu Kertas akan diajak berimajinasi tentang bagiamana Sapardi bermain kata-kata untuk menciptakn seni kata-kata. Maak pantaslah jiak disebutkan bahwa Sapardi adalah seorang penyair yang berimaji dengan kata-kata yang dituangkannya dalam sajak-sajaknya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar