KESEDERHANAAN DAN MITOS
DALAM SAJAK-SAJAK SAPARDI DJOKO DAMONO
Oleh: Windy Tiarasari Budiono
Sapardi
Djoko Damono telah membuktikan kembali bahwa ia bukanlah penyair ide. Dia tak
menggunakan kata-kata abstrak dan besar, tetapi ia justru menggunakan kata-kata
yang cenderung sederhana dalam sajak-sajaknya. Sapardi seolah tahu bahwa
peranan mitos di dalam puisi itu adalah penting.
Kata-kata
yang sederhana sering ia gunakan untuk menyampaikna gambaran puitisnya dalam
sajak-sajaknya. Namun, walaupun ia menggunakan ungkapan sederhana dalam puisi,
tak identic bahwa penyairnya juga sederhana. Kesanggupan untuk memakai
kata-kata sederhana itu menunjukkan bahwa Sapardi menghargai dan menghormati
kata-kata. Puisi-puisi yang “hebat”, lazimnya memakai kata-kata yang nustru
sederhana. Dengan sentuhan tangan penyair yang hebat, kata-kata sederhana
menjelma menjadi puisi yang hebat pula.
Sapardi
juga sangat pintar dalam mendayagunakan teknik penulisan puisi. Dengan teknik
berpuisinya yang sudah matang, kata-kata sederhana itupun punya mempunyai
tenaga keindahan yang khas yang dimiliki oleh Sapardi Djoko Damono. Salah satu
tugas penyair memang memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata agar puisi itu
memiliki jiwa dalam tiap kata-katanya. Contohnya pada puisi dibawah ini:
AKULAH SI TELAGA
akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang
menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana. tinggalkan begitu saja —
perahumu biar aku yang menjaganya
SERULING
Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
menutup membuka lubang-lubangnya, menciptakan
pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan
jauh yang tak terbayangkan merdunya.....
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang
senantiasa
menganga
Dalam
sajak Akulah Si Telaga dan Seruling di atas, Sapardi menggarap
pencitraan alam dan alam benda. Sapardi menghidupkan alam benda untuk
meninggalkan aku-lirik. Sapardi juga mengidentikkan sajaknya pada dirinya
sendiri. Objek-objek diberi peran subjek-subjek dan Sapardi meletakkan dirinya
sebagai persona kedua dalam sajaknya.
Usaha
ini terjadi ketika penyairnya cermat dan hemat kata-kata, jeli dan hati-hati
mengamati gejala alam, dan tentunya dengan ditunjang penguasaan teknik berpuisi
yang baik. Tanpa adanya kesanggupan seperti itu, semnagat bergelora seorang
penyair akan berhenti atau mandeg. Tentunya tanpa adanya kesanggupan itu pula,
penyair manapun tak pernah dapat menyelesaikan proses penciptaan sebuah puisi
karena kata-kata yang ditulis dalam puisinua tak tampak dan tak tampil secara
intuitif. Contohnya dalam sajak Perahu
Kertas di bawah ini:
PERAHU KERTAS
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas
dan
kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang,
dan
perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan singgah di bandar-bandar besar,"
kata seorang
lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan ber
bagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau
pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang
tak pemah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh,
katanya
Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
banjir besar dan kini terdampar
di sebuah pulau."
Dalam
sajak Perahu Kertas di atas, Sapardi
seolah sedang “mempermainkan” mitos. Bermula dari ungkapan gejala alam yang
biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita baru tahu bahwa akhirnya kita
diajak masuk ke dalam sebuah mitos dalam kitab suci agama Kristen. Dalam sajak Perahu Kertas, Sapardi Djoko Damono meletakkan mitos Nuh pada akhir sajaknya.
Taufiq Ismail juga pernah membebaskan puisi
dari mitos. Hal ini terbukti pada kumpulan Tirani dan Benteng
yang menyatakan hal tersebut. Tapi usaha ini lebih di latarbelakangi situasi rumit
atau buteg di sektor
sosial-politik-ekonomi daripada pertimbangan estetika dalam puisi modern.
Puisi-puisi ini pun merupakan manifestasi dari sikap penyair (Taufiq) yang memberontak
realitas rutin yang biasa dialami. Puisi anti-mitos menunjukkan adanya kemauan
keras penyairnya dan keterbatasan wilayah anti-mitos itu sendiri.
Tapi
tak ada pemakai bahasa yang bebas mitos. Karena pada dasarnya bahasa itu
sendiri adalah mitos. Makna bahasa dan makna kata-kata disimpan oelh
masyarakatnya. Baik dulu, sekarang, maupun esok. Benteng kebudayaan berupa
mitos bahasa dna mitos kata-kata ini sanagt kukuh dan kokoh. Para pemakainya
mustahil dapat menggempur dan merobohkan
serta menghancurkan bangunan abstrak itu.
Penyair
modern bergulat dengan mitos. Berangkat dari mitos dan samapi pula pada mitos.
Mengingkari mitos dan mengakui mitos. Mitos adalah sumber kreatidf dari seorang
oenyair. Masyarakat yang kaya akan mitos merupakan wilayah yang potensial untuk
lahirnya puisi besar dan penyair besar. Tak ada penayir besar yang bebas mitos.
Serta tak ada puisi besar yang tanpa mitos.
Sapardi
Djoko Damono menerima mitos dengan wajar. Dia selektif dan terkesan hati-hati
memanfaatkan mitos dalam puisi. Dia menggali makna di balik mitos yang ada dan
kemudia menerjemahkannya ke dalam puisi.
Ke-42
sajak dalam Perahu Kertas ini
diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1983. Bahkan telah
memperoleh hadiah seni dari Dewan Kesenian Jakarta oada tahun 1983. Sapardi
juga diakui, disahkan, serta dikukuhkan secara institusional. Perahu Kertas ini “hanya” merupakan
kelanjutan dari usaha Sapardi di dalam berseni kata.
Sapardi
bermain-main dengan kata-kata, dalam kata-kata dan lewat kata-kata. Pembaca
Perahu Kertas akan diajak berimajinasi tentang bagiamana Sapardi bermain
kata-kata untuk menciptakn seni kata-kata. Maak pantaslah jiak disebutkan bahwa
Sapardi adalah seorang penyair yang berimaji dengan kata-kata yang
dituangkannya dalam sajak-sajaknya.
0 komentar:
Posting Komentar