Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HAKIKAT GURU DALAM “GURU”



HAKIKAT GURU DALAM “GURU”
Oleh: Frety Amora Pradiska
 
Sastra sebagai cerminan sosial budaya suatu bangsa haruslah diwariskan kepada generasi muda. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sastra pun dapat menjadi stimulus semangat kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber perenungan yang sangat kaya.
Karya sastra dapat dipandang sebagai bentuk perwujudan keinginan seorang pengarang untuk menawar dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulisan karya sastra memiliki banyak tujuan. Karya sastra ditulis untuk menyampaikan nilai pendidikan, moral, agama dan lain sebagainya.
Kata “guru”   yang digunakan dalam judul cerpen ini mempunyai makna yang beragam. Kata guru secara teknis dapat diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Selain itu, guru juga dapat dimaknai sebagai panutan yang dapat menentukan kelestarian  dan kejayaan kehidupan bangsa.
Cerpen “Guru” mengandung nilai-nilai edukasi yang kuat. Cerpen ini diawali dengan kekhawatiran orang tua karena anaknya yang bernama Taksu yang bercita-cita menjadi guru. Bagi orang tuanya, hal ini adalah malapetaka. Menurut mereka, guru masa depannya suram dan kehidupannya tidak akan sukses . kutipan di bawah ini mempertegas gambaran di atas.
Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong...


"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"

"Tapi saya mau jadi guru."


Suasana awal yang membuka cerita di atas mau tidak mau akan membuat pembaca membayangkan peristiwa apa yang kemudian terjadi. Ketidakmauan tokoh Taksu menuruti kemauan orang tuanya membuat pembaca ikut berpikir sebenarnya apa sebab dari penolakan Taksu. Mengapa ia sangat mempertahankan cita-citanya itu? Inilah yang kemudian menarik perhatian pembaca. Di sini tokoh orang tua dari Taksu sangat memaksakan kehendak, bahkan berbagai cara dilakukan untuk membuat anaknya merubah cita-citanya.
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

Kutipan di atas jelas sekali mengungkapkan bahwa ayah Taksu membeberkan semua unek-uneknya agar anaknya berubah pikiran. Namun, Taksu tetap pada pendiriannya. Inilah salah satu nilai edukasi yang dapat dipetik dari cerpen ini, bahwa hidup seharusnya tidak seperti air di atas daun talas. Taksu bersikeras sampai kapanpun ia tetap pada pendiriannya, ia ingin menjadi guru. Bahkan suatu hari ketika orangtuanya mendatangi tempat kos Taksu dengan membawa makanan kesukaannya dan juga laptop baru, Taksu masih dengan pendiriannya yaitu tetap ingin mewujudkan cita-cita mulia tersebut.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"

Taksu sudah paham perihal bagaimana prinsip seorang guru, oleh sebab  itulah ia tidak mau menuruti nasehat orang tunya. Meskipun ia dimarahi kedua orang tuanya, Taksu tetap tenang, ia tidak mau membantah setiap kata-kata yang keluar dari mulut orang tunya. Taksu sangat menghormati kedua orang tunya. Inilah nilai edukasi lain yang terdapat dalam cerpen ini, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Taksu tetap pada pendiriannya namun tetap dengan cara yang halus. Meskipun berbeda pendapat dengan orang tuanya, Taksu tetap menghormati keputusan orang tuanya tanpa membantah dengan perkataan yang tidak wajar atau tidak sopan.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Setiap pertanyaan yang diajukan kepada Taksu, selalu ia jawab dengan dingin dan tenang. Seperti “paham, tapi apa salahnya jadi guru?” Kalimat tersebut menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan seorang anak jika keinginannya ditentang orang tuanya. ‘jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?’’ Masih dengan kalimat yang santun ia menjawab pertanyaan yang selalu muncul dari orang tunya. Berikut ini kutipan yang mempertegas gambaran di atas.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

Melalui tokoh Taksu, Putu Wijaya juga menggambarkan bagaimana seharusnya watak dan sikap yang harus dimiliki jika manusia ingin menjadi pemimpin atau panutan, yaitu tidak mudah tergoda dengan materi atau sogokan lainnya. Taksu tetaplah Taksu, ia adalah manusia yang teguh pada pendiriannya. Usaha apapun yang dilakukan kedua orang tunya tidak mempan baginya. Bahkan ketika ayahnya datang dengan membawa hadiah mobil mewah, Taksu tetapa menolak keinginan orang tuanya.
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.        
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Ayahnya pun  mengancam akan menghentikan uang kiriman bulanan. Namun Taksu masih dengan pendiriannya. Hingga akhirnya membuat ayahnya marah dan mengancam akan membunuh Taksu. Taksu sungguh merupakan gambaran seorang yang memiliki hati luhur dan sederhana. Manusia yang mempunyai prinsip hidup yang jelas.
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."...

"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

Itulah guru yang sejati. Putu Wijaya mengungkapkan isi pikirannya memalui tokoh Taksu dengan dialognya yang sedikit namun tajam dimata pembaca. Ilmu yang diajarkan guru akan tetap abadi meskipun sang guru jasadnya telah tiada. Ungkapan tersebut jelas merupakan suatu nilai edukasi yang dapat menjadi pembelajaran bagi manusia, bahwa hidup tidaklah terlalu memikirkan materi tetapi lebih berpikir tentang apa yang telah diberikan kepada sesama. Secara tidak langsung tokoh Taksu juga menggambarkan nilai religiositas. Taksu dengan kepribadiannya tersebut meyakini bahwa ia pasti mati dan kembali pada Tuhan yang Maha Kuasa, namun ada hal yang tetap hidup dan sudah diberikannya kepada sesama yaitu ilmu. Ilmu datangnya dari Tuhan dan untuk manusialah ilmu itu anugerahkan. Hal ini tersirat dalam kutipan di atas.
Kehidupan duniawi akan terasa indah jika manusia dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi manusia lainnya yaitu ilmu. Ilmu sangatlah penting dalam kehidupan manusia, itulah yang berusaha digambarkan Putu Wijaya melalui cerpen ini. Guru melalui ilmunya akan tetap abadi dan bahkan bisa berkembang dan memberi inspirasi bagi generasi yang akan membawa bangsa ini menuju kesuksesan.
Taksu akhirnya memilih hidupnya sendiri, ia pergi dan hidup dengan caranya sendiri. Sementara kedua orang tuanya terkejut dengan keputusan anaknya. Taksu hanya meninggalkan secarik kertas yang ia sobek dari buku hariannya. Isinya “ maaf, tolong relakan saya menjadi guru”.  Di sini Putu Wijaya mencoba mencari solusi atas konflik anak dan orang tua tersebut. Konflik tesebutlah yang menjadikan kedua orang tua Taksu sadar akan keputusan anaknya tersebut dan mereka sadar bahwa cara memperlakukan keinginan Taksu adalah salah. Dengan usaha yang pantang menyerah, akhirnya Taksu pulang dengan menjadi seorang guru yang sukses dan ia tanpa sedikit pun melupkan orang tuanya. Taksu pergi bukan karena benci kepada orang tuanya, tapi lebih kepada bagaimana ia menggapai cita-cita mulia tersebut.
Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.

"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.

Tujuan hidup seorang anak memang menjadi hal yang utama bagi orang tua. Namun, bukankah seharusnya orang tua itu selalu mendukung keputusan anaknya jika keputusan itu adalah hal mulia yang dipilih dan diyakini sang anak. Di cerpen ini ada nilai edukasi lain yang dapat diambil yaitu tugas orang tua bukanlah menentukan jalan apa yang harus dipilih sang anak tetapi mendukung, mengarahkan dan mengawasi jalan pilihan sang anak adalah hal penting dan utama  dari tugas orang tua. Dengan catatan, selama pilihan hidup sang anak masih sesuia dengan norma-norma kebaikan.
Melalui cerpen “Guru”, Putu Wijaya berusaha menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dengan usaha dan keteguhan dalam berpendirian. Semua tuduhan yang dilontarkan kedua orang tua Taksu tentang masa depan guru mungkin ada benarnya benar. Tetapi guru tetaplah guru yang selalu hidup karena ilmu yang diajarkan. Inilah yang digambarkan pengarang melalui tokoh Taksu dengan dialog-dialognya yang sederhana dan mengena di hati pembaca.
            Karya sastra dapat dipandang sebagai bentuk dari perwujudan keinginan seorang pengarang untuk menawar dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat yang dapat bermanfaat bagi pembaca. Hal inilah yang coba dilakukan oleh Putu Wijaya dalam cerpen “Guru” ini.
Cerdas dan lugas. Putu Wijaya merangkaikan idenya dengan kata-kata yang sederhana, namun bermakna luar biasa. Pesan dalam “Guru” telah mengajarkan kepada kita arti “guru” sesungguhnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar