Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Puisi “ISA” dalam Kumpulan Deru Campur Debu sebagai Gambaran Sikap Tenggang Rasa Chairil Anwar



Puisi “ISA” dalam Kumpulan Deru Campur Debu sebagai Gambaran Sikap Tenggang Rasa Chairil Anwar
 Oleh: Dieseta Silvi Palupi

Lahir di Medan, Sumatra Utara, pada tanggal 22 juli 1922, dan merupakan anak terakhir dari dua bersaudara, membuat Chairil tumbuh sebagai seorang anak yang mempunyai sifat tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Chairil merupakan sosok yang dimanjakan oleh orang tua dan lingkungan masyarakat, karena Ia merupakan sosok yang tergolong pandai, cakap dan cerdas, sehingga banyak orang yang menyukainya. Menurut Chairil, menulis sajak bukanlah perkara sambilan, iseng, atau main-main karena kesenian harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Dalam berkarya, Chairil tidak pernah diam dan hanya menunggu Ilham, Ia selalu ingin terlibat dan terjun langsung ke dalam arus kehidupan nyata. Semua itu semua itu dipraktikannya dalam pergaulan. Ia tidak segan bergaul dengan siapapun. Abang-abang becak, tukang-tukang loak, dan bahkan pengemis-pengemis ia gauli. Gang-gang sempit dan becek ia masuki, emperan-emperan toko Ia tiduri, dan empok-empok di gubuk yang apak pun ia senda guraui. Mungkin dari situlah banyak sajak-sajak yang ditulisnya menggambarkan kehidupan-kehidupan nyata yang pernah ia jumpai. Sehingga sifat tenggang rasa Chairil yang muncul dari makna sajak-sajaknya tersebut berasal dari latar belakang pergaulannya.
Dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu terdapat 28 puisi. Puisi-puisi tersebut di antaranya adalah Aku, Hampa, Selamat Tinggal, Orang Berdua, Sia-sia, Doa, Sajak Putih, Penerimaan, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, Isa, Kepada Peminta-minta, Kesabaran, Kawanku dan Aku, Kepada Kawan, Sebuah Kamar, Kabar dari Laut, Buat Album D.S., Malam Di Pegunungan, dan Catetan Th. 1946. Dari sekian banyak puisi Chairil yang terdapat dalam kumpulan puisi “Deru Campur Debu” tersebut, puisi Isa memiliki daya tarik tersendiri bagi saya. Penyair (Chairil Anwar) adalah orang Islam, tetapi ia memiliki kepedulian terhadap agama lain atau dengan kata lain penyair adalah sosok yang memiliki tenggang rasa yang tinggi. Hal ini saya nilai dari puisinya yang berjudul Isa.

Pada judul esai di atas, saya menggunakan kata tenggang rasa, karena seperti yang sudah saya jelaskan sedikit di atas mengenai status agama penyair dengan syair yang ditulisnya. Selain puisi Isa ada beberapa puisi Chairil yang menggambarkan sikap tenggang rasa Chairil, salah satunya adalah Kepada Peminta-minta. Dilihat dari judulnya, tampak bahwa Chairil mempersembahkan puisi tersebut kepada peminta-minta atau pengemis. Persembahan puisi Chairil untuk orang lain, ternyata juga tidak hanya terdapat pada puisi “Kepada Peminta-minta” saja. Namun jika dilihat dari judulnya ada beberapa puisinya yang ditujukan kepada orang lain, diantaranya adalah Kepada Kawan, Kepada Pelukis Affandi, Buat Album D.S., Cerita Buat Dien Tamaela dan Kepada Penyair Bohang. Dengan demikian, sekilas terlihat bahwa Chairil menulis puisi tidak hanya berdasarkan gejolak dari dalam dirinya, namun ia juga menuangkan ungkapan yang Ia rasakan kepada seseorang ke dalam syair-syair puisinya.
Dalam esai ini, saya tidak akan mengritik keseluruhan puisi Chairil dalam kumpulan puisi Deru Campur Debu, namun yang akan saya bahas dalam kritik ini adalah lebih ke sudut pandang saya terhadap makna dan unsur intrinsik puisi Isa yang menggambarkan Chairil mempunyai sikap tenggang rasa, dan puisi-puisi lainnya yang mendukung sikap yang saya anggap tenggang rasa tersebut. Berikut ini ulasan mengenai makna puisi Isa.
I S A
                 kepada nasrani sejati

Itu tubuh                                                  (1)
mengucur darah                                       (2)
mengucur darah                                       (3)

rubuh                                                        (4)
patah                                                        (5)

mendampar tanya: aku salah?                  (6)

kulihat tubuh mengucur darah                 (7)
aku berkaca dalam darah                         (8)

terbayang terang di mata masa                (9)
bertukar rupa ini segara                            (10)

mengatup luka                                          (11)

aku bersuka                                              (12)

Itu tubuh                                                  (13)
mengucur darah                                       (14)
mengucur darah                                       (15)

            Puisi ini menggambarkan perasaan penyair terhadap sosok Isa yang menjadi Tuhan bagi umat nasrani. Dalam kesuluruhan isi puisi ini penyair menggambarkan bagaimana sosok Isa yang disalib. Diksi yang digunakan oleh penyair sangat lugas dan tegas.
Pada baris ke-1 penyair memilih memakai kata “tubuh” karena tubuh berbeda dari badan. Tubuh diartikan sebagai keseluruhan jasad manusia yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung kepala. Sedangkan, kata “mengucur darah” pada baris ke-2 dan ke-3 diulang dua kali oleh penyair, selain itu pada akhir puisi bait ini juga ditulis kembali. Ini menggambarkan ketegasan penyair dalam menggambarkan betapa besar pengorbanan Isa. Pada baris ke-4 sampai baris ke-6 penyair menggambarkan Isa yang telah rubuh atau mati. Kematiannya ini oleh penyair dinilai sebagai kematian yang tidak semestinya. Penyair menggunakan larik “mendampar tanya:aku salah?” untuk mengungkapkan apakah aku liris ini bersalah hingga ia harus mati dengan pengorbanan seperti itu. Pada baris ke-7 dan ke-8 penyair menggambarkan aku liris iba terhadap pengorbanan Isa, penyair berkaca atau dapat disebut berinstropeksi diri melalui pengorbanan yang telah Isa lakukan. Pada baris ke-9 aku liris dapat melihat bayangan dirinya menjadi lebih baik pada “mata masa” yang merupakan waktu atau masa depan. Pada baris ke-10 aku liris melihat dirinya “bertukar rupa” atau akan menjadi seperti Isa. Pada baris ke-11 penyair menggunakan kata mengatup luka yang menggambarkan keinginan untuk “mengatup” atau menutup rapat-rapat “luka”. Dan kemudian aku liris menjadi lebih bahagia dengan hidupnya.
Puisi di atas, menggambarkan bahwa Chairil menghargai kepercayaan kaum Nasrani kepada Isa yang telah berkorban untuk umatnya. Sikap tenggang rasa yang terlihat dari sosok Chairil dalam puisi ini adalah, bahwa Ia menghargai kepercayaan kaun nasrani terhadap Isa, sedangkan Ia bukan kaum nasrani. Ada beberapa puisi Chairil yang juga menggambarkan sikap tenggang rasanya terhadap orang lain, diantaranya adalah puisi-puisi berikut.
            Puisi Kepada Peminta-minta yang menceritakan perasaan aku liris ketika bertemu dengan peminta-minta. Keadaan peminta-minta itu sangat memprihatinkan. Aku liris seolah diingatkan kepada Dia (Tuhan) yang tampak pada “Baik, baik, aku akan menghadap Dia”. Aku liris seolah menyadari kesalahannya dan ingin bertaubat yang tampak pada “menyerahkan diri dan segala dosa”.
            Puisi Kepada Kawan memiliki diksi yang lugas sehingga mudah untuk dimengerti maksudnya. Puisi ini bertemakan perjuangan hidup. Penyair ingin mengingatkan kepada sesamanya bahwa kematian itu tak perlu ditakuti. Kematian akan datang pada waktunya sendiri. Puisi ini memiliki nada (tone) yang menggebu-gebu, penuh keberanian dan ketegasan. Puisi ini tampak ditujukan kepada seorang kawan, sehingga puisi ini termasuk puisi yang menggambarkan kepedulian Chairil terhadap orang lain.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar