Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NILAI KEHIDUPAN DALAM “MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL” KARYA ARIFIN C. NOOR

NILAI KEHIDUPAN DALAM  “MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL” KARYA ARIFIN C. NOOR
Oleh: Lailinda Nur janah

Drama ini menceritakan tentang kisah kehidupan para pegawai pabrik dan sebuah pembelajaran tentang jujur dan kebohongan di sebuah warung milik seorang simbok yang letaknya berdekatan dengan lokasi pabrik tersebut. Nama para tokoh dalam naskah drama tersebut tidak seperti nama-nama tokoh yang biasanya diceritakan, yakni si Tua, si Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga malam, Perempuan, dan si Sopir.
Dialog diawali dengan percakapan para buruh pabrik yang mencoba menyindir bagaimana kejamnya kehidupan saat ini meliputi merajalelanya tindak korupsi yang digambarkan penulis seperti seekor tikus dan tikus saat ini sudah berani beraksi di siang hari (para pelaku korupsi semakin berani dan tidak menggubris hukum yang ada di depannya nanti).
Si Kacamata    : Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
Si Pendek        : Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
Si Kurus          : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
Si Kacamata    : Dunia penuh tikus sekarang.
Si Kurus          : Dan tikus-tikus jaman sekarang beraqni berkeliaran di depan mata pada siang hari bolong.

Selain itu topik yang dibicarakan juga membahas mengenai semakin melambungnya harga kebutuhan pokok (beras) tetapi tidak diiringi dengan naiknya gaji mereka, nasib kaum bawah (buruh dan kaum terpinggirkan) yang semakin terbawahkan.
Si Kacamata    : Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
Si Peci             : Apa yang tidak naik?
Si Tua              : Semua naik.
Si Kurus          : Gaji kita tidak naik.

Di tengah-tengah percakapan di warung Simbok tersebut muncul seorang Pemuda dan memesan makanan. Percakapan tersebut berakhir seiring lonceng tanda masuk bekerja telah berbunyi. Tinggal seorang Pemuda tersebut dan sewaktu akan membayar tiba-tiba dia mengaku dompetnya tertinggal di rumah. Dia mengaku rumahnya tidak jauh dari warung tersebut dan Simbokpun tidak langsung percaya. Kemudian, muncul lagi si Kurus dan si Peci yang mencoba mendesak Pemuda dengan berbagai pertanyaan untuk membuktikan bahwa benar Pemuda tersebut memiliki rumah di desa tersebut. Namun, Pemuda selalu menjawab dan pandai dalam mencari jawaban. Setelah itu, muncul Perempuan yang mencoba meredakan sedikit keributan itu dengan membayarkan uang makanan Pemuda tersebut kepada Simbok. Kaos Pemuda dijadikan barang jaminan, sampai pada akhirnya dengan kata-kata yang berhasil memikat hati Simbok untuk menyerahkan kaos itu kembali dengan tanpa syarat. Hingga pada akhirnya Pemuda tersebut ternyata sudah biasa berbohong sama seperti yang telah dia lakukan di warung Simbok.
Untuk menganalisis realitas sosial dalam naskah drama yang berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”, maka yang perlu dibedah adalah unsur-unsur intrinsik yang berkaitan dengan penggambaran realitas sosial. Diawali dengan unsure tema. Tema juga merupakan gagasan ide pokok pikiran dalam suatu cerita.  Tema dalam sebuah cerita dapat menyampaikan amanat (pesan moral kepada pembaca).
Dalam naskah drama berjudul “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” memiliki tema yang berlingkup pada kehidupan sosial masyarakat. Hal ini didasari dari dialog-dialog yang mencoba membahas tentang masalah-masalah atau realita yang ada di masyarakat, bangsa dan negara, seperti menjamurnya korupsi, masalah ekonomi, kesejahteraan hidup, dan ketimpangan sosial. Selain itu, ditampilkan mengenai seseorang yang pandai bersilat lidah sehingga ia dapat lari dari sebuah kesalahan.
Berikutnya adalah unsur penokohan dalam naskah drama. Dimulai dengan tokoh si Tua, memiliki sifat yang sangat kritis terhadap fenomena yang ada di sekitar, seperti masalah ekonomi yaitu naiknya harga dan digambarkan penulis dalam tokoh si Tua menggambarkan seorang koruptor dengan seekor tikus yang sekarang semakin menyusahkan dan lincah hingga membuat orang frustasi dibuatnya. Selain itu, dia juga memiliki sifat selalu mengeluh atas apa yang dia hadapi. Hal ini dapat tercermin dalam dialog berikut:
Si Tua (menerima pecel) : Sedikit sekali.
Si Tua: Uang seperti tidak ada  harganya sekarang.
Si Tua: Bukan cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu sebab……….lapar.
Selanjutnya tokoh si Pendek memiliki pribadi bijaksana, itu terlihat dalam kutipan “Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua orang saja yang memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan, para priyayi dan para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja.”
Tokoh si Kurus memiliki watak yang sangat kritis terhadap fenomena yang ada di sekitar yaitu tentang nasib buruh yang tak kunjung naik gajinya, peduli pada merajalelanya tindak korupsi yang menggerogoti bangsanya. Dia juga memiliki sifat tidak suka ada kebohongan. Hal tersebut dapat tergambar dalam kutipan berikut:
Si Kurus          : Gaji kita tidak naik
Si Kurus          : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan raya.
Si Kurus (memotong) : Bohong. Bohong kau…… (geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi ingat saudara saya sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu saya tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau ketidakjujuran. Sekarang terus terang saja mau bayar atau tidak?
Si Peci merupakan tokoh yang hanya ikut-ikutan dalam menghakimi kesalahan si pemuda tanpa begitu tau masalah yang dia temui. Sedangkan si Kacamata adalah sorang yang mengambil keputusan dengan tidak melihat perasaan orang lain itu terlihat dalam kutipan “Mula-mula dia mau menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi agaknya dia berbohong.Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya untuk pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang di punya uang.”
Tokoh Simbok adalah pemilik warung pecel dalam cerita naskah drama tersebut, dia memiliki sifat yang sabar dan merasa iba terhadap keadaan seseorang. Hal ini didasarkan pada saat Pemuda yang tidak bisa membayar makanannya kemudian menceritakan kisah hidupnya yang penuh elegi dan Simbokpun rela melepaskan Pemuda itu pergi. Namun, Simbok juga mudah dibohongi dan polos, karena Pemuda tersebut ternyata berbohong pada Simbok dan telah sering berbohong dengan kasus serupa. Tokoh Pemuda merupakan seseorang yang menjadi seseorang yang berbohong dalam sebuah masalah ketika dia makan tidak bayar dengan alasan uangnya tertinggal dirumahnyaseperti yang diucapkan sikurus ”bohong. Kau tadi sudah bohong sebab itupun kau pasti pembohong.” Dan “sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong.”
Penjaga malam adalah tokoh yang berada dalam cerita ini dia menjadi seseorang yang selalu mengeluh seperti dalam kutipan “Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan”. Perempuan adalah tokoh yang tak terlalu peduli namun dia peduli pada nasib yang dialami si pemuda dia lebih baik menyelesaikan masalah itu dengan uangnya untuk membayarkan hutang si pemuda sperti pada beberapa percakapannya “Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus rupiah.”
Terakhir adalah si Sopir. Si Sopir adalah tokoh yang cukup disegani karena dia adalah paling tua dan bijaksana setelah dia keluar dari penjara dia pun menceritakan tentang kisahnya dulu dalam pembicaraanya “dalam penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak boleh berbuat jahat.”
Unsur berikutnya yang mendukung terlibatnya realitas sosial yaitu dari amanat. Amanat yang disiratkan oleh penulis bisa ditujukan oleh beberapa pihak seperti pemerintah, masyarakat, pejabat-pejabat Negara. Bagi Pemerintah misalnya, kehidupan rakyat saat ini sudahlah sangat berat dan menderita hendaknya jangan ditambah susah lagi dengan naiknya harga kebutuhan pokok dalam masyarakat. Meski sekarang sangatlah berbeda dengan zaman Belanda dulu, tetapi beban hidup jauh lebih berat saat ini. Orang miskin tambah miskin (buruh dan kaum pinggiran) dan yang kaya tambah kaya (ketimpangan sosial).
Bagi para Pejabat, Korupsi telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan modus dan caranya sudah semakin blak-blakan tak mempedulikan hukum dan norma yang ada. Sebagai warga negara yang baik hendaknya dapat mencegah tindakan tersebut dengan pendidikan karakter yang maksimal.
Bagi masyarakat dan semua insan, tindakan berbohong atau menipu orang lain sangatlah tidak baik. Sepandai-pandainya seorang penipu pasti suatu saat akan terjebak juga dalam aksinya tersebut. Selain itu, kita harus selektif dalam menilai seseorang, ucapan kata di bibir sekarang bukanlah menjadi jaminan utama seseorang tersebut baik, bisa saja orang tersebut adalah penjahat yang busuk yang nantinya akan melukai atau menjatuhkan diri kita sendiri.
Dari unsur-unsur intrinsik yang dibedah, mulai dari tema, penokohan dan amanat maka dapat diperoleh beberapa nilai kehidupan, yakni nilai sosial, nilai religious, budaya dan politik.
Nilai sosial yang terdapat dalam naskah tersebut yaitu mengenai sebuah kondisi masyarakat saat ini semakin berkurang rasa kejujuran dan kebenaran dalam diri seseorang. Seperti halnya dalam cerita naskah tersebut seorang pemuda yang bermulut manis berbohong pada simbok untuk tidak membayar makanan yang dibeli. Kondisi sosial juga terlihat dari perhatian seorang perempuan membayar makanan pemuda itu ketika si pemuda dicerca banyak orang hingga terjepit keadaannya.
Nilai religius berkaitan dengan pemahaman ajaran-ajaran agama atau yang bersifat hubungannya dengan Sang Pencipta. Naskah drama “Matahari di Sebuah Jalan Kecil” mengandung nilai religius yaitu saat si Kurus mengomentari bantuan si Perempuan terhadap Pemuda yang menipu tersebut. Dia secara eksplisit menyampaikan bahwa tindakan mencari keadilan yang dilakukannya bersama rekan-rekannya tersebut juga diridhoi oleh Tuhan, meskipun dengan cara yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam naskah berikut:
Si Kurus: ..........Apa yang kami lakukan sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan, tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.

Penggambaran realita zaman sekarang mengenai tindakan melecehkan/mempermainkan agama juga terlihat dalam naskah tersebut, yaitu ketika Pemuda dicerca berbagai pertanyaan dan dia menyatakan bersumpah demi Tuhan jika dia memang tidak berniat menipu. Tetapi, pada kenyaataannya dia memang seorang penipu ulung. Fenomena tersebut menggambarkan betapa mudahnya seseorang menggunakan atas nama Tuhannya untuk melakukan aksi kejahatan, yang sebenarnya tindakan tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama manapun.
Nilai ini berkaitan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat dan hal itu dicerminkan dalam sebuah naskah drama. Nilai budaya yang tercermin dalam naskah tersebut yaitu budaya kerja keras yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini dilihat dari dialog berikut:
Si Pendek       : Sebab itu kita tidak perlu mengeluh, apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.
Si Kacamata    : Saya juga berpikir begitu.
Dalam naskah tersebut juga tergambarkan kebiasaan masyarakat Indonesia, terutama kalangan bawah biasa jajan atau membeli makanan di warteg-warteg sambil mengobrol atau membahas suatu bahan percakapan tentang kehidupan maupun fenomena terkini yang ada di sekitar mereka.
Sedangkan nilai politik berkaitan dengan unsur politik yang diselipkan dalam naskah untuk menyindir maupun sebagai gambaran keadaan politik suatu negara saat itu. Dalam naskah tersebut, nilai politik banyak yang menyinggung mengenai sindiran politik tentang kurupsi yang semakin merajalela di jajaran pejabat negeri. Digambarkan dalam naskah, pemerintah atau pihak kepolisisan diibaratkan sebagai kucing sebagai pembasmi koruptor pun sekarang takut dengan tikus (koruptor).
Pengarang dalam menggambarkan tema cukup membuat pembaca berpikir. Hal ini dikarenkan dalam penyampaian tema pengarang tidak langsung menyebutkannya tetapi menjadi tugas pembaca untuk smencari suatu tema dalam sebuah cerita. Selain itu realita-realita kehidupan tersebut digambarkan secara utuh dan kompleks, sehingga membuat pembaca dapat menafsirkan sendiri kesatuan tema tersebut.
Penggambaran tokoh yang dilakukan oleh penulis menggunakan simbol yakni nama-nama: si Tua, si Pendek, si Kurus, si Peci, si Kacamata, Simbok, Pemuda, Penjaga malam, Perempuan, dan si Sopir. Ini sangat melekat pada karakter tokoh masyarakat yang sering kita jumpai. Sehingga memudahkan tokoh yang memerankan karena karakter fisik yang telah disebutkan.
Ragam bahasa dalam dialog tokoh-toh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hali ini disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Dan drama adalah kenyataan yang diangkat dia atas pentas. Dialog yang digunakan dalam drama ini sudah mulai menggunakan bahasa modern atau bahasa kekinian dan mudah dipahami oleh pembaca tidak seperti bahasa dalam naskah dahulu dan maknanya pun yang sebenarnya tidak dilebih-lebihkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar