Pribadi Pemimpin “Gadungan’” dalam Tokoh Rajegwesi, Jin Pohon Preh, dan
Genderuwo
Oleh: Lidya Devega Slamet
Cerita
dalam naskah Dhemit karya Heru Kesawa Murti ini memberikan gambaran pada kita
tentang keadaan sistem pemerintahan di Indonesia yang carut-marut dan
sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Naskah ini menceritakan keserakahan
penguasa, kearifan lokal yang tidak lagi diindahkan, dan keadaan moral manusia
yang semakin memprihatinkan. Naskah ini mengangkat fenomena sosial tentang
penguasa yang sebagian besar hanya memikirkan keuntungan pribadinya dalam
mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur negara. Ada satu tokoh, yaitu
Rajegwesi, yang merefleksikan pribadi para pemegang proyek pembangunan
fasilitas umum yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan
kebutuhan rakyat. Cara-cara yang tidak etis dihalalkan untuk menekan jumlah uang pembangunan
sehingga pembangunan fasilitas umum tidak akan pernah bisa optimal. Seperti
pada babak pertama dalam pembicaraannya dengan asistennya,
SULI : (Sambil
menyerahkan berkas rencana kerja) To the point. Sebaiknya pohon Preh itu
tidak usah ditebang. Dan sebagai gantinya, kita bikin jembatan masuk ke
kompleks ini. Toh membuat jembatan itu sudah ada dalam DIP, Daftar Isian
Proyek. Dan sudah dianggarkan.
RAJEGWESI:
Kalau cuma usulan seperti itu saja, saya bisa. Lha saya ini pemborongnya. Saya
ini ikut mempengaruhi pembuatan DIP itu kok.
SULI: Kalau begitu
tidak ada masalah kan ?
RAJEGWESI: Lha kok tidak ada masalah bagaimana ?
Kalau jembatan itu jadi dibuat, saya tidak bisa ngunthet. Lumayan lho ngunthet
jembatan itu.
Keadaan kepemimpinan
yang ada pada golongan dhemit pun sebenarnya adalah simbol dari egoistis
manusia yang selalu ingin dihargai dan dipentingkan. Karakter Jin Pohon Preh
yang ingin dituakan dan dipentingkan menggambarkan karakter tokoh-tokoh adat di
masyarakat yang sukar menerima perubahan sistem. Sikap Genderuwo terhadap Jin
Pohon Preh merupakan bentuk perlawanan kaum muda pada golongan tua. Keinginan
kaum muda untuk melakukan pekerjaan dengan cepat terhambat oleh izin-izin yang
harus dilakukan pada golongan tua.
Para
dhemit langsung berjaga-jaga siap melawan. Tapi yang muncul justru Sawan,
sesama dhemit, kawan mereka sendiri. Ia datang dengan menggendong sesuatu di
punggungnya.
JIN POHON PREH: Lho ini kan si Sawan ta
? Lho, lha ini kamu kok sudah menggondol wanita dari jagad kasar ? Bajigur ki ! Gue baru ngomong, elu
udah nyolong ! Siapa yang memerintahkanmu, Sawan ? Siapa ?
Sawan,
dengan menggunakan bahasa isyarat karena takut, menunjuk Gendruwo.
JIN POHON PREH: (Marah kepada
Gendruwo) Edan, kamu Gendruwo ! Jadi kamu yang memberikan perintah itu ?
Lancang ! Itu artinya kamu meremehkankwibawaan Jin Pohon Preh, pimpinan para
dhemit. Tidak sopan. Tidak punya tata krama ! Saraf !
Pada adegan saat Wilwo
membawa wanita tanpa sepengetahuan Jin Pohon Preh atas perintah Genderuwo,
membuat Jin Pohon Preh merasa tidak
dihargai padahal taktik tersebut dilakukan untuk kepentingan bersama. Sementara
tokoh Genderuwo merasa dirinya telah banyak berjasa untuk dunia dhemit sehingga
ia merasa tidak membutuhkan persetujuan Jin Pohon Preh terlebih dahulu. Para
dhemit pun menghargai Genderuwo namun tidak berani melawan kekuasaan Jin Pohon
Preh, padahal pada akhirnya Jin Pohon Preh meminta perlindungan Genderuwo saat
menghadapi gempuran manusia.
Tokoh
sesepuh sebagai simbol kearifan lokal pun dapat menggambarkan pribadi pribumi
yang menghargai kepercayaan nenek moyangnya. Menurut kepercayaan orang Jawa,
hal-hal gaib memang ada dan harus dihargai. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini
sebenarnya ditujukan untuk menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap lestari.
Kita sering mendengar mitos tentang tempat-tempat angker seperti hutan yang
tidak boleh dijamah manusia yang tujuan sebenarnya adalah agar hutan itu tidak
dirusak oleh manusia sendiri. Meskipun terkadang terjadi fenomena yang
benar-benar mistis dan tidak bisa dijelaskan secara rasional. Karena kearifan
lokal kita pun bukanlah hal yang selalu bisa dirasionalkan.
Sedangkan pada adegan 4,
yaitu pada bagian
GENDRUWO: Sesepuh Desa, Lurahe.
JIN POHON PREH: Sesepuh Desa ? Nah itu artinya kita
bakal makan.
SESEPUH DESA: Jin.....
Pohon Preeeeeeehhh....... Kini kami........ datang...... membawa sesaji
secukupnyaaaaaaaaaahhh........... *(Menyodorkan sesajinya)
JIN POHON PREH:
Egrang, tolong dicek.
EGRANG: *(Setelah mencek sesaji) Aduh, kita dihina, Lurahe. Masak kita Cuma dikasih endhas
kutuk!
GENDRUWO: *(Marah, mendekati sesepuh desa hendak memukulnya) O, edan. Kurang ajar !
JIN POHON PREH: *(Menahan Gendruwo) Jangan nekad kamu, mesti sabar kepada manusia itu.
kita harus penuh toleransi. Tidak perlu harus dimaki, dipukul. Sebab manusia
datang kemari selalu akan membawa upeti. Dan yang namanya upeti akan bertambah
dengan sendirinya. Sabar ya.
SESEPUH DESA: *(Menambah sesajinya) Jika memang dirasa kurang, Jin Pohon Preh, maka
dengan ini saya tambah kembang borehnya.
JIN POHON PREH: Nah
ya kan ? Tambah dengan sendirinya kan. Karena memang begitulah sifat upeti itu.
Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi....... rumah spanyolan.
SESEPUH DESA: Saya tambah lagi dengan kemenyan.
JIN POHON PREH: Menyan ? Wah lumayan, bisa untuk mut-mutan.
SESEPUH DESA: Jin
pohon Preh, kedatangan kami ke sini sebetulnya ingin menanyakan, apakah di sini
terselip seorang wanita dari dunia kasar ?
Adapula
pesan moral tentang kasus penyuapan atau sogokan untuk memuluskan keinginan manusia pada
simbol pemberian sesajen. Sesajen yang diberikan sesepuh pada dhemit
menggambarkan pemberian imbalan pada penguasa agar kepentingannya dipermudah.
Fenomena ini telah menjadi rahasia umum di negara kita, bahwa seseorang yang
ingin lancar berurusan dengan birokrasi, maka ia harus menyiapkan dana, entah
itu berupa uang atau materi lainnya. Hal ini membuat cerita dalam naskah ini
menarik untuk dipentaskan karena sarat akan pesan moral dan kritik sosial yang
dikemas dalam cerita yang cukup menghibur tapi tetap filosofis.
Naskah
drama ini sangat menarik dan memungkinkan untuk dipentaskan karena unsur-unsur
pemanggungan yang dibutuhkan cukup sederhana. Pada naskah ini hanya terdapat
tiga latar tempat yang penataan artistik panggungnya tidak terlalu rumit, yaitu
pohon Preh yang menjadi simbol dunia gaib, kantor tempat kontaktor dan
asistennya berdiskusi, dan desa. Penataan artistik tata rias dan kostum pun
sangat memungkinkan digarap, meskipun terdapat banyak tokoh namun karater
mereka tidak menuntut penggunaan kostum dan tatarias yang rumit. Bahasa yang
digunakan dalam setiap dialog tokohnya pun menarik, meskipun mengandung unsur
filosofis namun tetap menarik jika dimainkan.
0 komentar:
Posting Komentar