Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pribadi Pemimpin “Gadungan’” dalam Tokoh Rajegwesi, Jin Pohon Preh, dan Genderuwo



Pribadi Pemimpin “Gadungan’”  dalam Tokoh Rajegwesi, Jin Pohon Preh, dan Genderuwo
Oleh: Lidya Devega Slamet
 
Cerita dalam naskah Dhemit karya Heru Kesawa Murti ini memberikan gambaran pada kita tentang keadaan sistem pemerintahan di Indonesia yang carut-marut dan sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Naskah ini menceritakan keserakahan penguasa, kearifan lokal yang tidak lagi diindahkan, dan keadaan moral manusia yang semakin memprihatinkan. Naskah ini mengangkat fenomena sosial tentang penguasa yang sebagian besar hanya memikirkan keuntungan pribadinya dalam mengerjakan proyek pembangunan infrastruktur negara. Ada satu tokoh, yaitu Rajegwesi, yang merefleksikan pribadi para pemegang proyek pembangunan fasilitas umum yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kebutuhan rakyat. Cara-cara yang tidak etis dihalalkan untuk menekan jumlah uang pembangunan sehingga pembangunan fasilitas umum tidak akan pernah bisa optimal. Seperti pada babak pertama dalam pembicaraannya dengan asistennya,
SULI      : (Sambil menyerahkan berkas rencana kerja) To the point. Sebaiknya pohon Preh itu tidak usah ditebang. Dan sebagai gantinya, kita bikin jembatan masuk ke kompleks ini. Toh membuat jembatan itu sudah ada dalam DIP, Daftar Isian Proyek. Dan sudah dianggarkan.
RAJEGWESI:            Kalau cuma usulan seperti itu saja, saya bisa. Lha saya ini pemborongnya. Saya ini ikut mempengaruhi pembuatan DIP itu kok.
SULI: Kalau begitu tidak ada masalah kan ?
RAJEGWESI: Lha kok tidak ada masalah bagaimana ? Kalau jembatan itu jadi dibuat, saya tidak bisa ngunthet. Lumayan lho ngunthet jembatan itu.
Dari dialog kedua tokoh tersebut dapat diketahui bahwa Rajegwesi merupakan simbol dari pribadi pemimpin yang licik, kekayaan pengetahuannya tidak digunakan dengan hati. Superegonya tidak dapat mengendalikan id sehingga dia bisa melanggar norma moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Keadaan kepemimpinan yang ada pada golongan dhemit pun sebenarnya adalah simbol dari egoistis manusia yang selalu ingin dihargai dan dipentingkan. Karakter Jin Pohon Preh yang ingin dituakan dan dipentingkan menggambarkan karakter tokoh-tokoh adat di masyarakat yang sukar menerima perubahan sistem. Sikap Genderuwo terhadap Jin Pohon Preh merupakan bentuk perlawanan kaum muda pada golongan tua. Keinginan kaum muda untuk melakukan pekerjaan dengan cepat terhambat oleh izin-izin yang harus dilakukan pada golongan tua. 
Para dhemit langsung berjaga-jaga siap melawan. Tapi yang muncul justru Sawan, sesama dhemit, kawan mereka sendiri. Ia datang dengan menggendong sesuatu di punggungnya.
JIN POHON PREH: Lho ini kan si Sawan ta ? Lho, lha ini kamu kok sudah menggondol wanita dari jagad kasar ?  Bajigur ki ! Gue baru ngomong, elu udah nyolong ! Siapa yang memerintahkanmu, Sawan ? Siapa ?
Sawan, dengan menggunakan bahasa isyarat karena takut, menunjuk Gendruwo.
JIN POHON PREH: (Marah kepada Gendruwo) Edan, kamu Gendruwo ! Jadi kamu yang memberikan perintah itu ? Lancang ! Itu artinya kamu meremehkankwibawaan Jin Pohon Preh, pimpinan para dhemit. Tidak sopan. Tidak punya tata krama ! Saraf !
Pada adegan saat Wilwo membawa wanita tanpa sepengetahuan Jin Pohon Preh atas perintah Genderuwo, membuat Jin Pohon Preh  merasa tidak dihargai padahal taktik tersebut dilakukan untuk kepentingan bersama. Sementara tokoh Genderuwo merasa dirinya telah banyak berjasa untuk dunia dhemit sehingga ia merasa tidak membutuhkan persetujuan Jin Pohon Preh terlebih dahulu. Para dhemit pun menghargai Genderuwo namun tidak berani melawan kekuasaan Jin Pohon Preh, padahal pada akhirnya Jin Pohon Preh meminta perlindungan Genderuwo saat menghadapi gempuran manusia.
Tokoh sesepuh sebagai simbol kearifan lokal pun dapat menggambarkan pribadi pribumi yang menghargai kepercayaan nenek moyangnya. Menurut kepercayaan orang Jawa, hal-hal gaib memang ada dan harus dihargai. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini sebenarnya ditujukan untuk menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap lestari. Kita sering mendengar mitos tentang tempat-tempat angker seperti hutan yang tidak boleh dijamah manusia yang tujuan sebenarnya adalah agar hutan itu tidak dirusak oleh manusia sendiri. Meskipun terkadang terjadi fenomena yang benar-benar mistis dan tidak bisa dijelaskan secara rasional. Karena kearifan lokal kita pun bukanlah hal yang selalu bisa dirasionalkan.
Sedangkan pada adegan 4, yaitu pada bagian
GENDRUWO: Sesepuh Desa, Lurahe.
JIN POHON PREH: Sesepuh Desa ? Nah itu artinya kita bakal makan.
SESEPUH DESA: Jin..... Pohon Preeeeeeehhh....... Kini kami........ datang...... membawa sesaji secukupnyaaaaaaaaaahhh........... *(Menyodorkan sesajinya)
JIN POHON PREH:  Egrang, tolong dicek.
EGRANG: *(Setelah mencek sesaji) Aduh, kita dihina, Lurahe. Masak kita Cuma dikasih endhas kutuk!
GENDRUWO: *(Marah, mendekati sesepuh desa hendak memukulnya) O, edan. Kurang ajar !
JIN POHON PREH: *(Menahan Gendruwo) Jangan nekad kamu, mesti sabar kepada manusia itu. kita harus penuh toleransi. Tidak perlu harus dimaki, dipukul. Sebab manusia datang kemari selalu akan membawa upeti. Dan yang namanya upeti akan bertambah dengan sendirinya. Sabar ya.
SESEPUH DESA: *(Menambah sesajinya) Jika memang dirasa kurang, Jin Pohon Preh, maka dengan ini saya tambah kembang borehnya.
JIN POHON PREH: Nah ya kan ? Tambah dengan sendirinya kan. Karena memang begitulah sifat upeti itu. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi....... rumah spanyolan.
SESEPUH DESA: Saya tambah lagi dengan kemenyan.
JIN POHON PREH: Menyan ? Wah lumayan, bisa untuk mut-mutan.
SESEPUH DESA: Jin pohon Preh, kedatangan kami ke sini sebetulnya ingin menanyakan, apakah di sini terselip seorang wanita dari dunia kasar ?

Adapula pesan moral tentang kasus penyuapan atau sogokan  untuk memuluskan keinginan manusia pada simbol pemberian sesajen. Sesajen yang diberikan sesepuh pada dhemit menggambarkan pemberian imbalan pada penguasa agar kepentingannya dipermudah. Fenomena ini telah menjadi rahasia umum di negara kita, bahwa seseorang yang ingin lancar berurusan dengan birokrasi, maka ia harus menyiapkan dana, entah itu berupa uang atau materi lainnya. Hal ini membuat cerita dalam naskah ini menarik untuk dipentaskan karena sarat akan pesan moral dan kritik sosial yang dikemas dalam cerita yang cukup menghibur tapi tetap filosofis. 
Naskah drama ini sangat menarik dan memungkinkan untuk dipentaskan karena unsur-unsur pemanggungan yang dibutuhkan cukup sederhana. Pada naskah ini hanya terdapat tiga latar tempat yang penataan artistik panggungnya tidak terlalu rumit, yaitu pohon Preh yang menjadi simbol dunia gaib, kantor tempat kontaktor dan asistennya berdiskusi, dan desa. Penataan artistik tata rias dan kostum pun sangat memungkinkan digarap, meskipun terdapat banyak tokoh namun karater mereka tidak menuntut penggunaan kostum dan tatarias yang rumit. Bahasa yang digunakan dalam setiap dialog tokohnya pun menarik, meskipun mengandung unsur filosofis namun tetap menarik jika dimainkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar