SKETSA LIRIS
AMIR HAMZAH DALAM SAJAK “TINGGALAH” PADA KUMPULAN
SAJAK-SAJAK BUAH RINDU
Oleh: Musa Abadi
Selamat jalan
pahlawan, jasa-jasamu kepada bumi persada takkan pernah sirna. Meski ragamu
telah tiada, bara semangat revolusimu kan tetap berkobar dan menggelora dalam sanubari.
Dunia kesastraan
telah lama ditinggal salah satu pujangga hebatnya. Ide-ide brilian dari Sang Pujangga
mustahil terdengar lagi gaungnya. Sang Pujangga telah menjadi bagian tonggak sejarah
perjuangan kemerdekaan bangsa dan pelita dalam kejumudan bangsa hingga saat ini.
Mengenang sepak
terjang sosok Sang Pujangga yang satu ini bukanlah perkara mudah. Menapaktilasi
melalui media biografi tidaklah cukup untuk membedah refleksi kalbunya. Perlu adanya
afirmasi telaah beberapa karya-karya fenomenal Sang Pujangga. Pemikiran parsial
perlu dihindari karena dapat menghambat proses holistis dalam mencapai hasil
pemahaman yang komprehensif. Landasan substansial yang ideal untuk dijadikan
prinsip utama dalam menapaktilasi Sang Pujangga yaitu membuat garis imajiner
antara sosok Sang Pujangga dengan para pengagumnya laksana sejoli yang
berbicara dari hati ke hati.
Sang Pujangga
yang religius dan berpikiran modern bernama lengkap Amir Hamzah atau biasa
dipanggil Tengku Busu pada waktu kecilnya. Tepat tanggal 28 Februari 1991 di
Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara ia dilahirkan. Amir Hamzah menghabiskan
masa kanak-kanak di tanah kelahirannya. Selain belajar di sekolah yang
didirikan kakeknya, Amir juga berkesempatan menimba ilmu di sekolah-sekolah
Belanda, di antaranya: Holland
Indlandsche School (HIS) di Langkat. Kemudian setelah tamat, ia meneruskan
ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO) di Medan selama dua tahun yang kemudian dilanjutkan di MULO Jakarta.
Amirpun berkesempatan sekolah di AMS yaitu Algemeene
Middelbare School di kota Sala Jawa Tengah selepas menyelesaikan studinya di MULO. Amir juga pernah mengenyam
pendidikan di Sekolah Hakim Tinggi Jakarta walaupun pada akhirnya Amir tidak
dapat merampungkan pendidikannya di
Sekolah Hakim Tinggi hingga selesai. Walaupun bakat kepengarangannya sudah
tumbuh sejak masih kanak-kanak namun secara nyata nama Amir Hamzah—sebagai
pengarang dan tokoh pergerakan—baru terkenal ketika ia di AMS.
Tulisan-tulisannya banyak dimuat di majalah “Timboel” dan “Pandji Pustaka”.
Pada Sajak yang
berjudul “Tinggallah” tampak sekali kondisi Amir yang sedang mengalami dilema
kerinduan yang mendalam. Perantauan Amir menuju pulau jawa untuk menuntut ilmu
telah membuat hatinya sepi. Bunda, Pulau Sumatera, dan teman-teman sejawat di
kampung telah tidak berada secara dekat disampingnya. Hal tersebut diperkuat
dengan seringnya penyebutan bundo dan ibu.
Untuk menguak gelora liris Amir Hamzah secara intensif dalam sajak “Tinggallah”
dapat mengaplikasikan metode membaca dekat. Metode tersebut, menggali arti dari
susunan teks (Rohman, 2012:83).
TINGGALLAH
Tinggallah
tuan, tinggalah bonda
tahan
airku Sumatera raya
anakda
berangkat ke pulau Jawa
memunggut
bunga suntingan kepala.
Pada
bait tersebut, Amir Hamzah teringat ketika ia menyampaikan salam perpisahan
kepada ibu dan tanah kelahirannya untuk pertama kali demi menuntut ilmu di
Pulau Jawa. Perasaan haru mewarnai hati Amir Hamzah.
Pantai
cermin rumu melambai
selamat
tinggal pada anakda
rasakan
ibu serta handai
mengantarkan
beta ke pengkalan kita.
Pada bait tersebut, Gemuruh
ombak pantai di sekitar dermaga menjadi saksi bisu kepergian Amir Hamzah. Amir
Hamzah melukiskan perasaan Ibu dan handai tolan yang mengantarkan kepergiannya
kala itu juga merasakan apa yang dirasakan Amir Hamzah. Seolah-olah mereka juga
ikut menyahut salam perpisahan di dermaga diiringi haru.
Telah
lenyap pokok segala
bondaku
tuan duduk berselimut
di
balik cindai awan angkasa
jauh
hatipun konon datang meliput.
Pada bait tersebut,
Amir Hamzah menceritakan kegetirannya ketika dia ditinggalkan ibunya. Amir
Hamzah tidak dapat lagi mendengarkan nasihat-nasihat bundanya. Amir Hamzah
hanya bisa mengenang kebaikan-kebaikan ibunya. Dalam kesendiriannya di
perantauan, Amir Hamzah mencoba menahan kepedihannya.
Selat
melaka ombaknya memecah
memukul
kapal pembawa beta
rasakan
swara yang maha ramah
melengahkan
anakda janganlah duka.
Pada bait tersebut, kapal layar yang
ditumpangi oleh Amir Hamzah melaju semakin kencang. Seolah-olah mengajak Amir
Hamzah mengusir kepedihan yang ia rasakan.
layang-layang
terbang berlomba-lomba
akan
ibu penambah mulya.
Menuju
pulau kejunjung tinggi
dalam
hatiku kujadikan duka
menyampaikan
pesan kataan hati.
Pada bait tersebut, cita-cita Amir Hamzah sungguh banyak. Kekuatan
restu ibunya akan menambah semangatnya demi meraihnya. Amir Hamzah ingin
menyampaikannya namun tidak bisa. Ia hanya bisa memendamnya.
Selamat
tinggal bondaku perca
panjang
umur kita bersua
gobahan
cempaka anakda bawa
jadikan
gelang di kaki bonda.
Pada bait tersebut, Amir
Hamzah menyampaikan salam perpisahan kepada bundanya. Harapannya kelak ia dapat
berjumpa kembali. Petuah yang diamanatkan bundanya akan selalu dipegangnya.
Amir Hamzah bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Ilmu yang akan didapatkannya
kelak akan dijadikan wujud baktinya.
Gelang
cempaka pujaan dewa
anakda
petik di tanah Jawa
akan
bonda penambah cahaya.
Pada bait tersebut, Amir Hamzah
mengibaratkan ilmu sebagai hal yang sangat dimuliakan. Ilmu yang dipelajari
Amir Hamzah di pulau Jawa akan dijadikan doa bagi ibunya.
Amir
Hamzah.
Dalam sajak
“Tinggallah” tampak sekali terdapat intervensi pemikiran barat. Penggunaan
metafora dan bentuk puisi yang tidak terikat oleh bentuk lama merupakan salah
satu indikatornya. Akan tetapi, secara umum pribadi Amir Hamzah tidaklah
berubah. Meskipun Amir mendapat didikan Barat, dia dalam segala karangannya
tetap bersifat Melayu (Jassin, 1962: 15). Pemikirannya tetap menjunjung adat
ketimuran. Hasil karya berupa karangan-karangan tetap bersemangat Melayu dan
memuja kebesaran Malaka di masa silam (Jassin, 1985: 140). Karya tersebut,
penuh dengan orisinalitas pemikiran timur yang sering dibalut dengan kejujuran
dan ketulusan hati. Rangkaian tulisan yang tertata dengan apik dan indah serta
terasa liris dalam sajak tersebut tentunya melukiskan apa yang dirasakan Amir
kala itu.
DAFTAR
RUJUKAN
Hamzah.
A. 1969. Buah Rindu. Jakarta: Dian
rakyat.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Antologi
Biografi Pengarang
Sastra Indonesia
1920-1950.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
RI.
Jassin.
H. B. 1962. Raja Pujangga Baru.
Jakarta: Gunung Agung.
Jassin.
H. B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei 1.
Jakarta:
Gramedia.
Rohman.
S. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaran
Sastra. Jogjakarata: Ar-
Ruzz
Media.
Suwignyo.
H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern
Pengantar Pemahaman
Teori dan
Penerapannya.
Malang: A3 (Asah Asih Asuh).
Teeuw.
A. 1980. Sastra Baru Indonesia.
Flores: Nusa Indah.
0 komentar:
Posting Komentar