Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SKETSA LIRIS AMIR HAMZAH DALAM SAJAK “TINGGALAH” PADA KUMPULAN SAJAK-SAJAK BUAH RINDU



SKETSA LIRIS AMIR HAMZAH DALAM SAJAK “TINGGALAH” PADA KUMPULAN SAJAK-SAJAK BUAH RINDU
Oleh: Musa Abadi

            Selamat jalan pahlawan, jasa-jasamu kepada bumi persada takkan pernah sirna. Meski ragamu telah tiada, bara semangat revolusimu kan tetap berkobar dan menggelora dalam sanubari.
Dunia kesastraan telah lama ditinggal salah satu pujangga hebatnya. Ide-ide brilian dari Sang Pujangga mustahil terdengar lagi gaungnya. Sang Pujangga telah menjadi bagian tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa dan pelita dalam kejumudan bangsa hingga saat ini.
Mengenang sepak terjang sosok Sang Pujangga yang satu ini bukanlah perkara mudah. Menapaktilasi melalui media biografi tidaklah cukup untuk membedah refleksi kalbunya. Perlu adanya afirmasi telaah beberapa karya-karya fenomenal Sang Pujangga. Pemikiran parsial perlu dihindari karena dapat menghambat proses holistis dalam mencapai hasil pemahaman yang komprehensif. Landasan substansial yang ideal untuk dijadikan prinsip utama dalam menapaktilasi Sang Pujangga yaitu membuat garis imajiner antara sosok Sang Pujangga dengan para pengagumnya laksana sejoli yang berbicara dari hati ke hati.
Sang Pujangga yang religius dan berpikiran modern bernama lengkap Amir Hamzah atau biasa dipanggil Tengku Busu pada waktu kecilnya. Tepat tanggal 28 Februari 1991 di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara ia dilahirkan. Amir Hamzah menghabiskan masa kanak-kanak di tanah kelahirannya. Selain belajar di sekolah yang didirikan kakeknya, Amir juga berkesempatan menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, di antaranya: Holland Indlandsche School (HIS) di Langkat. Kemudian setelah tamat, ia meneruskan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan selama dua tahun yang kemudian dilanjutkan di MULO Jakarta. Amirpun berkesempatan sekolah di AMS yaitu Algemeene Middelbare School di kota Sala Jawa Tengah selepas menyelesaikan studinya di MULO. Amir juga pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Hakim Tinggi Jakarta walaupun pada akhirnya Amir tidak dapat merampungkan  pendidikannya di Sekolah Hakim Tinggi hingga selesai. Walaupun bakat kepengarangannya sudah tumbuh sejak masih kanak-kanak namun secara nyata nama Amir Hamzah—sebagai pengarang dan tokoh pergerakan—baru terkenal ketika ia di AMS. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di majalah “Timboel” dan “Pandji Pustaka”.
Kumpulan sajak buah rindu merupakan salah satu masterpiece yang memiliki pesona dan eksotisme serta harmoni tersendiri. Dalam mengkaji karya tersebut, pendekatan ekspresif dapat digunakan sebagai orientasi penilaian. Suatu karya sastra dinilai baik apabila ekspresi pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dalam karya sastra dengan nyata (Suwignyo, 2010: 63). Secara implisit kumpulan sajak buah rindu menceritakan kegetiran dan belenggu perang gejolak jiwa dalam diri Sang Pujangga pada saat merantau ke Pulau Jawa. Pemicu utaman Sang Pujangga merasakan hal tersebut ialah sebuah kerinduan. Kerinduan yang menyelimuti pikiran dan hatinya. Sesuai judulnya “Buah Rindu” mengandung sajak kerinduan terhadap beberapa objek, seperti: ibunya, negeri asalnya (Sumatera), gadis yang dikasihinya (Teeuw, 1980: 132). Salah satu sajak dari kumpulan sajak buah rindu yang secara eksplisit menggambarkan kondisi tersebut berjudul “Tinggallah”.
Pada Sajak yang berjudul “Tinggallah” tampak sekali kondisi Amir yang sedang mengalami dilema kerinduan yang mendalam. Perantauan Amir menuju pulau jawa untuk menuntut ilmu telah membuat hatinya sepi. Bunda, Pulau Sumatera, dan teman-teman sejawat di kampung telah tidak berada secara dekat disampingnya. Hal tersebut diperkuat dengan seringnya penyebutan bundo  dan ibu. Untuk menguak gelora liris Amir Hamzah secara intensif dalam sajak “Tinggallah” dapat mengaplikasikan metode membaca dekat. Metode tersebut, menggali arti dari susunan teks (Rohman, 2012:83).

TINGGALLAH


Tinggallah tuan, tinggalah bonda
tahan airku Sumatera raya
anakda berangkat ke pulau Jawa
memunggut bunga suntingan kepala.
           
            Pada bait tersebut, Amir Hamzah teringat ketika ia menyampaikan salam perpisahan kepada ibu dan tanah kelahirannya untuk pertama kali demi menuntut ilmu di Pulau Jawa. Perasaan haru mewarnai hati Amir Hamzah.

Pantai cermin rumu melambai
selamat tinggal pada anakda
rasakan ibu serta handai
mengantarkan beta ke pengkalan kita.

Pada bait tersebut, Gemuruh ombak pantai di sekitar dermaga menjadi saksi bisu kepergian Amir Hamzah. Amir Hamzah melukiskan perasaan Ibu dan handai tolan yang mengantarkan kepergiannya kala itu juga merasakan apa yang dirasakan Amir Hamzah. Seolah-olah mereka juga ikut menyahut salam perpisahan di dermaga diiringi haru.

Telah lenyap pokok segala
bondaku tuan duduk berselimut
di balik cindai awan angkasa
jauh hatipun konon datang meliput.
           
Pada bait tersebut, Amir Hamzah menceritakan kegetirannya ketika dia ditinggalkan ibunya. Amir Hamzah tidak dapat lagi mendengarkan nasihat-nasihat bundanya. Amir Hamzah hanya bisa mengenang kebaikan-kebaikan ibunya. Dalam kesendiriannya di perantauan, Amir Hamzah mencoba menahan kepedihannya.

Selat melaka ombaknya memecah
memukul kapal pembawa beta
rasakan swara yang maha ramah
melengahkan anakda janganlah duka.

             Pada bait tersebut, kapal layar yang ditumpangi oleh Amir Hamzah melaju semakin kencang. Seolah-olah mengajak Amir Hamzah mengusir kepedihan yang ia rasakan.
           
layang-layang terbang berlomba-lomba
akan ibu penambah mulya.
Menuju pulau kejunjung tinggi
dalam hatiku kujadikan duka
menyampaikan pesan kataan hati.
           
Pada bait tersebut,  cita-cita Amir Hamzah sungguh banyak. Kekuatan restu ibunya akan menambah semangatnya demi meraihnya. Amir Hamzah ingin menyampaikannya namun tidak bisa. Ia hanya bisa memendamnya.

Selamat tinggal bondaku perca
panjang umur kita bersua
gobahan cempaka anakda bawa
jadikan gelang di kaki bonda.
           
Pada bait tersebut, Amir Hamzah menyampaikan salam perpisahan kepada bundanya. Harapannya kelak ia dapat berjumpa kembali. Petuah yang diamanatkan bundanya akan selalu dipegangnya. Amir Hamzah bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Ilmu yang akan didapatkannya kelak akan dijadikan wujud baktinya.
           
Gelang cempaka pujaan dewa
anakda petik di tanah Jawa
akan bonda penambah cahaya.
           
Pada bait tersebut, Amir Hamzah mengibaratkan ilmu sebagai hal yang sangat dimuliakan. Ilmu yang dipelajari Amir Hamzah di pulau Jawa akan dijadikan doa bagi ibunya.

Amir Hamzah.

Dalam sajak “Tinggallah” tampak sekali terdapat intervensi pemikiran barat. Penggunaan metafora dan bentuk puisi yang tidak terikat oleh bentuk lama merupakan salah satu indikatornya. Akan tetapi, secara umum pribadi Amir Hamzah tidaklah berubah. Meskipun Amir mendapat didikan Barat, dia dalam segala karangannya tetap bersifat Melayu (Jassin, 1962: 15). Pemikirannya tetap menjunjung adat ketimuran. Hasil karya berupa karangan-karangan tetap bersemangat Melayu dan memuja kebesaran Malaka di masa silam (Jassin, 1985: 140). Karya tersebut, penuh dengan orisinalitas pemikiran timur yang sering dibalut dengan kejujuran dan ketulusan hati. Rangkaian tulisan yang tertata dengan apik dan indah serta terasa liris dalam sajak tersebut tentunya melukiskan apa yang dirasakan Amir kala itu.  
DAFTAR RUJUKAN

Hamzah. A. 1969. Buah Rindu. Jakarta: Dian rakyat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Antologi Biografi Pengarang
Sastra Indonesia 1920-1950. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.

Jassin. H. B. 1962. Raja Pujangga Baru. Jakarta: Gunung Agung.

Jassin. H. B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei 1.
Jakarta: Gramedia.

Rohman. S. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaran Sastra. Jogjakarata: Ar-
Ruzz Media.

Suwignyo. H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern Pengantar Pemahaman
Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asah Asih Asuh).

Teeuw. A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa Indah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar