Saya dan
Ungkapan Batin Si Celurit Emas
Oleh: Widya
Uffi Damayanti
Membaca puisi-puisi D. Zawawi Imron sama seperti membaca alam dan budaya
bangsa Indonesia, utamanya alam dan kebudayaan Madura. Siapa yang sanggup
menjelaskan bahwa penyair yang sangat produktif dalam dunia kesusastraan ini
hanyalah orang kampung yang bahkan tidak pernah bergaul dengan dunia
intelektual, apalagi bersentuhan dengan wacana dan kebudayaan asing.
Menakjubkan memang, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi nyatanya
sanggup menghasilkan puluhan puisi indah. Sajak Bulan Tertusuk Ilalang (1982) ciptaannya
sanggup memberi inspirasi kepada sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film
layar perak dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek
Moyangku Airmata (1985) mendapat hadiah sebagai buku puisi yang terbaik dari
Yayasan Buku Utama. Bahkan pada tahun 1990 kumpulan sajaknya Celurit Emas
terpilih sebagai puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juga
di tahun 1995, sajaknya Dialog Bukit Kamboja keluar sebagai pemenang pertama
dalam Sayembara Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan
oleh salah satu stasiun swasta.
Kekayaan Zawawi adalah kesetiaan jiwanya pada desa tempat jasadnya
dilahirkan dan tinggal—Batang-batang, Madura. Kesetiaan itulah yang membuat Zawawi
lebih memilih menggunakan kosakata alam, hal ini terlihat jelas pada puisi-puisi
gubahannya yang selalu saja dipenuhi kata-kata alam yang dipermainkan
sedemikian rupa. Keindahan kata-kata alam yang dijalin Zawawi dalam puisinya
terasa lebih istimewa tatkala butiran kata itu disibak satu-persatu untuk
menemukan kata yang tersembunyi dalam kata lain. Dengan artian, puisi Zawawi
bukan hanya sekedar menghadirkan nuansa alam namun juga mengandung pesan-pesan
kehidupan yang disamarkan, termasuk di dalamnya kumpulan puisi Celurit Emas. Pesan-pesan
kehidupan itu tidak nampak memang, tertutup oleh indahnya jalinan kata, namun setidaknya
Zawawi telah memberi bocoran bahwa Celurit Emas ini memang mengandung
pesan-pesan kehidupan.
Kalau celurit emas
dihantamkan kepada orang yang benar, jangankan terluka, merasa sakitpun tidak.
Tapi kalau terhadap pengkhianat, pemeras, penindas, penghisap dan sebangsanya,
maka celurit emas itu akan terbang tanpa disuruh, dan ia akan menyelesaiakan
persoalan sesuai dengan hakikat kebenaran. Ia dirindukan orang-orang
sebagaimana orang-orang Keristen merindukan kembalinya Keristus.” (Imron, D
Zawawi, 1997:14)
Dalam kutipan itu terungkap harapan batin Zawawi agar Celurit Emas mampu
menyelesaikan persoalan kehidupan sesuai dengan hakikat kebenaran, dengan
demikian Celurit Emas ini pastilah mengandung pesan kehidupan. Kutipan di atas
juga menegaskan kekhasan lain dalam puisi Zawawi selain penggunaan
metafor-metafor khas Madura adalah bagaimana Beliau mampu menceritakan Madura
dari berbagai sisi yang berbeda, seakan ingin membuktikan Madura bukanlah
seorang yang kejam, seperti yang terlihat selama ini. Misalnya saja bagaimana
imajinasi Zawawi memberi makna lain pada celurit—senjata tradisional Madura
yang kekejamannya terkenal di bumi Indonesia akibat seringnya digunakan untuk carok. Zawawi berkelakar, celurit
senjata tradisional Madura yang seperti itu sudah tidak ada lagi, karena dia
sudah merubah celurit tersebut sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan
kehidupan sesuai dengan hakikat kebenaran.
Demikianlah membaca Celurit Emas bagai menerawang isi batin Zawawi,
seperti pengakuannya, “Dan saya yakin, sebuah sajak yang saya tulis tanpa
sebuah kejujuran hati nurani tak akan pernah mampu mengurangi perjalanan waktu
sehingga tak akan punya nilai abadi” (Imron, D Zawawi, 1997:16). Dilihat dari
kacamata pembaca, perkataan Zawawi tersebut tentu dapat diartikan bahwa Zawawi
selalu menulis puisinya dengan sangat jujur sesuai dengan apa yang Beliau alami
dan rasakan.
Pesan Kehidupan dari Si Celurit Emas
“Madura itu
detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya
menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup
udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan
dikubur di sana.
Tapi, saya inginkan Madura
yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura
yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.”
(Kompas.com, 2011)
Pesan kehidupan dalam kumpulan puisi Celurit Emas ini merupakan pesan yang
terlihat paling menonjol diantara pesan-pesan kehidupan lain yang diusung oleh Zawawi.
Tentu saja kehidupan yang dimaksudkan adalah kehidupan manusia di tanah Madura.
Namun, melihat Si Celurit Emas berkisah mengenai kehidupan seorang Madura di
pulau garam, bagai melihat cerminan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Seperti Sapiku, puisi yang penuh dengan simbol ini menceritakan perjuangan
hidup dan harapan batin si Madura.
Sapiku
Sapiku berpacu
di atas seratus bukit
melintas jembatan tulang-belulang
di sungai hijau berhulu roh
sepikul lengkuas telah dikunyah
disorong tuak siwalan
sapiku bertanduk tombak
karena tembok langit harus
dibongkar
agar angin dari dunia lain
mengalir kemari
dan menggali pori-pori
Sapiku pertapa di delta sungai
memamah biak buah maja
karena ia lahir
dari perih dan dahaga
Sapiku berkaki pena
semua daun ingin ditulisnya
dengan tinta air mata
telah dicantumkannya bulan di
langit
yang ia tempa dari darah ibunya
Sapiku berpacu, hurraaaaa!
Menyeretku ke hening bapa
Sapi
merupakan komoditas kebanggaan dan simbol kekayaan bagi masyarakat Madura. Munculnya
kebudayaan karapan sapi di kalangan
masyarakat Madura juga semakin menasbihkan sapi sebagai simbol dari masyarakat
Madura. Demikian halnya dengan puisi di atas, dimana sapi merupakan simbol dari
orang-orang Madura yang mewakili diri penyair.
Bait pertama pada puisi Sapiku secara keseluruhan menggambarkan citraan seperti
suatu keadaan yang kering dan panas atau suatu daerah dengan keadaan alam yang
kering dan panas. Dengan demikian, bait pertama berarti si Madura sedang
menjelajahi daerah-daerahnya yang kering dan panas.
Bait kedua secara keseluruhan menceritakan kehidupan si Madura yang
miskin, dia bahkan harus rela makan lengkuas dan minum tuak siwalan. Si Madura
ingin membongkar sesuatu yang tidak tersentuh yang telah membuat Madura seperti
suatu tempat yang sangat terpencil, tercermin pada larik sapiku bertanduk tombak karena tembok langit harus dibongkar.
Sedangkan agar angin dari dunia
lain mengalir ke mari, menandakan betapa terisolasinya si Madura dari
kehidupan di luar pulau. Dan menggali
pori-pori yang menyatakan si Madura mengharapkan bantuan dari kehidupan di
luar pulau. Dengan demikian dapat ditangkap bahwa, kemiskinan yang terjadi di
Madura juga merupakan pengaruh dari orang-orang di luar pulau—bisa jadi
pemerintah—yang tidak mau peduli dengan mereka.
Kemiskinan yang digambarkan pada bait kedua rupanya dipertegas lagi pada
bait ketiga. Bait ketiga menggambarkan si Madura yang terasing dari dunia luar—sapiku pertapa. Dalam bait ketiga juga
tergambar si Madura sejak lahir sudah harus merasakan perihnya kelaparan dan kehausan
karena alam yang tidak bersahabat. Terjadi perubahan simbol pada bait keempat,
sapi yang semula dianggap si Madura, pada bait keempat ini terasa lebih
mewakili jiwa penyair. Jadi sapi merupakan seorang penyair yang ingin
mengisahkan kesemua orang bagaimana keadaan daerahnya yang menyedihkan—sapiku berkaki pena, semua daun ingin
ditulisnya. Dia juga mengungkapkan kesedihan batinnya dalam—dengan tinta air mata. Sedangkan bait ke
lima lebih mengajak pembaca untuk merenungi nasib.
Sapiku, si Madura, begitulah puisi tentang kehidupan yang diceritakan
dengan sangat menarik. Seperti berbicara pada dirinya sendiri, seperti tidak
sedang menyampaikan sebuah pesan, bahkan tanpa kata-kata paksaan dalam
puisinya, Zawawi rupanya berkeinginan para pembaca untuk meresapi sendiri
pesan-pesan kehidupan yang dibawa Sapiku dan memutuskan sendiri ke mana dia
akan melangkah. Seperti yang pasti terlintas dalam otak setiap pembaca puisi
ini, pesan kehidupan yang coba diselipkan Zawawi adalah bagaimana seseorang
dapat memaknai kehidupan ini dengan rasa syukur yang berlimpah, terlebih saat mengetahui
bahwa di gemerlapnya lampu kehidupan terdapat sudut-sudut kecil yang tidak
diterangi oleh cahaya.
Puisi lain yang tidak kalah penting dan patut dibahas dalam kumpulan
puisi ini adalah Celurit Emas. Puisi yang dituliskan dengan gaya prosa ini bisa
dikatakan sebagai inti dari kumpulan puisi Celurit Emas.
Celurit Emas
roh-roh bebunga yang layu
sebelum semerbak itu mengadu kehadapan celurit yang ditempa dari jiwa, celurit
itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan
yang
pura-pura mati dalam terang
dan
bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang
menunggunya di seberang meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah
ke dalam dirinya.
nisan-nisan tak bernama
tersenyum karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan
mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci.
celurit itu punya siapa?
amin!
Kata pertama yang pasti mengundang pertanyaan pembaca tentu saja kata celurit,
yang akan mengingatkan kita pada senjata tradisional penduduk Madura yang
bentuknya seperti tanda tanya. Seandainya pembaca tidak membaca kumpulan puisi
dari awal dan tidak memahami keseluruhan isi puisi ini, mungkin yang muncul
dalam benak adalah celurit senjata tajam yang selalu digunakan dalam budaya carok yang mengerikan di Madura. Namun
hal itu, telah dijelaskan di awal penulisan esai-kritik ini, bahwa celurit yang
dimaksud Zawawi bukanlah dalam artian yang sebenarnya. Celurit senjata orang
Madura yang kejam telah diganti dengan celurit sebagai senjata atau kekuatan
yang digunakan untuk mengatasi permasalahan di dunia dengan hakikat kebenaran.
Roh-roh bebunga—merupakan
perwakilan dari anak-anak muda, sehingga larik roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak dapat diartikan sebagai
anak-anak muda yang layu sebelum dapat berkembang. Yang dimaksud dengan layu
adalah tidak adanya kesempatan bagi anak-anak muda ini untuk mengembangkan
dirinya. Yang pura-pura mati dalam dalam
terang, dan bergila dalam gelap—seperti menggambarkan kehidupan orang-orang
munafik. Di mana seseorang itu berpura-pura baik jika berada di hadapan
orang-orang tertentu, namun sejatinya ada jiwa gelap yang bersemayam dalam
dirinya dan hanya dimunculkan pada saat-saat tertentu. Dengan kata lain,
kehidupan yang dijalanani orang itu hanyalah sandiwara belaka yang penuh dengan
kebohongan.
Celurit yang dibuat dari jiwa ini diharapkan dapat menjadi tonggak dalam
menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan hakikat kebenaran, seperti yang
tercermin pada larik nisan-nisan tak
bernama tersenyum karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari
akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. Nisan-nisan tak bernama mencerminkan orang-orang yang sudah
meninggal dan tidak diketahui namanya, dapat juga mengarah pada korban tindak
kejahatan yang tidak mendapatkan keadilan. Dalam larik itu juga menguatkan
bahwa celurit ini tidak berseberangan dengan kaidah agama. Zawawi dengan cerdik
membuat larik pertanyaan, celurit ini
punya siapa? Larik itu seperti mengatakan bahwa celurit ini bukan milik
siapa-siapa dan siapapun dapat memilikinya, karena celurit itu merupakan
kekuatan positif yang dapat menjadi senjata untuk melawan kejahatan. Sedangkan
larik amin! menandakan bahwa penyair
berdoa supaya celurit ini dapat bertugas sesuai dengan harapannya.
Dari puisi Celurit Emas itu terasa harapan Zawawi supaya Celurit Emas
ciptaannya (kumpulan puisi) ini dapat diterima oleh masyarakat dan pesan-pesan
kehidupan di dalamnya dapat dijadikan energi positif untuk melawan tindak
kejahatan sesuai dengan hakikat kebenaran.
Mungkin untuk mengenali lebih mendalam kehebatan kumpulan puisi ini,
hingga disebut sebagai kumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa tahun 1990, membutuhkan banyak pendekatan dan banyak
penafsiran dari masing-masing puisi yang dituliskan. Namun rasanya, dua puisi
di atas sudah cukup menggambarkan isi batin si Celurit Emas, yang ingin
mengenalkan Madura yang sesungguhnya. Dalam artian, Madura bukanlah seorang
yang kejam, seperti yang selama ini dikenal oleh masyarakat dengan budaya caroknya, banyak hal luhur tentang
Madura yang perlu diketahui orang-orang.
Daftar
Rujukan:
Imron, D
Zawawi. 1997. Celurit Emas. Surabaya:
CV. Bintang Surabaya
Khoiri, Ilham.
2011. Dari Madura Menemukan Indonesia,
(online), (http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/09072479/Dari.Madura.Menemukan.Indonesia diakses pada 25 Maret 2013)
0 komentar:
Posting Komentar