Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Saya dan Ungkapan Batin Si Celurit Emas



Saya dan Ungkapan Batin Si Celurit Emas
Oleh: Widya Uffi Damayanti

Membaca puisi-puisi D. Zawawi Imron sama seperti membaca alam dan budaya bangsa Indonesia, utamanya alam dan kebudayaan Madura. Siapa yang sanggup menjelaskan bahwa penyair yang sangat produktif dalam dunia kesusastraan ini hanyalah orang kampung yang bahkan tidak pernah bergaul dengan dunia intelektual, apalagi bersentuhan dengan wacana dan kebudayaan asing. Menakjubkan memang, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi nyatanya sanggup menghasilkan puluhan puisi indah. Sajak Bulan Tertusuk Ilalang (1982) ciptaannya sanggup memberi inspirasi kepada sutradara Garin Nugroho dalam pembuatan film layar perak dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata (1985) mendapat hadiah sebagai buku puisi yang terbaik dari Yayasan Buku Utama. Bahkan pada tahun 1990 kumpulan sajaknya Celurit Emas terpilih sebagai puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juga di tahun 1995, sajaknya Dialog Bukit Kamboja keluar sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Nasional Menulis Puisi 50 Tahun Kemerdekaan RI yang diadakan oleh salah satu stasiun swasta.
Kekayaan Zawawi adalah kesetiaan jiwanya pada desa tempat jasadnya dilahirkan dan tinggal—Batang-batang, Madura. Kesetiaan itulah yang membuat Zawawi lebih memilih menggunakan kosakata alam, hal ini terlihat jelas pada puisi-puisi gubahannya yang selalu saja dipenuhi kata-kata alam yang dipermainkan sedemikian rupa. Keindahan kata-kata alam yang dijalin Zawawi dalam puisinya terasa lebih istimewa tatkala butiran kata itu disibak satu-persatu untuk menemukan kata yang tersembunyi dalam kata lain. Dengan artian, puisi Zawawi bukan hanya sekedar menghadirkan nuansa alam namun juga mengandung pesan-pesan kehidupan yang disamarkan, termasuk di dalamnya kumpulan puisi Celurit Emas. Pesan-pesan kehidupan itu tidak nampak memang, tertutup oleh indahnya jalinan kata, namun setidaknya Zawawi telah memberi bocoran bahwa Celurit Emas ini memang mengandung pesan-pesan kehidupan.
“....Celurit senjata tradisional Madura itu sudah saya hancurkan, saya lebur dalam kawah religiositas dan spiritual saya, lalu saya campurkan dengan tangis orang-orang terhina, saya luruhkan dengan dara dan jiwa para pahlawan dan berjuta kasus kemanusiaan lainnya sehingga menjelmalah jadi celurit kebijaksanaan.
Kalau celurit emas dihantamkan kepada orang yang benar, jangankan terluka, merasa sakitpun tidak. Tapi kalau terhadap pengkhianat, pemeras, penindas, penghisap dan sebangsanya, maka celurit emas itu akan terbang tanpa disuruh, dan ia akan menyelesaiakan persoalan sesuai dengan hakikat kebenaran. Ia dirindukan orang-orang sebagaimana orang-orang Keristen merindukan kembalinya Keristus.” (Imron, D Zawawi, 1997:14)
Dalam kutipan itu terungkap harapan batin Zawawi agar Celurit Emas mampu menyelesaikan persoalan kehidupan sesuai dengan hakikat kebenaran, dengan demikian Celurit Emas ini pastilah mengandung pesan kehidupan. Kutipan di atas juga menegaskan kekhasan lain dalam puisi Zawawi selain penggunaan metafor-metafor khas Madura adalah bagaimana Beliau mampu menceritakan Madura dari berbagai sisi yang berbeda, seakan ingin membuktikan Madura bukanlah seorang yang kejam, seperti yang terlihat selama ini. Misalnya saja bagaimana imajinasi Zawawi memberi makna lain pada celurit—senjata tradisional Madura yang kekejamannya terkenal di bumi Indonesia akibat seringnya digunakan untuk carok. Zawawi berkelakar, celurit senjata tradisional Madura yang seperti itu sudah tidak ada lagi, karena dia sudah merubah celurit tersebut sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan kehidupan sesuai dengan hakikat kebenaran.
Demikianlah membaca Celurit Emas bagai menerawang isi batin Zawawi, seperti pengakuannya, “Dan saya yakin, sebuah sajak yang saya tulis tanpa sebuah kejujuran hati nurani tak akan pernah mampu mengurangi perjalanan waktu sehingga tak akan punya nilai abadi” (Imron, D Zawawi, 1997:16). Dilihat dari kacamata pembaca, perkataan Zawawi tersebut tentu dapat diartikan bahwa Zawawi selalu menulis puisinya dengan sangat jujur sesuai dengan apa yang Beliau alami dan rasakan.

Pesan Kehidupan dari Si Celurit Emas
“Madura itu detak jantung dan irama hidup saya. Saya lahir di Madura. Meminum airnya menjadi darah saya. Makan beras dan jagungnya menjadi daging. Menghirup udaranya menjadi napas. Buminya menjadi sajadah dan kalau nanti mati, saya akan dikubur di sana.
Tapi, saya inginkan Madura yang tidak membelenggu dan membuat saya terjebak dalam primordialisme. Madura yang membebaskan saya. Saya bisa ke mana-mana untuk menjadi Indonesia.” (Kompas.com, 2011)
Pesan kehidupan dalam kumpulan puisi Celurit Emas ini merupakan pesan yang terlihat paling menonjol diantara pesan-pesan kehidupan lain yang diusung oleh Zawawi. Tentu saja kehidupan yang dimaksudkan adalah kehidupan manusia di tanah Madura. Namun, melihat Si Celurit Emas berkisah mengenai kehidupan seorang Madura di pulau garam, bagai melihat cerminan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Seperti Sapiku, puisi yang penuh dengan simbol ini menceritakan perjuangan hidup dan harapan batin si Madura.






Sapiku

Sapiku berpacu
di atas seratus bukit
melintas jembatan tulang-belulang
di sungai hijau berhulu roh

sepikul lengkuas telah dikunyah
disorong tuak siwalan
sapiku bertanduk tombak
karena tembok langit harus dibongkar
agar angin dari dunia lain
mengalir kemari
dan menggali pori-pori

Sapiku pertapa di delta sungai
memamah biak buah maja
karena ia lahir
dari perih dan dahaga

Sapiku berkaki pena
semua daun ingin ditulisnya
dengan tinta air mata
telah dicantumkannya bulan di langit
yang ia tempa dari darah ibunya

Sapiku berpacu, hurraaaaa!
Menyeretku ke hening bapa

Sapi merupakan komoditas kebanggaan dan simbol kekayaan bagi masyarakat Madura. Munculnya kebudayaan karapan sapi di kalangan masyarakat Madura juga semakin menasbihkan sapi sebagai simbol dari masyarakat Madura. Demikian halnya dengan puisi di atas, dimana sapi merupakan simbol dari orang-orang Madura yang mewakili diri penyair.
Bait pertama pada puisi Sapiku secara keseluruhan menggambarkan citraan seperti suatu keadaan yang kering dan panas atau suatu daerah dengan keadaan alam yang kering dan panas. Dengan demikian, bait pertama berarti si Madura sedang menjelajahi daerah-daerahnya yang kering dan panas.
Bait kedua secara keseluruhan menceritakan kehidupan si Madura yang miskin, dia bahkan harus rela makan lengkuas dan minum tuak siwalan. Si Madura ingin membongkar sesuatu yang tidak tersentuh yang telah membuat Madura seperti suatu tempat yang sangat terpencil, tercermin pada larik sapiku bertanduk tombak karena tembok langit harus dibongkar. Sedangkan agar angin dari dunia lain mengalir ke mari, menandakan betapa terisolasinya si Madura dari kehidupan di luar pulau. Dan menggali pori-pori yang menyatakan si Madura mengharapkan bantuan dari kehidupan di luar pulau. Dengan demikian dapat ditangkap bahwa, kemiskinan yang terjadi di Madura juga merupakan pengaruh dari orang-orang di luar pulau—bisa jadi pemerintah—yang tidak mau peduli dengan mereka.
Kemiskinan yang digambarkan pada bait kedua rupanya dipertegas lagi pada bait ketiga. Bait ketiga menggambarkan si Madura yang terasing dari dunia luar—sapiku pertapa. Dalam bait ketiga juga tergambar si Madura sejak lahir sudah harus merasakan perihnya kelaparan dan kehausan karena alam yang tidak bersahabat. Terjadi perubahan simbol pada bait keempat, sapi yang semula dianggap si Madura, pada bait keempat ini terasa lebih mewakili jiwa penyair. Jadi sapi merupakan seorang penyair yang ingin mengisahkan kesemua orang bagaimana keadaan daerahnya yang menyedihkan—sapiku berkaki pena, semua daun ingin ditulisnya. Dia juga mengungkapkan kesedihan batinnya dalam—dengan tinta air mata. Sedangkan bait ke lima lebih mengajak pembaca untuk merenungi nasib.
Sapiku, si Madura, begitulah puisi tentang kehidupan yang diceritakan dengan sangat menarik. Seperti berbicara pada dirinya sendiri, seperti tidak sedang menyampaikan sebuah pesan, bahkan tanpa kata-kata paksaan dalam puisinya, Zawawi rupanya berkeinginan para pembaca untuk meresapi sendiri pesan-pesan kehidupan yang dibawa Sapiku dan memutuskan sendiri ke mana dia akan melangkah. Seperti yang pasti terlintas dalam otak setiap pembaca puisi ini, pesan kehidupan yang coba diselipkan Zawawi adalah bagaimana seseorang dapat memaknai kehidupan ini dengan rasa syukur yang berlimpah, terlebih saat mengetahui bahwa di gemerlapnya lampu kehidupan terdapat sudut-sudut kecil yang tidak diterangi oleh cahaya.
Puisi lain yang tidak kalah penting dan patut dibahas dalam kumpulan puisi ini adalah Celurit Emas. Puisi yang dituliskan dengan gaya prosa ini bisa dikatakan sebagai inti dari kumpulan puisi Celurit Emas.
Celurit Emas

roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu kehadapan celurit yang ditempa dari jiwa, celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan
yang
pura-pura mati dalam terang
dan
bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di seberang meski ia menyesal namun gelombang masih ditolak singgah ke dalam dirinya.

nisan-nisan tak bernama tersenyum karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci.

celurit itu punya siapa?
amin!
Kata pertama yang pasti mengundang pertanyaan pembaca tentu saja kata celurit, yang akan mengingatkan kita pada senjata tradisional penduduk Madura yang bentuknya seperti tanda tanya. Seandainya pembaca tidak membaca kumpulan puisi dari awal dan tidak memahami keseluruhan isi puisi ini, mungkin yang muncul dalam benak adalah celurit senjata tajam yang selalu digunakan dalam budaya carok yang mengerikan di Madura. Namun hal itu, telah dijelaskan di awal penulisan esai-kritik ini, bahwa celurit yang dimaksud Zawawi bukanlah dalam artian yang sebenarnya. Celurit senjata orang Madura yang kejam telah diganti dengan celurit sebagai senjata atau kekuatan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan di dunia dengan hakikat kebenaran.
Roh-roh bebunga—merupakan perwakilan dari anak-anak muda, sehingga larik roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak dapat diartikan sebagai anak-anak muda yang layu sebelum dapat berkembang. Yang dimaksud dengan layu adalah tidak adanya kesempatan bagi anak-anak muda ini untuk mengembangkan dirinya. Yang pura-pura mati dalam dalam terang, dan bergila dalam gelap—seperti menggambarkan kehidupan orang-orang munafik. Di mana seseorang itu berpura-pura baik jika berada di hadapan orang-orang tertentu, namun sejatinya ada jiwa gelap yang bersemayam dalam dirinya dan hanya dimunculkan pada saat-saat tertentu. Dengan kata lain, kehidupan yang dijalanani orang itu hanyalah sandiwara belaka yang penuh dengan kebohongan.
Celurit yang dibuat dari jiwa ini diharapkan dapat menjadi tonggak dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan hakikat kebenaran, seperti yang tercermin pada larik nisan-nisan tak bernama tersenyum karena celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada halaman-halaman kitab suci. Nisan-nisan tak bernama mencerminkan orang-orang yang sudah meninggal dan tidak diketahui namanya, dapat juga mengarah pada korban tindak kejahatan yang tidak mendapatkan keadilan. Dalam larik itu juga menguatkan bahwa celurit ini tidak berseberangan dengan kaidah agama. Zawawi dengan cerdik membuat larik pertanyaan, celurit ini punya siapa? Larik itu seperti mengatakan bahwa celurit ini bukan milik siapa-siapa dan siapapun dapat memilikinya, karena celurit itu merupakan kekuatan positif yang dapat menjadi senjata untuk melawan kejahatan. Sedangkan larik amin! menandakan bahwa penyair berdoa supaya celurit ini dapat bertugas sesuai dengan harapannya.
Dari puisi Celurit Emas itu terasa harapan Zawawi supaya Celurit Emas ciptaannya (kumpulan puisi) ini dapat diterima oleh masyarakat dan pesan-pesan kehidupan di dalamnya dapat dijadikan energi positif untuk melawan tindak kejahatan sesuai dengan hakikat kebenaran.
Mungkin untuk mengenali lebih mendalam kehebatan kumpulan puisi ini, hingga disebut sebagai kumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1990, membutuhkan banyak pendekatan dan banyak penafsiran dari masing-masing puisi yang dituliskan. Namun rasanya, dua puisi di atas sudah cukup menggambarkan isi batin si Celurit Emas, yang ingin mengenalkan Madura yang sesungguhnya. Dalam artian, Madura bukanlah seorang yang kejam, seperti yang selama ini dikenal oleh masyarakat dengan budaya caroknya, banyak hal luhur tentang Madura yang perlu diketahui orang-orang.

Daftar Rujukan:

Imron, D Zawawi. 1997. Celurit Emas. Surabaya: CV. Bintang Surabaya
Khoiri, Ilham. 2011. Dari Madura Menemukan Indonesia, (online), (http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/09072479/Dari.Madura.Menemukan.Indonesia diakses pada 25 Maret 2013)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar