SNAPSHOT TAJAM PERIODE SEJARAH
DALAM “OKTOBER HITAM” KARYA TAUFIQ ISMAIL
Oleh: DIni Ayu Wiranti
I
Periode
’60—‘80an atau yang akrab disapa angkatan
’60-an memang bisa dibilang sebagai
titik penyimpangan dari suatu orde ke lain orde yang baru. Prahara inilah yang
direkam sebagai suatu periode sejarah sastra Indonesia kita. Rona sejarah
seakan dilombakan oleh para pemerhati sastra supaya tidak lenyap begitu saja. Kalo dipikir-pikir, kondisi dan situasi yang
serba semrawut ini memang nggak ada yang mau ngreken tapi tidak begitu yang ada
dalam otak beberapa orang yang juga sangat dekat dengan kesemrawutan itu. Keterpurukan ekonomi dan sosial sepertinya
menjadi titik mula kesemrawutan zaman
itu. Gagal panen karena hama dan tanah tandus, membuat penduduk nyaris
kehilangan kesempatan hidup. Pengemis dengan pakaian rombeng jadi tontonan
sehari-hari. Ibarat pepatah, sudah jatuh
tertimpa tangga. Bagaimana tidak? Di satu sudut banyak gelandangan di sudut
lain harga-harga bahan pokok pada naik.
Sudah belinya harus antri, persediaan
menipis, harga nik pula!
Itu
masih keadaan ekonomi, belum lagi kondisi pemerintahannya. Empat belas tahun
meninggalkan kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus 1959, dicanangkan Demokrasi
Terpimpin dan Manipol Usdek* oleh Presiden Soekarno, disusul dengan konsep
Nasakom yang dipaksakan untuk diterapkan di setiap kegiatan kenegaraan
dijadikan peluang emas bagi PKI. Diberlakukannya politik Nasakom seakan
melapangkan jalan bagi PKI untuk menumbuhkan dan mengukuhkan dominasi di
seluruh sektor kehidupan demi persiapan menuju mulusnya persiapan perebutan
kekuasaan. Di bidang politik, PKI terus mendempet Presiden Soeharto untuk memanfaatkan
pembungkaman demokrasi. Beberapa partai dibubarkan, dan hanya menyisakan satu
lawan tangguh yakni TNI-AD. Penangkapan dilakukan tanpa pengadilan. Hak asasi
manusia bagaikan keset depan pintu tempat menggesekkan sepatu. Setelah makin
merasa kukuh, PKI melakukan sendiri rangkaian teror dahsyatnya yang terus
menerus di seluruh sektor kehidupan. Di bidang media massa, terjadi pendobrakan
beberapa media massa dan penahanan pimpinan redaksi Indonesia Raya, Mochtar
Lubis, jelas sangat menguntungkan bagi PKI.
Beberapa
tahun meninggalkan tahun ’59, pada Oktober 1964, bulan penangkapan Hamka,
pengarang terkemuka, salah seorang ulama besar dan pejuang kemerdekaaan yang
dihormati masyarakat luas. Karena dituduh plagiat, Hamka ditahan di rumah
tahanan di Jakarta (27 Januari 1964) dan kemudian dipindahkan ke Sukabumi.
Sesudah dua tahun empat bulan dikurung tanpa diadili, dan sejalan dengan
tumbangnya orde Lama, Hamka pun dibebaskan. Mundur satu tahun, pada tahun 1963,
lahirlah Manifes Kebudayaan.
II
“Oktober Hitam” merupakan sebuah puisi
yang ditulis oleh Taufik Ismail di tahun 1965. Bersama dengan 155 puisi
lainnya, dijadikanlah sebuah buku kumpulan puisi Taufiq Ismail yang dinamai
Tirani dan Benteng. Puisi “Oktober Hitam” ini termasuk ke dalam puisi menjelang
tirani, yang ditulis pada tahun 1965.
Judul puisi “Oktober Hitam” memiliki
filosofi tersendiri, yaitu dari kata “Oktober” dan “Hitam”. “oktober” diartikan
bulan Oktober, dan “Hitam” identik dengan kegelapan, kesuraman, kerusakan.
Jadi, apabila diartikan secara satu frasa “Oktober Hitam” dapat diartikan
situasi dan kondisi buruk penuh dengan kegelapan dan kesuraman yang terjadi
sepanjang bulan Oktober di tahun 1965.
Dari segi tipografi, puisi ini memiliki
bentuk puisi yang unik. Puisi ini dibagi menjadi lima bagian dengan angka 1—5
digunakan sebagai penanda antar bagian. Pada puisi bagian 1, atau yang ditulis
(1), terdapat penulisan yang unik. Pada bagian 1 ini terdri dari 18 baris puisi
pendek. Setiap kaliamt rata-rata ada 3—4 kata. Pada baris ke 3 dan kelipatannya
hanya berisikan satu kata, yang berupa kata sifat. Penulisan satu kata itu pun
dibedakan dengan kalimat lainnya yang terdiri dari lebih dari satu kata. Hurufnya
pun dituilis dengan huruf miring (italic).
Pada bagian (1) ini, ditemukan kata kunci pada tiga baris terakhir, yaitu “Tujuh lelaki. Telah mati. Pagi itu”.
Kata kunci itu nanti yang mampu menjadi benang merah yang menghubungkan puisi
ini dengan peristiwa sejarah yang terjadi semasa penulisannya.
Pada bagian (2) terdiri dari 7 kalimat, bait pertama ada 5 kalimat dan baris kedua ada 4 kalimat yang lebih panjang dari kalimat-kalimat pada bagian (1) tadi. Pada bagian ini juga ditemukan kata kunci yaitu “dan terendam mimpi demagodi. Cakar kekhianatan. Telah mencengkeram urat leher.”
Bagian (3) puisi ini terdiri dari 14
baris puisi pendek, dengan model penulisan yang sama dengan puisi (1) tadi. Ada
satu baris yang terdiri satu kata dan penulisannya diletakkan berbeda dengan
kalimat-kalimat yang lain. Hurufnya pun dituilis dengan huruf miring (italic). Pada bagian tersebut ditemuka
kata kunci yaitu pada kalimat “Pohon
kamboja di pekuburan. Menundukkan daun-daunnya. Kawanan unggas. Berbisik-bisik.
Tiada henti. Menyebut namaMu”. Baris baris tersebut menunjukkan bahwa
tengah terjadi situasi kedukaan yang mendalam.
Pada bagian (4) terdiri dari 3 bait,
pada bait pertama terdapat 5 kalimat dengan kata kunci “Darah Ade, anak perempuan mungil itu. Menetes sepanjang tongkat
ayahnya”. Pada bait kedua terdiri dari 7 kalimat yang kembali lagi
menggambarkan suasana duka dengan menyebutkan kata kunci “Sembilu telah mengiris. Langit. Menyayat-nyayat mega”. Dan pada
bait ketiga terdiri dari 4 kalimat, dan muncul kata kunci yang njuga
menunjukkan judul dari puisi ini, yaitu kalimat “Kami pun terjaga dalam Oktober yang hitam. Bangkit dari kabut ilusi” .
kalimat tersebut menunjukkan bahwa pada waktu itu, bulan Oktober, tengah
terjadi situasi duka yang mendalam dan kata “terjaga” diartikan bangun atau
tersadar dan seger abangkit dari “kabut ilusi”.
Pada bagian (5) terdapat 4 bait, pada
bait pertama terdiri dari 4 kalimat. Terdapat kata kunci “Awanpun jadi mendung. Ketika arakan jenazah. Bergerak perlahan” .
Kalimat tersebut menunjukkan pada saat itu tengah diarak beberapa jenazah ke
tempat pemakaman dengan suasana sangat haru. Pada bait kedua terdapat 7
kalimat, terdapat kata kunci “Cuaca
mengundang gerimis. Di negeri yang berkabung. Dalam duka mengiris” .
Kalimat tersebut berarti bahwa pada saat itu turun hujan, hujan air mata
mengiringi kepergian jenazah ke pemakaman. Pada bait ketiga bagian ini terdapat
empat kalimat kalimat, dan ditemukan kata kunci “Pagi pembunuhan. Pagi yang hitam”. Dari kalimat tersebut telah
diketahui bahwa pada suatu pagi telah terjadi pembunuhan dan pembunuhan itulah
yang membuat bulan Oktober menjadi bulan hitam. Pada bait terakhir dari bait
ini terdiri dari 3 kalimat yang semuanya merupakan kata kunci, yaitu “Tujuh lelaki. Telah mati. Dikhianati”.
Dan dari kalimat tersebut seolah menjelaskan keseluruhan isi puisi, yaitu telah
dibunuhnya tujuh orang lelaki dan pembunuhan itu lantaran karena adanya
pengkhianatan.
III
Pada bagian ini akan dilakukan
identifikasi informasi atau data dalam puisi yang menyiratkan peristiwa
sejarah. Informasi awal yang didapat yaitu puisi tersebut bertempat di Jakarta,
pada tahun 1965, dengan nama tokoh yang ditemukan yait Ade dan tujuh lelaki.
Paparan di bawah ini akan menganalisis
peristiwa sejarah yang terjadi dalam bait puisi “Oktober Hitam”.
Puisi (1) bait IV : Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu
Pada bait di atas
menyiratkan sejarah bahwa pada suatu pagi di bulan Oktober tahun 1965 telah
mati tujuh orang lelaki. Berkaitan dengan bait ini, di dalam buku Sejarah
Nasional Indonesia terdapat data sejarah yang menyebutkan bahwa pada dinihari
tanggal 1 Oktober tahun 1965 dilakukan penculikan sekaligus pembunuhan terhadap
enam orang perwira tinggi TNI-AD dan seorang ajudan jenderal TNI yang dilakukan
oleh PKI.
Puisi (2) bait I : Kaki kami lamban menyongsongmu, Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi
Di dalam KBBI,
‘fana’ berarti dapat rusak (hilang/mati); tidak kekal; segala yang ada di dunia
belaka. Intinya, ‘kefanaan’ dalam bait ini berarti kematian yang panjang atau
kerusakan yang berlarut-larut. Kata ‘demagogi’ diartikan sebagai penghasutan
oleh orang-orang banyak untuk mempengaruhi cara pandang tentang suatu hal.
Berkaitan dengan definisi ini, pada bait di atas menyiratkan suatu peristiwa
sejarah dimana pada waktu itu bangsa Indonesia tengah dilanda krisis
kepercayaan, banyaknya hasutan terutama hasutan yang dilancarkan oleh PKI saat
melancarkan G30S. Indonesia tengah berada di posisi ‘mati’ atau ‘kefanaan
panjang’.
Puisi (2) bait II : Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas
Bait II menyiratkan
peristiwa sejarah yang merupakan kelanjutan dari bait I di atas dimana dengan
dilancarkannya G30S, para sasaran-sasaran perwira TNI-AD yang dibunuh oleh
kawan senasib dan seperjuangannya sendiri, sama-sama berstatus WNI. Sebagian
besar rakyat Indonesia di masa itu berbalik memerangi saudaranya sendiri karena
terkena oleh hasutan PKI. Mereka masuk dan bergabung dengan PKI sampai akhirnya
turut andil dalam pembunuhan yang menewaskan pahlawan-pahlawan revolusi negeri
ini. Pada bait di atas dikatakan bahwa ‘cakar kekhianatan’ seolah-olah telah
mencengkeram dengan eratnya sampai diibaratkan memutus jalan napas.
Puisi (4) bait I : Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan
Pada bait di atas terdapat informasi
menegani nama tokoh yaitu Ade. Di dalam puisi tersebut disebutkan pula bahwa
Ade telah meninggal. ‘Ade’ yang dimaksud dalam bait diatas yaitu Ade Irma
Suryani, putri dari jenderal AH.Nasution yang terbunuh saat malam kudeta
G30S/PKI. Kalimat keempat dan kelima bait di atas melambangkan bahwa ayahnya,
Jenderal AH. Nasution merasa sangat kehilangan putrinya, ia merasa bahwa yang
seharusnya meninggal adalah dirinya, bukan malah putrinya yang menjadi korban.
Namun, di tengah-tengah kesedihannya, ia mencoba menguatkan dirinya untuk tetap
melanjutkan perjuangan walaupun putri dan teman-teman seperjuangannya (para
perwira tinggi TNI-AD) telah dibunuh di malam pembunuhan yang keji itu.
Puisi
(4) bait II : Sembilu telah mengiris
Langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu
Seluruh warga
Indonesia tengah berada dalam suasana yang berkabung. Kehilangan tujuh orang
pahlawan bangsa bukanlah sekedar kesedihan namun kejadian tersebut menjadi
pukulan hebat bagi seluruh warga negara Indonesia pada masa itu. Gerimis
menandakan bukan gerimis oleh air hujan melainkan gerimis oleh air mata
kesedihan. Semua orang hanya bisa meneriakkan nama Tuhannya seraya berbisik
semoga pahlawan-pahlawan bangsa yang telah gugur pada pagi itu mendapatkan
tempat tertinggi di hadapan Tuhannya.
Puisi
(5) bait I : Awanpun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak perlahan
Bait pertama pada
bagian puisi yang terakhir di atas menyiratkan peristiwa sejarah yaitu ketika
jenazah para korban G30S akan dibawa ke pekuburan. Digambarkan dalam puisi
bahwa suasana pagi itu masih diliputi kedukaan yang amat dalam. Alam pun
seolah-olah juga sedang berduka atas gugurnya pahlawan-pahlawan bangsa pada
masa itu.
Puisi (5) bait II : Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Di pagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris
Peristiwa sejarah yang dilukiskan pada
bait puisi di atas adalah pada kalimat pertama. Disebutkan ‘Di atas kendaraan baja’ yang dimaksud
adalah kendaraan-kendaraan tentara yang ikut mengawal barisan jenazah ke
pekuburan. Kalimat ‘Di pagar air mata’
menjelaskan bahwa hampir semua orang menangis, sambil berdiri di sepanjang
jalan menuju tempat pekuburan. Barisan orang tersebut seolah-olah menyerupai
pagar dan dihiasi air mata.
Puisi (5) bait III :
Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati
Peristiwa sejarah
yang digambarkan pada puisi terakhir bait terakhir ini sangat jelas maknanya.
Di dalam bait ini dijelaskan bahwa ‘tujuh
lelaki’ telah gugur di suatu pagi di bulan Oktober tahun 1965. Ketujuh
lelaki tersebut, yang tak lain dan tak bukan adalah perwira-perwira tinggi
TNI-AD. Dan yang menjadi inti dari bait di atas yaitu mereka yang telah mati (perwira tinggi TNI-AD) dibunuh oleh para
pemberontak PKI yang mereka itu adalah pengkhianat-pengkhinat bangsa, mereka
termasukorang dari oknum ABRI yang sebenarnya ingin merebut kekuasaan bangsa
Indonesia saat itu.
IV
Pada bagian ini akan menghubungkan
puisi dengan peristiwa sejarah di luar puisi yang diduga terkait dengan
pembuatan puisi tersebut.
Menjelang
kudeta (perebutan kekuasaan) yang akan dilancarkan oleh anggota-anggota PKI,
berbagai persiapan tengah dilakukan. Berdasarkan instruksi Sjam Kamaruzzaman
(pimpinan pelaksana gerakan), sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro
Khusus PKI bertuurut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia, dengan beberapa
orang oknum ABRI yang telah lama dibina untuk membicarakan persiapan
pelaksanaan gerakan. Di dalam rapat-rapatnya tersebut, Sjam membicarakan
mengenai situasi umum dan perihal sakitnya Presiden Soekarno. Selanjutnya, ia
melontarkan isyu adanya Dewan Jenderal yang
akan mengadakan perebutan kekuasaan pemerintah, dan ia pun menyampaikan
instruksi DN. Aidit (Ketua CC PKI) untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal. Dengan adanya isyu ini, beberapa anggota militer
termakan adanya isyu ini. Namun, ada dua orang
dari anggota yang mengundurkan diri dari panitia gerakan ini dikarenakan mereka
tidak yakin dengan adanya isyu Dewan
Jenderal.
Sampai pada rapat
terakhir, yaitu tanggal 29 Sepetember 1965 ditetapkan bahwa gerakan akan
dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965, dan gerakan itulah
yang akhirnya diberi nama ‘Gerakan 30
September’ (G30S/PKI atau Gestapu/PKI atau Gestok).
Pasukan mulai bergerak pada dinihari 1 Oktober 1965,
didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap ketujuh perwira
tinggi TNI-AD. Rencana sasaran awal para perwira tinggi TNI tersebut, antara
lain:
1. Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan
Bersenjata (Menko-Hamnkam/Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution
2. Menteri/Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani
3. Deputi II Pangad, Mayor Jenderal Soeprapto
4. Deputi III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
5. Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswondo Parman
6. Asisten IV Pangad, Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan
7. Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir
Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan
Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko-Hamnkam/Kasab) berhasil
meloloskan diri dari bahaya penculikan, tapi putri beliau, Ade Irma Suryani
tewas akibat tembakan penculik saat berusaha menerobos masuk kamar AH.
Nasution. Ajudannya, Letnan Satu Pierre Andries Tendean menjadi sasaran
penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirid Jenderal
Nasution.
Para perwira yang entah yang telah tewas maupun yang masih
hidup dibawa ke desa Lubang Buaya. Bagi merka yang belum mati, mereka dianiaya
secara kejam dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota pasukan militer bentukan
PKI (Pemuda Rakyat, Gerwani, dan organisasi lain). Setelah puas dengan segala
kekejamannya, semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur tua lalu ditutupi sampah
dan tanah. Di atasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangkan jejak
pencarian.
Pada tanggal 3 Oktober diketemukan tempat dikuburkannya
jenazah para perwira tinggi TN-AD dalam sebuah lubang sumur tua. Karena hari
sudah gelap dan keadaan lubang yang hanya berdiameter kurang dari 1 meter dan
kedalaman 12 meter menjadi kendala untuk pengangkatan jenazah malam itu.
Keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 1965 pengangkatan berhasil dilakukan oleh
anggota RPKAD dan anggota marinir. Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat untuk dibersihkan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Keesokan harinya, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI,
5 Oktober 1965, para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan
kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat
setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Sebenarnya, alasan gerakan dilakukan dengan sasaran utama
para perwira tingg TNI-AD adalah karena DN. Aidit dan para pentolan PKI ingin
merebut kekuasaan dan menancapkan pijakan komunis di bumi nusantara. Oleh
karena itu, mereka akan menyingkirkan satu persatu lawan yang sekiranya mampu
menghambat keinginannya tersebut. Mereka beranggapan bahwa apabila pertahanan
dan keamanan negara (anggota TNI-AD termasuk para perwira tinggi) berhasil
dilumpuhkan, maka hal ini memudahkan langkah PKI untuk mewujudkan keinginannya
tersebut. Apabila TNI tidak segera disingkirkan, maka PKI dan komunis akan
kehilangan pengaruhnya di pentas politik nasional.
V
Puisi
berjudul ‘Oktober Hitam’ karya Taufiq
Ismail ini menceritakan tentang pembunuhan keji yang terjadi pada dinihari
tanggal 1 Oktober 1965 yang dilakukan oleh PKI yang masih tetap ingin merebut
kekuasaan pemerintah dan ingin menancapkan pijakan komunis di bumi nusantara.
Berkenaan
dengan puisi bagian (4) yang menggambarkan tentang pembunuhan terhadap Ade Irma
Suryani, putri dari Jenderal AH. Nasution, berikut ini akan dijelaskan mengenai
kronologis peristiwa penculikan yang berakhir dengan kematian Ade Irma Suryani:
Aksi
penculikan dilakukan serentak pada pukul 3.00 1 oktober 1965. Pasukan yang
menculik jenderal TNI AH. Nasution dipimpin oleh Pelda Djahurub yang
menggunakan truk, berangkat ke kediaman Pak Nasution di Jalan Teuku Umar 40,
Menteng, Jakarta.
· Pukul
04.00 subuh di kediaman Nasution, pengawal menembak mati pengawal, Ajun
Inspektur Satsui Tubun.
· Pasukan
memasuki kediaman Nasution.
· Pasukan
pengawal Men Hankam/Kasab melihat pasukan penculik menggunakan seragam pasukan
pengawal presiden, mengucapkan ‘selamat malam’
· 30
pasukan penculik menyergap dan mengancam pengawal Nasution.
· Setiap
ada gerakan, dijawab ada tembakan yang dilancarkan penculik.
· Nyonya
Nasution memberi tahu AH. Nasution tentang kehadiran bersenjata
· Penculik
menembaki pintu kamar AH. Nasution
· Ade
Irma suryani dilarikan pengasuhnya di kamar untuk diselamatkan namun peluru
mengenai punggungnya dan ia pun meninggal.
· Nyonya
Nasution menyuruh AH. Nasution untuk keluar
kamar, menuju tembok, lalu menyelamatkan diri dengan melompati tembok itu.
· Ajudan AH. Nasution, Lettu CZI Pierre Andries Tendean,
ditangkap penculik dan dibawa ke Lubang Buaya.
· AH. Nasution berhasil melarikan diri.
Keputusan Nyonya Nasution menyuruh suaminya, AH. Nasution,
untuk berlari keluar dari rumah dengan melompati tembok karena ia menganggap
bahwa Bangsa Indonesia pada saat itu lebih membutuhkan Jenderal AH. Nasution
dalam mempertahankan kemerdekaan. Oleh karena itu, ia rela mengorbankan
dirinya. Akan tetapi, yang meninggal dalam peristiwa itu adalah putri
tercintanya, Ade Irma Suryani.
Berkaitan dengan puisi bagian (5) yang menggambarkan
mengenai arakan jenazah tujuh orang perwira tinggi TNI-AD, di dalam Buku
Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa proses pemakaman tersebut dilakukan
pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI saat itu.
Para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan kemudian
dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat
lebih tinggi secara anumerta.
VI
Tidak hanya puisi “oktober
Hitam” ini saja yang bertema protes sosial sebagai snapshot dari peride sejarah
uyang terjadi pada masa itu, tetapi banyak lagi puisi yang juga terdapat dalam
buku kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” tersebut yang juga menyiratkan
peristiwa sejarah Bangsa Indonesia saat itu.
2 komentar:
JANGAN PERNAH MELUPAKAN SEJARAH, JANGAN PERNAH MELUPAKAN BUDAYA BANGSA, JANGAN PERNAH MENGHAPUS JEJAK KEBESARAN BANGSA....KARENA APABILA GENERASI MUDA MULAI MELUPAKANNYA MAKA AKHIR PERJALANAN SEBUAH BANGSA TINGGAL MENUNGGU WAKTU, KALAUPUN BANGSA ITU MASIH ADA MAKA BANGSA IU HANYA AKAN MENJADI BABU DAN JONGOS BANGSA LAIN DI RUMAHNYA SENDIRI, DIATAS TANAH AIRNYA SENDIRI..
Panjang juga kalau dikupas.
Posting Komentar