Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SNAPSHOT TAJAM PERIODE SEJARAH DALAM “OKTOBER HITAM” KARYA TAUFIQ ISMAIL



SNAPSHOT TAJAM PERIODE SEJARAH
DALAM “OKTOBER HITAM” KARYA TAUFIQ ISMAIL
  
Oleh: DIni Ayu Wiranti


I
Periode ’60—‘80an atau yang akrab disapa angkatan ’60-an memang bisa dibilang sebagai titik penyimpangan dari suatu orde ke lain orde yang baru. Prahara inilah yang direkam sebagai suatu periode sejarah sastra Indonesia kita. Rona sejarah seakan dilombakan oleh para pemerhati sastra supaya tidak lenyap begitu saja. Kalo dipikir-pikir, kondisi dan situasi yang serba semrawut ini memang nggak ada yang mau ngreken tapi tidak begitu yang ada dalam otak beberapa orang yang juga sangat dekat dengan kesemrawutan itu.  Keterpurukan ekonomi dan sosial sepertinya menjadi titik mula kesemrawutan zaman itu. Gagal panen karena hama dan tanah tandus, membuat penduduk nyaris kehilangan kesempatan hidup. Pengemis dengan pakaian rombeng jadi tontonan sehari-hari. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bagaimana tidak? Di satu sudut banyak gelandangan di sudut lain harga-harga bahan pokok pada naik. Sudah belinya harus antri, persediaan menipis, harga nik pula!
Itu masih keadaan ekonomi, belum lagi kondisi pemerintahannya. Empat belas tahun meninggalkan kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus 1959, dicanangkan Demokrasi Terpimpin dan Manipol Usdek* oleh Presiden Soekarno, disusul dengan konsep Nasakom yang dipaksakan untuk diterapkan di setiap kegiatan kenegaraan dijadikan peluang emas bagi PKI. Diberlakukannya politik Nasakom seakan melapangkan jalan bagi PKI untuk menumbuhkan dan mengukuhkan dominasi di seluruh sektor kehidupan demi persiapan menuju mulusnya persiapan perebutan kekuasaan. Di bidang politik, PKI terus mendempet Presiden Soeharto untuk memanfaatkan pembungkaman demokrasi. Beberapa partai dibubarkan, dan hanya menyisakan satu lawan tangguh yakni TNI-AD. Penangkapan dilakukan tanpa pengadilan. Hak asasi manusia bagaikan keset depan pintu tempat menggesekkan sepatu. Setelah makin merasa kukuh, PKI melakukan sendiri rangkaian teror dahsyatnya yang terus menerus di seluruh sektor kehidupan. Di bidang media massa, terjadi pendobrakan beberapa media massa dan penahanan pimpinan redaksi Indonesia Raya, Mochtar Lubis, jelas sangat menguntungkan bagi PKI.
Beberapa tahun meninggalkan tahun ’59, pada Oktober 1964, bulan penangkapan Hamka, pengarang terkemuka, salah seorang ulama besar dan pejuang kemerdekaaan yang dihormati masyarakat luas. Karena dituduh plagiat, Hamka ditahan di rumah tahanan di Jakarta (27 Januari 1964) dan kemudian dipindahkan ke Sukabumi. Sesudah dua tahun empat bulan dikurung tanpa diadili, dan sejalan dengan tumbangnya orde Lama, Hamka pun dibebaskan. Mundur satu tahun, pada tahun 1963, lahirlah Manifes Kebudayaan.   

II
“Oktober Hitam” merupakan sebuah puisi yang ditulis oleh Taufik Ismail di tahun 1965. Bersama dengan 155 puisi lainnya, dijadikanlah sebuah buku kumpulan puisi Taufiq Ismail yang dinamai Tirani dan Benteng. Puisi “Oktober Hitam” ini termasuk ke dalam puisi menjelang tirani, yang ditulis pada tahun 1965.
Judul puisi “Oktober Hitam” memiliki filosofi tersendiri, yaitu dari kata “Oktober” dan “Hitam”. “oktober” diartikan bulan Oktober, dan “Hitam” identik dengan kegelapan, kesuraman, kerusakan. Jadi, apabila diartikan secara satu frasa “Oktober Hitam” dapat diartikan situasi dan kondisi buruk penuh dengan kegelapan dan kesuraman yang terjadi sepanjang bulan Oktober di tahun 1965.
Dari segi tipografi, puisi ini memiliki bentuk puisi yang unik. Puisi ini dibagi menjadi lima bagian dengan angka 1—5 digunakan sebagai penanda antar bagian. Pada puisi bagian 1, atau yang ditulis (1), terdapat penulisan yang unik. Pada bagian 1 ini terdri dari 18 baris puisi pendek. Setiap kaliamt rata-rata ada 3—4 kata. Pada baris ke 3 dan kelipatannya hanya berisikan satu kata, yang berupa kata sifat. Penulisan satu kata itu pun dibedakan dengan kalimat lainnya yang terdiri dari lebih dari satu kata. Hurufnya pun dituilis dengan huruf miring (italic). Pada bagian (1) ini, ditemukan kata kunci pada tiga baris terakhir, yaitu “Tujuh lelaki. Telah mati. Pagi itu”. Kata kunci itu nanti yang mampu menjadi benang merah yang menghubungkan puisi ini dengan peristiwa sejarah yang terjadi semasa penulisannya.

Pada bagian (2) terdiri dari 7 kalimat, bait pertama ada 5 kalimat dan baris kedua ada 4 kalimat yang lebih panjang dari kalimat-kalimat pada bagian (1) tadi. Pada bagian ini juga ditemukan kata kunci yaitu “dan terendam mimpi demagodi. Cakar kekhianatan. Telah mencengkeram urat leher.” 
Bagian (3) puisi ini terdiri dari 14 baris puisi pendek, dengan model penulisan yang sama dengan puisi (1) tadi. Ada satu baris yang terdiri satu kata dan penulisannya diletakkan berbeda dengan kalimat-kalimat yang lain. Hurufnya pun dituilis dengan huruf miring (italic). Pada bagian tersebut ditemuka kata kunci yaitu pada kalimat “Pohon kamboja di pekuburan. Menundukkan daun-daunnya. Kawanan unggas. Berbisik-bisik. Tiada henti. Menyebut namaMu”. Baris baris tersebut menunjukkan bahwa tengah terjadi situasi kedukaan yang mendalam.
Pada bagian (4) terdiri dari 3 bait, pada bait pertama terdapat 5 kalimat dengan kata kunci “Darah Ade, anak perempuan mungil itu. Menetes sepanjang tongkat ayahnya”. Pada bait kedua terdiri dari 7 kalimat yang kembali lagi menggambarkan suasana duka dengan menyebutkan kata kunci “Sembilu telah mengiris. Langit. Menyayat-nyayat mega”. Dan pada bait ketiga terdiri dari 4 kalimat, dan muncul kata kunci yang njuga menunjukkan judul dari puisi ini, yaitu kalimat “Kami pun terjaga dalam Oktober yang hitam. Bangkit dari kabut ilusi” . kalimat tersebut menunjukkan bahwa pada waktu itu, bulan Oktober, tengah terjadi situasi duka yang mendalam dan kata “terjaga” diartikan bangun atau tersadar dan seger abangkit dari “kabut ilusi”.
Pada bagian (5) terdapat 4 bait, pada bait pertama terdiri dari 4 kalimat. Terdapat kata kunci “Awanpun jadi mendung. Ketika arakan jenazah. Bergerak perlahan” . Kalimat tersebut menunjukkan pada saat itu tengah diarak beberapa jenazah ke tempat pemakaman dengan suasana sangat haru. Pada bait kedua terdapat 7 kalimat, terdapat kata kunci “Cuaca mengundang gerimis. Di negeri yang berkabung. Dalam duka mengiris” . Kalimat tersebut berarti bahwa pada saat itu turun hujan, hujan air mata mengiringi kepergian jenazah ke pemakaman. Pada bait ketiga bagian ini terdapat empat kalimat kalimat, dan ditemukan kata kunci “Pagi pembunuhan. Pagi yang hitam”. Dari kalimat tersebut telah diketahui bahwa pada suatu pagi telah terjadi pembunuhan dan pembunuhan itulah yang membuat bulan Oktober menjadi bulan hitam. Pada bait terakhir dari bait ini terdiri dari 3 kalimat yang semuanya merupakan kata kunci, yaitu “Tujuh lelaki. Telah mati. Dikhianati”. Dan dari kalimat tersebut seolah menjelaskan keseluruhan isi puisi, yaitu telah dibunuhnya tujuh orang lelaki dan pembunuhan itu lantaran karena adanya pengkhianatan.

III
Pada bagian ini akan dilakukan identifikasi informasi atau data dalam puisi yang menyiratkan peristiwa sejarah. Informasi awal yang didapat yaitu puisi tersebut bertempat di Jakarta, pada tahun 1965, dengan nama tokoh yang ditemukan yait Ade dan tujuh lelaki.
Paparan di bawah ini akan menganalisis peristiwa sejarah yang terjadi dalam bait puisi “Oktober Hitam”.

Puisi (1) bait IV : Tujuh lelaki
Telah mati
Pagi itu

Pada bait di atas menyiratkan sejarah bahwa pada suatu pagi di bulan Oktober tahun 1965 telah mati tujuh orang lelaki. Berkaitan dengan bait ini, di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia terdapat data sejarah yang menyebutkan bahwa pada dinihari tanggal 1 Oktober tahun 1965 dilakukan penculikan sekaligus pembunuhan terhadap enam orang perwira tinggi TNI-AD dan seorang ajudan jenderal TNI yang dilakukan oleh PKI.

Puisi (2) bait I : Kaki kami lamban menyongsongmu, Kenyataan
Begitu keras kau gedor-gedor pintu negeri kami
Yang terkantuk-kantuk dalam kefanaan panjang
Dan terendam mimpi demagogi

Di dalam KBBI, ‘fana’ berarti dapat rusak (hilang/mati); tidak kekal; segala yang ada di dunia belaka. Intinya, ‘kefanaan’ dalam bait ini berarti kematian yang panjang atau kerusakan yang berlarut-larut. Kata ‘demagogi’ diartikan sebagai penghasutan oleh orang-orang banyak untuk mempengaruhi cara pandang tentang suatu hal. Berkaitan dengan definisi ini, pada bait di atas menyiratkan suatu peristiwa sejarah dimana pada waktu itu bangsa Indonesia tengah dilanda krisis kepercayaan, banyaknya hasutan terutama hasutan yang dilancarkan oleh PKI saat melancarkan G30S. Indonesia tengah berada di posisi ‘mati’ atau ‘kefanaan panjang’.

Puisi (2) bait II :    Cakar kekhianatan
Telah mencengkeram urat leher
Menebas jalan napas

Bait II menyiratkan peristiwa sejarah yang merupakan kelanjutan dari bait I di atas dimana dengan dilancarkannya G30S, para sasaran-sasaran perwira TNI-AD yang dibunuh oleh kawan senasib dan seperjuangannya sendiri, sama-sama berstatus WNI. Sebagian besar rakyat Indonesia di masa itu berbalik memerangi saudaranya sendiri karena terkena oleh hasutan PKI. Mereka masuk dan bergabung dengan PKI sampai akhirnya turut andil dalam pembunuhan yang menewaskan pahlawan-pahlawan revolusi negeri ini. Pada bait di atas dikatakan bahwa ‘cakar kekhianatan’ seolah-olah telah mencengkeram dengan eratnya sampai diibaratkan memutus jalan napas.

Puisi (4) bait I : Darah Ade, anak perempuan mungil itu
Menetes sepanjang tongkat ayahnya
Yang bertelekan di kuburan
Menahan berat beban cobaan
Tapi tetap tegak bertahan

          Pada bait di atas terdapat informasi menegani nama tokoh yaitu Ade. Di dalam puisi tersebut disebutkan pula bahwa Ade telah meninggal. ‘Ade’ yang dimaksud dalam bait diatas yaitu Ade Irma Suryani, putri dari jenderal AH.Nasution yang terbunuh saat malam kudeta G30S/PKI. Kalimat keempat dan kelima bait di atas melambangkan bahwa ayahnya, Jenderal AH. Nasution merasa sangat kehilangan putrinya, ia merasa bahwa yang seharusnya meninggal adalah dirinya, bukan malah putrinya yang menjadi korban. Namun, di tengah-tengah kesedihannya, ia mencoba menguatkan dirinya untuk tetap melanjutkan perjuangan walaupun putri dan teman-teman seperjuangannya (para perwira tinggi TNI-AD) telah dibunuh di malam pembunuhan yang keji itu.

Puisi (4) bait II :    Sembilu telah mengiris
Langit
Menyayat-nyayat mega
Menurunkan gerimis
Semua berbisik
Tiada henti
Menyebut namaMu

Seluruh warga Indonesia tengah berada dalam suasana yang berkabung. Kehilangan tujuh orang pahlawan bangsa bukanlah sekedar kesedihan namun kejadian tersebut menjadi pukulan hebat bagi seluruh warga negara Indonesia pada masa itu. Gerimis menandakan bukan gerimis oleh air hujan melainkan gerimis oleh air mata kesedihan. Semua orang hanya bisa meneriakkan nama Tuhannya seraya berbisik semoga pahlawan-pahlawan bangsa yang telah gugur pada pagi itu mendapatkan tempat tertinggi di hadapan Tuhannya.

Puisi (5) bait I : Awanpun jadi mendung
Di pagi musim yang pengap
Ketika arakan jenazah
Bergerak perlahan

Bait pertama pada bagian puisi yang terakhir di atas menyiratkan peristiwa sejarah yaitu ketika jenazah para korban G30S akan dibawa ke pekuburan. Digambarkan dalam puisi bahwa suasana pagi itu masih diliputi kedukaan yang amat dalam. Alam pun seolah-olah juga sedang berduka atas gugurnya pahlawan-pahlawan bangsa pada masa itu.

Puisi (5) bait II :    Di atas kendaraan baja
Di bawah awan nestapa
Di pagar air mata
Kulihat pagi jadi mendung
Kulihat cuaca mengundang gerimis
Di negeri yang berkabung
Dalam duka mengiris

Peristiwa sejarah yang dilukiskan pada bait puisi di atas adalah pada kalimat pertama. Disebutkan ‘Di atas kendaraan baja’ yang dimaksud adalah kendaraan-kendaraan tentara yang ikut mengawal barisan jenazah ke pekuburan. Kalimat ‘Di pagar air mata’ menjelaskan bahwa hampir semua orang menangis, sambil berdiri di sepanjang jalan menuju tempat pekuburan. Barisan orang tersebut seolah-olah menyerupai pagar dan dihiasi air mata.

Puisi (5) bait III : Tujuh lelaki
Telah mati
Dikhianati

            Peristiwa sejarah yang digambarkan pada puisi terakhir bait terakhir ini sangat jelas maknanya. Di dalam bait ini dijelaskan bahwa ‘tujuh lelaki’ telah gugur di suatu pagi di bulan Oktober tahun 1965. Ketujuh lelaki tersebut, yang tak lain dan tak bukan adalah perwira-perwira tinggi TNI-AD. Dan yang menjadi inti dari bait di atas yaitu mereka yang telah mati (perwira tinggi TNI-AD) dibunuh oleh para pemberontak PKI yang mereka itu adalah pengkhianat-pengkhinat bangsa, mereka termasukorang dari oknum ABRI yang sebenarnya ingin merebut kekuasaan bangsa Indonesia saat itu.

IV
Pada bagian ini akan menghubungkan puisi dengan peristiwa sejarah di luar puisi yang diduga terkait dengan pembuatan puisi tersebut.
Menjelang kudeta (perebutan kekuasaan) yang akan dilancarkan oleh anggota-anggota PKI, berbagai persiapan tengah dilakukan. Berdasarkan instruksi Sjam Kamaruzzaman (pimpinan pelaksana gerakan), sejak tanggal 6 September 1965 pimpinan Biro Khusus PKI bertuurut-turut mengadakan rapat-rapat rahasia, dengan beberapa orang oknum ABRI yang telah lama dibina untuk membicarakan persiapan pelaksanaan gerakan. Di dalam rapat-rapatnya tersebut, Sjam membicarakan mengenai situasi umum dan perihal sakitnya Presiden Soekarno. Selanjutnya, ia melontarkan isyu adanya Dewan Jenderal yang akan mengadakan perebutan kekuasaan pemerintah, dan ia pun menyampaikan instruksi DN. Aidit (Ketua CC PKI) untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal. Dengan adanya isyu ini, beberapa anggota militer termakan adanya isyu ini. Namun, ada dua orang dari anggota yang mengundurkan diri dari panitia gerakan ini dikarenakan mereka tidak yakin dengan adanya isyu Dewan Jenderal.
 Sampai pada rapat terakhir, yaitu tanggal 29 Sepetember 1965 ditetapkan bahwa gerakan akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965, dan gerakan itulah yang akhirnya diberi nama ‘Gerakan 30 September’ (G30S/PKI atau Gestapu/PKI atau Gestok).
Pasukan mulai bergerak pada dinihari 1 Oktober 1965, didahului dengan gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap ketujuh perwira tinggi TNI-AD. Rencana sasaran awal para perwira tinggi TNI tersebut, antara lain:
1.    Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko-Hamnkam/Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution
2.    Menteri/Panglima  Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani
3.    Deputi II Pangad, Mayor Jenderal Soeprapto
4.    Deputi III Pangad, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo
5.    Asisten I Pangad, Mayor Jenderal Siswondo Parman
6.    Asisten IV Pangad, Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan
7.    Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution, Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko-Hamnkam/Kasab) berhasil meloloskan diri dari bahaya penculikan, tapi putri beliau, Ade Irma Suryani tewas akibat tembakan penculik saat berusaha menerobos masuk kamar AH. Nasution. Ajudannya, Letnan Satu Pierre Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas lalu dalam kegelapan wajahnya mirid Jenderal Nasution.
Para perwira yang entah yang telah tewas maupun yang masih hidup dibawa ke desa Lubang Buaya. Bagi merka yang belum mati, mereka dianiaya secara kejam dan akhirnya dibunuh oleh anggota-anggota pasukan militer bentukan PKI (Pemuda Rakyat, Gerwani, dan organisasi lain). Setelah puas dengan segala kekejamannya, semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur tua lalu ditutupi sampah dan tanah. Di atasnya ditanami pohon pisang untuk menghilangkan jejak pencarian.
Pada tanggal 3 Oktober diketemukan tempat dikuburkannya jenazah para perwira tinggi TN-AD dalam sebuah lubang sumur tua. Karena hari sudah gelap dan keadaan lubang yang hanya berdiameter kurang dari 1 meter dan kedalaman 12 meter menjadi kendala untuk pengangkatan jenazah malam itu. Keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 1965 pengangkatan berhasil dilakukan oleh anggota RPKAD dan anggota marinir. Seluruh jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat untuk dibersihkan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Keesokan harinya, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1965, para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Sebenarnya, alasan gerakan dilakukan dengan sasaran utama para perwira tingg TNI-AD adalah karena DN. Aidit dan para pentolan PKI ingin merebut kekuasaan dan menancapkan pijakan komunis di bumi nusantara. Oleh karena itu, mereka akan menyingkirkan satu persatu lawan yang sekiranya mampu menghambat keinginannya tersebut. Mereka beranggapan bahwa apabila pertahanan dan keamanan negara (anggota TNI-AD termasuk para perwira tinggi) berhasil dilumpuhkan, maka hal ini memudahkan langkah PKI untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Apabila TNI tidak segera disingkirkan, maka PKI dan komunis akan kehilangan pengaruhnya di pentas politik nasional.

V
Puisi berjudul ‘Oktober Hitam’ karya Taufiq Ismail ini menceritakan tentang pembunuhan keji yang terjadi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 yang dilakukan oleh PKI yang masih tetap ingin merebut kekuasaan pemerintah dan ingin menancapkan pijakan komunis di bumi nusantara.
Berkenaan dengan puisi bagian (4) yang menggambarkan tentang pembunuhan terhadap Ade Irma Suryani, putri dari Jenderal AH. Nasution, berikut ini akan dijelaskan mengenai kronologis peristiwa penculikan yang berakhir dengan kematian Ade Irma Suryani:
Aksi penculikan dilakukan serentak pada pukul 3.00 1 oktober 1965. Pasukan yang menculik jenderal TNI AH. Nasution dipimpin oleh Pelda Djahurub yang menggunakan truk, berangkat ke kediaman Pak Nasution di Jalan Teuku Umar 40, Menteng, Jakarta.
·     Pukul 04.00 subuh di kediaman Nasution, pengawal menembak mati pengawal, Ajun Inspektur Satsui Tubun.
·     Pasukan memasuki kediaman Nasution.
·     Pasukan pengawal Men Hankam/Kasab melihat pasukan penculik menggunakan seragam pasukan pengawal presiden, mengucapkan ‘selamat malam’
·     30 pasukan penculik menyergap dan mengancam pengawal Nasution.
·     Setiap ada gerakan, dijawab ada tembakan yang dilancarkan penculik.
·     Nyonya Nasution memberi tahu AH. Nasution tentang kehadiran bersenjata
·     Penculik menembaki pintu kamar AH. Nasution
·     Ade Irma suryani dilarikan pengasuhnya di kamar untuk diselamatkan namun peluru mengenai punggungnya dan ia pun meninggal.
·     Nyonya Nasution menyuruh AH. Nasution untuk keluar kamar, menuju tembok, lalu menyelamatkan diri dengan melompati tembok itu.
·     Ajudan AH. Nasution, Lettu CZI Pierre Andries Tendean, ditangkap penculik dan dibawa ke Lubang Buaya.
·     AH. Nasution berhasil melarikan diri.
Keputusan Nyonya Nasution menyuruh suaminya, AH. Nasution, untuk berlari keluar dari rumah dengan melompati tembok karena ia menganggap bahwa Bangsa Indonesia pada saat itu lebih membutuhkan Jenderal AH. Nasution dalam mempertahankan kemerdekaan. Oleh karena itu, ia rela mengorbankan dirinya. Akan tetapi, yang meninggal dalam peristiwa itu adalah putri tercintanya, Ade Irma Suryani.
Berkaitan dengan puisi bagian (5) yang menggambarkan mengenai arakan jenazah tujuh orang perwira tinggi TNI-AD, di dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia disebutkan bahwa proses pemakaman tersebut dilakukan pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI saat itu. Para jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.

VI
Tidak hanya puisi “oktober Hitam” ini saja yang bertema protes sosial sebagai snapshot dari peride sejarah uyang terjadi pada masa itu, tetapi banyak lagi puisi yang juga terdapat dalam buku kumpulan puisi “Tirani dan Benteng” tersebut yang juga menyiratkan peristiwa sejarah Bangsa Indonesia saat itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Ikhwan arthadaya mengatakan...

JANGAN PERNAH MELUPAKAN SEJARAH, JANGAN PERNAH MELUPAKAN BUDAYA BANGSA, JANGAN PERNAH MENGHAPUS JEJAK KEBESARAN BANGSA....KARENA APABILA GENERASI MUDA MULAI MELUPAKANNYA MAKA AKHIR PERJALANAN SEBUAH BANGSA TINGGAL MENUNGGU WAKTU, KALAUPUN BANGSA ITU MASIH ADA MAKA BANGSA IU HANYA AKAN MENJADI BABU DAN JONGOS BANGSA LAIN DI RUMAHNYA SENDIRI, DIATAS TANAH AIRNYA SENDIRI..

Arief Munandar mengatakan...

Panjang juga kalau dikupas.

Posting Komentar