Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

“AKU” vs “AKU (LAIN)” dalam Kamar Duka Karya Ratih Kumala



 “AKU” vs “AKU (LAIN)” dalam Kamar Duka Karya Ratih Kumala
Oleh: Dini Ayu Wiranti

I
Kamar Duka menyimpan banyak cerita. Ceritaku, ceritamu, dan ceritanya. Hidup memang seringkali cari sensasi. Tidak mau berjalan begitu saja, tapi ingin mencari wawasan lain. Andai setiap kisah cinta berjalan bak  Romeo dan Juliet, akankah ada hati yang tersakiti? Bukankah kebahagian pun serasa terbawa sampai mati?? Tertawa dan menangis seperti bumbu utama dalam cinta. Lalu bagaimana jika cinta itu punya dua mulut?? Mulut yang tersakiti dan mulut yang menyakiti?
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi….
….
Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun!
….
Begitulah Ratih Kumala membuka pintu “Kamar Duka”nya. Apa yang terbersit di benak kalian membaca kalimat tersebut? Bukankah bagian tersebut serasa bagian akhir dari sebuah cerita??
….
Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku. Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu- lagu yang kami suguhkan….
….
Mendekati bagian tengah cerpen cerpen, diawali dengan keterangan waktu Tujuh belas tahun lalu. Formasi seperti ini pasti tak asing lagi bagi kita. Apa yang bisa Anda amati dari dua kutipan plot cerpen di atas?? Seperti yang sempat disinggung di bagian awal esai ini, bahwa hidup seringkali cari sensasi. Ratih Kumala sepertinya ingin mengikuti konvensi ini dan tampak pada “Rumah Duka”nya. Perhatikan kutipan berikut.
….
Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu.
                    ….         

Kutipan tersebut ditemukan pada bagian tengah cerpen ini. Terdapat kata kunci pada kutipan ini dengan kutipan pertama tadi. Jika pada kutipan pertama dikatakan …saat laki-lakiku menamatkan siswa nyawanya… dan pada kutipan ini dikatakan …Rumah duka masih penuh… terdapat hubungan antara dua kutipan tersebut. Sekarang perhatikan kutipan berikut ini.
….
Aku pernah menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang, tak akan menceraikan istrinya, sebab agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali….
….
Pada kutipan keempat ini muncul anggapan bahwa kutipan ini sama dengan kutipan kedua pada esai ini. Kata kuncilah yang menjadi penandanya. Jika pada kutipan kedua muncul dikatakan …Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku… dan pada kutipan keempat ini dikatakan …Aku pernah menuntut Bim untuk memilih antara aku dan istrinya… Kemudian, perhatikan dua kutipan terakhir berikut ini.
….
Obituari Bim muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia disemayamkan di rumah duka mana. …. Aku akan menyetir pelan-pelan, sambil mengisi penuh tangki keberanianku. Aku harus menemui Bim, memberinya penghormatan terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.
….
….
Ia datang lagi, perempuan jalang itu. Pasti ia baca obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi tahu. Beberapa orang memandangi kedatangannya, beberapa berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa perempuan itu dan bagaimana statusnya. Ia mendekatiku….
….
Ratih Kumala seolah mengajak kita kembali menengok ke pintu depan “Kamar Duka”nya dimana ia memunculkan kata-kata seperti kremasi, rumah duka, rangkaian bunga, suka cita, mayat, diistirahatkan dan pada bagian akhir (seperti yang ada pada kutipan akhir) muncul kata-kata disemayamkan, rumah duka, penghormatan terakhir.
Beberapa bagian plot cerita yang telah dikutip tadi merupakan bagian inti-inti cerita dari “Kamar Duka” yang ditulis oleh Ratih Kumala. Ada beberapa alasan mengapa perlu diberi kutipan plot cerita seperti kutipan-kutipan di atas. Salah satu alasannya menjadi alasan mengapa esai ini memilih cerita pendek yang ditulis Ratih Kumala dengan judul “Kamar Duka” untuk diperbincangkan dalam rangkaian huruf.
II
Bila cinta memiliki wajah, maka cerpen Ratih Kumala menunjukkan kecantikan cinta yang tak tidak umum. Sebentuk cantik yang wajar dan tidak berlebihan, yang hanya bisa dilihat cantik bila kita mampu melihat apa yang tersembunyi di balik wajah cantik itu. Cerpen Ratih Kumala yang berjudul “Rumah Duka” mengambil tema yang mungkin telah digunakan oleh ratusan atau bahkan ribuan cerpen lainnya. Sebuah tema yang usang namun masih menyimpan kekuatan yang cukup menghentak. Tema tentang cinta yang mendua , sebuah perselingkuhan sudah umum terjadi pada hubungan berpasangan. Salah satu bagian dalam cerita yang menunjukkan digunakannya tema ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya…
Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan…
….
Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.
….
Kekuatan tema ini terletak pada tingkat realitas yang cukup tinggi dan kedekatannya dengan para pembaca, karena hampir setiap pembaca pernah berinteraksi secara langsung ataupun tidak dengan perselingkuhan, baik sebagai korban, pelaku ataupun saksi.
Para pemeran yang ada dalam cerpen “Kamar Duka” ini tidak banyak. Seperti diceritakan dalam cerpen, bahwa hanya ada tokoh aku. Lebih tepatnya dua tokoh aku. Dua tokoh ini tidak lain adalah aku (istri Bim) dan aku (wanita selingkuhan Bim). Berbicara mengenai tokoh yang
Pada beberapa karya sastra, khususnya cerpen yang tidak begitu banyak dialog atau percakapan langsung, cara penggarapan sudut pandang penulis menjadi satu sorotan yang tidak main-main. Dalam cerpen “Kamar Duka” ini menggunakan dua sudut pandang. Penggunaan dua sudut pandang ini digunakan oleh penulis secara bergantian mulai dari awal sampai akhir cerita dengan tanpa menggunakan penjeda khusus. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang tokoh aku sebagai istri Bim, seperti pada kutipan berikut.
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi….
Sudut pandang yang kedua ialah sudut pandang tokoh aku sebagai wanita selingkuhan Bim, seperti pada kutipan berikut.
Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.
Selain sudut pandang, unsur intrinsik yang dapat diidentifikasi dengan mudah dari cerpen ini adalah penggambaran alur cerita. Cerita pendek “Rumah Duka” ini menggunakan alur campuran, yang berarti ada plot tertentu yang bergerak maju dan pada plot tertentu lainnya bergerak mundur ke masa lampau dan pada bagian berikutnya kembali lagi bergerak maju, begitu seterusnya sampai akhir cerita.
Berangkat pada masalah latar atau setting, pada cerpen ini menggunakan latar tempat yang dijadikan judul oleh Ratih Kumala, penulisnya, yaitu Rumah Duka, yaitu rumah duka keluarga Bim, seperti tampak pada kutipan berikut.
Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan….
 Selain latar tempat, latar yang dapat diidentifikasi dari cerpen ini adalah latar suasana. Muncul suasana yang dominan yang ingin digambarkan oleh Ratih Kumala dalam cerpennya kali ini. Dilihat dari judul yang cerpen ini, yaitu “Rumah Duka”, pastinya identik dengan suasana duka cita, haru sebagaimana yang terjadi bila ada sedang terjadi kematian.

 III
Cerpen Ratih Kumala memiliki beberapa sisi menarik. Beberapa hal yang dapat diulas dari tubuh cerpen “Rumah Duka” tadi merupakan suatu kedekatan yang akan ditemukan pembaca setelah membaca cerpen ini. Kedekatan  tadi membuat cerita ini seolah mampu membangkitkan sebuah kenangan dalam kehidupan para pembaca, atau hanya sekedar renungan yang diselingi penghayatan.
Dimulai dari sesuatu yang umum yang dapat kita temukan setelah membaca keseluruhan cepen “Rumah Duka”, yaitu tema. Tema yang dipilih oleh Ratih Kumala memang bukan merupakan tema baru atau tema yang jarang digunakan penulis lain, tapi justru sebaliknya. Tidak sedikit penulis yang menggarap karya sastranya dengan mengangkat tema yang serupa dengan tema yang diangkat oleh Ratih Kumala dalam “Rumah Duka”nya kali ini. Pemilihan tema seperti ini memang sangat mudah mengajak pembaca masuk ke dalam cerita, tetapi bila penulis kurang waspada, tulisan seperti itu malah akan menjadi seperti sebuah catatan harian yang picis. Untungnya, Ratih Kumala adalah seorang penulis yang cukup handal, sehingga tema itu dapat tergali dengan cukup baik dan ditampilkan dengan cara yang unik namun masih terasa wajar. Tidak terlihat usaha untuk membuat cerita ini menjadi sebuah prosaliris yang mengumbar kata ataupun kata puitis dan simbolisme yang njlimet, tapi cerita ini mampu menampilkan dramatisasi dan pembentukan konflik yang baik, dan emosi cerita ini tersalurkan dengan sangat baik kepada pembaca tanpa terlihat memaksa.
Selain tema dan pengembangan konflik yang digarap dengan baik, cerita ini juga berani menggunakan dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama dimunculkan adalah sudut pandang dari tokoh istri, dan yang selanjutnya adalah sudut pandang tokoh wanita yang menjadi selingkuhan. Kedua sudut pandang ini muncul bergantian dan perpindahan sudut pandangnay terjadi dengan halus sehingga pembaca tidak dapat melihat pola tutur atau gaya ujar dari kedua tokoh. Sepanjang pengalaman saya, cerita semacam ini memiliki resiko untuk membingungkan pembaca, terutama bila perpindahan sudut pandang tadi tidak diperhatikan, seperti misalnya: kedua sudut pandang menggunakan pola tutur atau gaya ujar yang sama atau mirip, niscaya para pembaca akan bingung “Siapa yang sedang bertutur? Apakah tokoh A atau tokoh B?”. Selain itu, penggunaan dua sudut pandang (atau lebih) rentan membuat sang penulis kebingungan sendiri. terutama ketika sang penulis tidak memiliki kerangka acuan yang jelas serta pola penulisan yang baik. Ratih Kumala dengan cerita ini sekali lagi menunjukkan bahwa beliau mampu mengatasi masalah-masalah tersebut dengan sangat baik.
Selain pola atau atau gaya bahasa yang khas dari masing-masing tokoh yang digunakan sudut pandangnya, penggambaran setting dan emosi dari tokoh-tokoh tersebut mampu menjelaskan kepada pembaca tentang perkembangan cerita dari sebuah tokoh secara khusus tanpa sedikitpun merasa bingung.
Secara keseluruhan, cerita ini bisa menjadi referensi yang cukup baik bagi pembaca yang mencari sebuah cerita realis dengan tema sederhana namun menampilkan sebuah pengembangan konflik dan dramatisasi yang baik. Serta bagi para pembaca yang ingin mempelajari penggunaan lebih dari satu sudut pandang namun masih tetap luwes dan tidak membingungkan, dapat mempertimbangkan untuk membaca secara seksama cerpen ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar