“AKU”
vs “AKU (LAIN)” dalam Kamar Duka Karya Ratih Kumala
Oleh: Dini Ayu Wiranti
I
Kamar Duka menyimpan banyak cerita. Ceritaku, ceritamu, dan ceritanya. Hidup
memang seringkali cari sensasi. Tidak mau berjalan begitu saja, tapi ingin
mencari wawasan lain. Andai setiap kisah cinta berjalan bak Romeo dan Juliet,
akankah ada hati yang tersakiti? Bukankah kebahagian pun serasa terbawa sampai
mati?? Tertawa dan menangis seperti bumbu utama dalam cinta. Lalu bagaimana
jika cinta itu punya dua mulut?? Mulut yang tersakiti dan mulut yang menyakiti?
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi….
….
Kami segera mengurus segala hal untuk kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias, sebelum diistirahatkan. Tujuh belas tahun! Tujuh belas tahun!
….
Begitulah Ratih Kumala membuka pintu “Kamar Duka”nya. Apa yang terbersit
di benak kalian membaca kalimat tersebut? Bukankah bagian tersebut serasa
bagian akhir dari sebuah cerita??
….
Tujuh belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku.
Saat malam-malam aku masih menyanyi di sebuah kafe jazz. Dia datang bersama sekelompok teman. Salah satu dari mereka
diperkenalkan sebagai istrinya, yang naga-naganya tak terlalu menikmati musik jazz. Tapi Bim kulihat sangat menghayati lagu- lagu yang kami
suguhkan….
….
Mendekati bagian tengah cerpen cerpen, diawali dengan keterangan waktu Tujuh belas tahun lalu. Formasi seperti
ini pasti tak asing lagi bagi kita. Apa yang bisa Anda amati dari dua kutipan
plot cerpen di atas?? Seperti yang sempat disinggung di bagian awal esai ini,
bahwa hidup seringkali cari sensasi.
Ratih Kumala sepertinya ingin mengikuti konvensi ini dan tampak pada “Rumah
Duka”nya. Perhatikan kutipan berikut.
….
Rumah duka mulai penuh. Aku tak berhasil menemukan dasi yang kumaksud. Ia
terlihat tampan dengan setelan jas Armani miliknya. Ah, harusnya kuminta ia dipakaikan kaos panjang model
turtle neck saja. Dipadu dengan jas ini, tentu keren dan lebih terlihat muda. Kenapa pula aku harus memilih
kemeja, kalau dasi yang kumaksud tak ketemu.
….
Kutipan tersebut ditemukan pada bagian tengah cerpen ini. Terdapat kata kunci pada kutipan ini dengan kutipan pertama tadi. Jika pada kutipan pertama dikatakan …saat laki-lakiku menamatkan siswa nyawanya… dan pada kutipan ini dikatakan …Rumah duka masih penuh… terdapat hubungan antara dua kutipan tersebut. Sekarang perhatikan kutipan berikut ini.
….
Aku pernah
menuntut Bim untuk memilih, antara aku dan istrinya. Ia selalu bilang, tak akan menceraikan istrinya, sebab
agamanya melarang. Mengajarinya untuk menikah satu kali, dan hanya sekali….
….
Pada kutipan keempat ini muncul anggapan bahwa kutipan ini sama dengan
kutipan kedua pada esai ini. Kata kuncilah yang menjadi penandanya. Jika pada
kutipan kedua muncul dikatakan …Tujuh
belas tahun lalu, Bim muncul dalam hidupku… dan pada kutipan keempat ini
dikatakan …Aku pernah menuntut Bim untuk
memilih antara aku dan istrinya… Kemudian, perhatikan dua kutipan terakhir
berikut ini.
….
Obituari Bim
muncul di koran pagi ini, memberitahuku ia
disemayamkan di rumah duka mana. …. Aku akan menyetir
pelan-pelan, sambil mengisi penuh
tangki keberanianku. Aku harus menemui
Bim, memberinya penghormatan
terakhir sebelum dia dibakar jadi abu.
….
….
Ia datang lagi,
perempuan jalang itu. Pasti ia baca
obituari di koran. Ini resikonya. Ia jadi
tahu. Beberapa orang memandangi
kedatangannya, beberapa
berbisik-bisik. Tentu mereka tahu siapa
perempuan itu dan bagaimana
statusnya. Ia mendekatiku….
….
Ratih Kumala seolah mengajak kita kembali menengok ke pintu depan “Kamar
Duka”nya dimana ia memunculkan kata-kata seperti kremasi, rumah duka, rangkaian bunga, suka cita, mayat, diistirahatkan
dan pada bagian akhir (seperti yang ada pada kutipan akhir) muncul kata-kata disemayamkan, rumah duka, penghormatan
terakhir.
Beberapa bagian plot cerita yang telah dikutip tadi merupakan bagian
inti-inti cerita dari “Kamar Duka” yang ditulis oleh Ratih Kumala. Ada beberapa
alasan mengapa perlu diberi kutipan plot cerita seperti kutipan-kutipan di
atas. Salah satu alasannya menjadi alasan mengapa esai ini memilih cerita
pendek yang ditulis Ratih Kumala dengan judul “Kamar Duka” untuk diperbincangkan
dalam rangkaian huruf.
II
Bila cinta memiliki wajah, maka cerpen Ratih Kumala menunjukkan
kecantikan cinta yang tak tidak umum. Sebentuk cantik yang wajar dan tidak
berlebihan, yang hanya bisa dilihat cantik bila kita mampu melihat apa yang
tersembunyi di balik wajah cantik itu. Cerpen Ratih Kumala yang berjudul “Rumah
Duka” mengambil tema yang mungkin telah digunakan oleh ratusan atau bahkan
ribuan cerpen lainnya. Sebuah tema yang usang namun masih menyimpan kekuatan
yang cukup menghentak. Tema tentang cinta yang mendua , sebuah perselingkuhan sudah
umum terjadi pada hubungan berpasangan. Salah satu bagian dalam cerita yang
menunjukkan digunakannya tema ini tampak pada kutipan di bawah ini.
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya…
…
Mungkin, awalnya perempuan itu hanya ’makanan’, tapi ia makanan yang diramu oleh chef yang andal, jadilah suamiku ketagihan. Lama kelamaan, ’makanan’ itu menjelma jadi ’anjing’ peliharaan…
….
Sudah satu minggu Bim masuk rumah sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa menengoknya. Siapalah aku, orang luar perusuh rumah tangga orang. Meski aku cinta setinggi langit sedalam lautan, itu tak mengubah apa pun. Apalagi statusku.
….
Kekuatan tema ini terletak pada tingkat realitas yang cukup tinggi dan
kedekatannya dengan para pembaca, karena hampir setiap pembaca pernah
berinteraksi secara langsung ataupun tidak dengan perselingkuhan, baik sebagai
korban, pelaku ataupun saksi.
Para pemeran yang ada dalam cerpen “Kamar Duka” ini tidak banyak. Seperti
diceritakan dalam cerpen, bahwa hanya ada tokoh aku. Lebih tepatnya dua tokoh
aku. Dua tokoh ini tidak lain adalah aku (istri Bim) dan aku (wanita
selingkuhan Bim). Berbicara mengenai tokoh yang
Pada beberapa karya sastra, khususnya cerpen yang tidak begitu banyak
dialog atau percakapan langsung, cara penggarapan
sudut pandang penulis menjadi satu sorotan yang tidak main-main. Dalam
cerpen “Kamar Duka” ini menggunakan dua sudut pandang. Penggunaan dua sudut
pandang ini digunakan oleh penulis secara bergantian mulai dari awal sampai
akhir cerita dengan tanpa menggunakan penjeda khusus. Sudut pandang pertama
adalah sudut pandang tokoh aku sebagai istri Bim, seperti pada kutipan berikut.
Hal pertama yang muncul di kepala saat laki-lakiku menamatkan sisa nyawanya adalah; mungkin perempuan itulah yang lebih kehilangan dibanding aku, istri sahnya. Ketika itu jarum jam menggenapkan pukul tiga pagi….
Sudut
pandang yang kedua ialah sudut pandang tokoh aku sebagai wanita selingkuhan
Bim, seperti pada kutipan berikut.
Ranjang di kamarku serasa hangat, seperti tuntas ditiduri sosok manusia malam itu. Malam ketika Bim meninggal dunia. Dari pukul sembilan aku berusaha memejamkan mata, tapi tak bisa. Sudah
satu minggu Bim masuk rumah
sakit, dan aku (tentu saja) tak bisa
menengoknya. Siapalah aku, orang
luar perusuh rumah tangga orang.
Meski aku cinta setinggi langit sedalam
lautan, itu tak mengubah apa pun.
Apalagi statusku.
Selain sudut pandang, unsur intrinsik yang dapat diidentifikasi dengan
mudah dari cerpen ini adalah penggambaran alur cerita. Cerita pendek “Rumah
Duka” ini menggunakan alur campuran, yang berarti ada plot tertentu yang
bergerak maju dan pada plot tertentu lainnya bergerak mundur ke masa lampau dan
pada bagian berikutnya kembali lagi bergerak maju, begitu seterusnya sampai
akhir cerita.
Berangkat pada masalah latar atau setting,
pada cerpen ini menggunakan latar tempat yang dijadikan judul oleh Ratih
Kumala, penulisnya, yaitu Rumah Duka, yaitu rumah duka keluarga Bim, seperti
tampak pada kutipan berikut.
Kami segera mengurus segala hal untuk
kremasi. Rumah duka kami booking. Rangkaian bunga duka cita dari
kolega-kolega suamiku mulai berdatangan. Hari ini, mayatnya dirias,
sebelum diistirahatkan….
Selain latar tempat, latar yang
dapat diidentifikasi dari cerpen ini adalah latar suasana. Muncul suasana yang
dominan yang ingin digambarkan oleh Ratih Kumala dalam cerpennya kali ini.
Dilihat dari judul yang cerpen ini, yaitu “Rumah Duka”, pastinya identik dengan
suasana duka cita, haru sebagaimana yang terjadi bila ada sedang terjadi
kematian.
III
Cerpen Ratih Kumala memiliki beberapa sisi menarik. Beberapa hal yang
dapat diulas dari tubuh cerpen “Rumah Duka” tadi merupakan suatu kedekatan yang
akan ditemukan pembaca setelah membaca cerpen ini. Kedekatan tadi membuat cerita ini seolah mampu
membangkitkan sebuah kenangan dalam kehidupan para pembaca, atau hanya sekedar
renungan yang diselingi penghayatan.
Dimulai dari sesuatu yang umum yang dapat kita temukan setelah membaca
keseluruhan cepen “Rumah Duka”, yaitu tema. Tema yang dipilih oleh Ratih Kumala
memang bukan merupakan tema baru atau tema yang jarang digunakan penulis lain,
tapi justru sebaliknya. Tidak sedikit penulis yang menggarap karya sastranya
dengan mengangkat tema yang serupa dengan tema yang diangkat oleh Ratih Kumala
dalam “Rumah Duka”nya kali ini. Pemilihan tema seperti ini memang sangat mudah
mengajak pembaca masuk ke dalam cerita, tetapi bila penulis kurang waspada,
tulisan seperti itu malah akan menjadi seperti sebuah catatan harian yang
picis. Untungnya, Ratih Kumala adalah seorang penulis yang cukup handal,
sehingga tema itu dapat tergali dengan cukup baik dan ditampilkan dengan cara yang
unik namun masih terasa wajar. Tidak terlihat usaha untuk membuat cerita ini
menjadi sebuah prosaliris yang mengumbar kata ataupun kata puitis dan
simbolisme yang njlimet, tapi cerita
ini mampu menampilkan dramatisasi dan pembentukan konflik yang baik, dan emosi
cerita ini tersalurkan dengan sangat baik kepada pembaca tanpa terlihat
memaksa.
Selain tema dan pengembangan konflik yang digarap dengan baik, cerita ini
juga berani menggunakan dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama
dimunculkan adalah sudut pandang dari tokoh istri, dan yang selanjutnya adalah
sudut pandang tokoh wanita yang menjadi selingkuhan. Kedua sudut pandang ini
muncul bergantian dan perpindahan sudut pandangnay terjadi dengan halus
sehingga pembaca tidak dapat melihat pola tutur atau gaya ujar dari kedua
tokoh. Sepanjang pengalaman saya, cerita semacam ini memiliki resiko untuk
membingungkan pembaca, terutama bila perpindahan sudut pandang tadi tidak
diperhatikan, seperti misalnya: kedua sudut pandang menggunakan pola tutur atau
gaya ujar yang sama atau mirip, niscaya para pembaca akan bingung “Siapa yang
sedang bertutur? Apakah tokoh A atau tokoh B?”. Selain itu, penggunaan dua
sudut pandang (atau lebih) rentan membuat sang penulis kebingungan sendiri.
terutama ketika sang penulis tidak memiliki kerangka acuan yang jelas serta
pola penulisan yang baik. Ratih Kumala dengan cerita ini sekali lagi
menunjukkan bahwa beliau mampu mengatasi masalah-masalah tersebut dengan sangat
baik.
Selain pola atau atau gaya bahasa yang khas dari masing-masing tokoh yang
digunakan sudut pandangnya, penggambaran setting dan emosi dari tokoh-tokoh
tersebut mampu menjelaskan kepada pembaca tentang perkembangan cerita dari
sebuah tokoh secara khusus tanpa sedikitpun merasa bingung.
Secara
keseluruhan, cerita ini bisa menjadi referensi yang cukup baik bagi pembaca
yang mencari sebuah cerita realis dengan tema sederhana namun menampilkan
sebuah pengembangan konflik dan dramatisasi yang baik. Serta bagi para pembaca
yang ingin mempelajari penggunaan lebih dari satu sudut pandang namun masih
tetap luwes dan tidak membingungkan,
dapat mempertimbangkan untuk membaca secara seksama cerpen ini.
0 komentar:
Posting Komentar