Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Semangat Muda Idrus, Menyembur Pada Nipon



Semangat Muda Idrus, Menyembur Pada Nipon
Oleh: Ardi Wina Saputra
 
Semangat penulis muda kembali dikobarkan Idrus dalam naskah drama berjudul “Kejahatan Membalas Dendam”. Naskah ini diterbitkan dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Idrus lahir di Padang 21 September 1921 dan merupakan salah seorang pelopor angkatran 45. Penulis yang pernah bekerja menjadi redaktur Balai Pustaka ini memulai tenggelam dalam dunia sastra Indonesia setelah berkenalan dengan H.B. Jassin, S.Takdir Alisja, Sanusi Pane, Nur Sutan Iskandar, dan lain-lain di tempat kerjanya. Ketika zaman Jepang, tulisan Idrus yang didominasi genre romantik, lebih mentyoroti pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya, seperti pada naskah drama “Kejahatan Membalas Dendam”. Kenyataan pahit dan kesengsaraan pada zaman Jepang membuat hatinya terbuka dan meninggalkan cerita-cerita romantikdan beralih pada cerita yang melukiskan kesinisan dan kekasaran Jaman Jepang, dalam “corat-coret di bawah tanah”. Karangan lain berjudul “Surabaya” juga menggambarkan tentang kesinisan Idrus terhadap kedatangan Inggris dan Belanda yang hendak menjajah Indonesia setelah kemerdekaan. 
Ketika menjabat sebagai redaktur Balai Pustaka, Idrus memimpin meajalah kebuadayaan yang dinamainya Indonesia. Pernah juga Idrus bekerja pada Garuda Indonesia Airways (GIA). Setelah kenyang dengan pengalaman bersastra di Indonesia, Idrus kemudian mendirikan penerbitan buku-buku dan majalah di Kuala Lumpur. Sesudah itu, Idrus pergi ke Australia mengajar sastra Indonesia modern di Monash University, dan menterjemahkan cerpen-cerpen Indonesia ke dalam bahasa Inggris (Rosidi: 1982).
Dalam naskah dramanya, Idrus berusaha membeberkan persoalan perbedaan gaya kepenulisan lintas generasi, namun dikisahkan dengan romantis. Diceritakan dalam naskah drama tersebut perjuangan Ishak, seorang  pengarang muda yang romanya dikritik habis-habisan oleh ayah kekasihnya, yaitu Suksoro. Karya-karya Suksoro lebih menunjukkan pada karya yang kolot dan cenderung tertutup pada gaya kesusastraan baru. Ishak pernah berkoar bahwa karya Suksoro dapat ditulisnya sekali dalam sehari, namun hal itu sekaligus meracuni kesusastraan baru Indonesia. Satilawati kekasih Ishak menilai karya pujaan hatinya itu adalah karya yang memikirkan kemiskinan bangsa, berjuang untuk sesuatu yang mulia, dan meninggikan derajat kesusastraan Indonesia karena cocok dengan zaman perang yang saat itu terjadi.  Asmadiputera, sahabat Ishak membela Ishak mati-matian dalam menghadapi kritik Suksoro. Asmadiputera mengatakan bahwa roman Ishak adalah roman yang blak-blakan, tidak mengambang, serta memperjuangkan semangat perang jiwa muda.   
Diakhir cerita, Suksoro sadar dan mengakui keberadaan penyair muda. Ia seolah dipertobatkan oleh Asmadiputra. Melalui wejanganya, Asmadiputera mengatakan bahwa pengarang-pengarang muda ini sedang menyiapkan untuk menyambut Indonesia Merdeka. Dan jika Indonesia telah  merdeka, Indonesia tidak perlu malu bergandengan dengan negara manapun  juga dalam hal kesusastraan. Pengarang muda Indonesia sekarang selalu berusaha menciptakan hasil kesusastraan internasional, diakui oleh seluru dunia dan untuk menciptakan  yang demikian, kedudukan pengarang-pengarang  Indonesia merdeka  harus sama dengan kedudukan pengarang- pengarang negara lain. Kedudukan yang bebas dan merdeka  (Idrus, 2002:72).
Tokoh Isak dengan pandangan terbuka membeberkan bahwa memang ada jurang pemisah antara  golongan tua (sastrawan lama) dan golongan muda (sastrawan baru), namun perbedaan ini bukan untuk melenyapkan salah satu diantara mereka. Golongan tua harusnya tetap bertahan dengan gaya dan tradisininya, namun tetap terbuka dan mau menerima inovasi dari golongan muda. Hal tersebut karena sebenarnya golongan muda hanya membutuhkan penerimaan atau penghargaan saja dari golongan tua (Idrus, 2002:74).  Keberadaan tokoh Ishak menegaskan bahwa naskah Idrus ini merupakan sebuah karya yang menghibur dan mengajarkan sesuatu. Ishak mengajarkan pembaca untuk membuka pemikiranya terhadap dua golongan yang berbeda. Karya Idrus sesuai dengan fungsi sastra yaitu menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek&Warren, 1995:25).
Keberpihakan Idrus pada Jepang, juga ditulis secara gamblang dalam naskah ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh perkataan Asmadiputera yang membela Ishak. Asmadiputera berujar bahwa roman Ishak yang berjudul “Hari Ketiga Nipon di Indonesia”,  menceritakan tahun ketiga Nipon di Indonesia. Dalam roman ini diceritakan beberapa orang Indonesia yang sejak Jepang masuk, belum insaf juga karena masih memihak Belanda (Idrus, 2002:47). Satu perkataan Asmadiputera yang sangat menonjolkan Jepang adalah,”Tiga tahun Nipon di Indonesia sudah. Selama ini kami hanya sebagai parasit saja. Jika ada keuntungan bagi kami, kami mendekat kepada pemerintah sebagai ayam diberi makan. Tapi jika tenaga harus dikerahkan, kami menjauh sebagai kucing dibawakan lidi. Tapi semua itu telah berakhir, Jiwa kami yang bobrok itu tambah lama tambah hidup kembali. Dan waktu Cuo Sang In menganjurkan  Gerakan Hidup Baru, kami insaf-seinsaf insafnya, bahwa kami harus memperbaruhi sesuatu dalam dada kami, memperbaharui tekad, memperbaharui jiwa. Dan serentak kami menceburkan diri ke dalam barisan Prajurit Pembela Tanah Air (Idrus, 2002:48).
Pada saat itu, Idrus cenderung lebih didominasi pada pemerintah Jepang daripada Belanda. Sastrawan lama masih mengagungkan Belanda, namun Idrus tidak. Dia bahkan ikut berperang terang-terangan melalui karyanya. Pada hakikatnya, sastrawan dengan sadar atau tidak, dan dengan terang-terang atau tidak melakukan perang melalui karya (Darma, 2000:213). Naskah drama Idrus ini juga sesuai dengan hakikat sastra yang merupakan alegori zamannya. Sastra, pada hakikatnya adalah alegori, dan karena itu, menyampaikan kias-kias jaman pada saat pengarangnya menulis. Ada sastra yang unsur alegorinya langsung dan mencolok, ada pula yang tidak, dan karena itu tidak terasa llagi kadar alegorinya. Justru karena sastra menampakkan kias jamannya, maka sastra tidak bisa lepas dari politik (Darma, 2000:219-220).
Jika dilihat dari sejarahnya, karya ini ditulis pada saat awal kedatangan Jepang di Indoinesia. Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun merupakan masa yuang penting bagi negeri ini sebelum datangnya kemerdekaan. Sebelum Jepang ke Indonesia, kekuasaan Belanda seolah kokoh dan tak terkoyakkan.  Tidak munafik apabila disebutkan bahawa Jepang memberikan perkembangan langsung pada Revolusi Indonesia.Di seluruh Nusantara, Jepang mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan menghadapkan Indonesia pada rezim kolonial yang bersifat merusak dan menindas dalam sejarahnya (Ricklefs, 2005:297). 
Daftar Rujukan
Darma, Budi. 2000. Sastra dan Kekuasaan. Dalam Soediro Satoto & Zinuddin F.M (Eds.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm.207-223). Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Idrus. 2002. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (cet 20). Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Penerbit Binacipta.
Wellek, R. & Warren, A. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar