Semangat Muda Idrus, Menyembur Pada
Nipon
Oleh: Ardi Wina Saputra
Semangat penulis muda kembali dikobarkan Idrus dalam naskah drama
berjudul “Kejahatan Membalas Dendam”. Naskah ini diterbitkan dalam buku Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Idrus lahir di Padang 21 September 1921 dan
merupakan salah seorang pelopor angkatran 45. Penulis yang pernah bekerja
menjadi redaktur Balai Pustaka ini memulai tenggelam dalam dunia sastra
Indonesia setelah berkenalan dengan H.B. Jassin, S.Takdir Alisja, Sanusi Pane,
Nur Sutan Iskandar, dan lain-lain di tempat kerjanya. Ketika zaman Jepang,
tulisan Idrus yang didominasi genre romantik, lebih mentyoroti pemuda yang
berjuang untuk Asia Timur Raya, seperti pada naskah drama “Kejahatan Membalas
Dendam”. Kenyataan pahit dan kesengsaraan pada zaman Jepang membuat hatinya
terbuka dan meninggalkan cerita-cerita romantikdan beralih pada cerita yang
melukiskan kesinisan dan kekasaran Jaman Jepang, dalam “corat-coret di bawah
tanah”. Karangan lain berjudul “Surabaya” juga menggambarkan tentang kesinisan
Idrus terhadap kedatangan Inggris dan Belanda yang hendak menjajah Indonesia
setelah kemerdekaan.
Ketika menjabat sebagai redaktur Balai Pustaka, Idrus memimpin
meajalah kebuadayaan yang dinamainya Indonesia. Pernah juga Idrus bekerja pada
Garuda Indonesia Airways (GIA). Setelah kenyang dengan pengalaman bersastra di
Indonesia, Idrus kemudian mendirikan penerbitan buku-buku dan majalah di Kuala
Lumpur. Sesudah itu, Idrus pergi ke Australia mengajar sastra Indonesia modern
di Monash University, dan menterjemahkan cerpen-cerpen Indonesia ke dalam
bahasa Inggris (Rosidi: 1982).
Diakhir cerita, Suksoro sadar dan mengakui keberadaan penyair muda.
Ia seolah dipertobatkan oleh Asmadiputra. Melalui wejanganya, Asmadiputera
mengatakan bahwa pengarang-pengarang muda ini sedang menyiapkan untuk menyambut
Indonesia Merdeka. Dan jika Indonesia telah
merdeka, Indonesia tidak perlu malu bergandengan dengan negara
manapun juga dalam hal kesusastraan.
Pengarang muda Indonesia sekarang selalu berusaha menciptakan hasil
kesusastraan internasional, diakui oleh seluru dunia dan untuk menciptakan yang demikian, kedudukan
pengarang-pengarang Indonesia
merdeka harus sama dengan kedudukan
pengarang- pengarang negara lain. Kedudukan yang bebas dan merdeka (Idrus, 2002:72).
Tokoh Isak dengan pandangan terbuka membeberkan bahwa memang ada
jurang pemisah antara golongan tua
(sastrawan lama) dan golongan muda (sastrawan baru), namun perbedaan ini bukan
untuk melenyapkan salah satu diantara mereka. Golongan tua harusnya tetap
bertahan dengan gaya dan tradisininya, namun tetap terbuka dan mau menerima inovasi
dari golongan muda. Hal tersebut karena sebenarnya golongan muda hanya
membutuhkan penerimaan atau penghargaan saja dari golongan tua (Idrus,
2002:74). Keberadaan tokoh Ishak
menegaskan bahwa naskah Idrus ini merupakan sebuah karya yang menghibur dan
mengajarkan sesuatu. Ishak mengajarkan pembaca untuk membuka pemikiranya
terhadap dua golongan yang berbeda. Karya Idrus sesuai dengan fungsi sastra
yaitu menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu (Wellek&Warren,
1995:25).
Keberpihakan Idrus pada Jepang, juga ditulis secara gamblang dalam
naskah ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh perkataan Asmadiputera yang membela
Ishak. Asmadiputera berujar bahwa roman Ishak yang berjudul “Hari Ketiga Nipon
di Indonesia”, menceritakan tahun ketiga
Nipon di Indonesia. Dalam roman ini diceritakan beberapa orang Indonesia yang
sejak Jepang masuk, belum insaf juga karena masih memihak Belanda (Idrus,
2002:47). Satu perkataan Asmadiputera yang sangat menonjolkan Jepang
adalah,”Tiga tahun Nipon di Indonesia sudah. Selama ini kami hanya sebagai
parasit saja. Jika ada keuntungan bagi kami, kami mendekat kepada pemerintah
sebagai ayam diberi makan. Tapi jika tenaga harus dikerahkan, kami menjauh
sebagai kucing dibawakan lidi. Tapi semua itu telah berakhir, Jiwa kami yang bobrok
itu tambah lama tambah hidup kembali. Dan waktu Cuo Sang In menganjurkan Gerakan Hidup Baru, kami insaf-seinsaf
insafnya, bahwa kami harus memperbaruhi sesuatu dalam dada kami, memperbaharui
tekad, memperbaharui jiwa. Dan serentak kami menceburkan diri ke dalam barisan
Prajurit Pembela Tanah Air (Idrus, 2002:48).
Pada saat itu, Idrus cenderung lebih didominasi pada pemerintah
Jepang daripada Belanda. Sastrawan lama masih mengagungkan Belanda, namun Idrus
tidak. Dia bahkan ikut berperang terang-terangan melalui karyanya. Pada
hakikatnya, sastrawan dengan sadar atau tidak, dan dengan terang-terang atau
tidak melakukan perang melalui karya (Darma, 2000:213). Naskah drama Idrus ini
juga sesuai dengan hakikat sastra yang merupakan alegori zamannya. Sastra, pada
hakikatnya adalah alegori, dan karena itu, menyampaikan kias-kias jaman pada
saat pengarangnya menulis. Ada sastra yang unsur alegorinya langsung dan
mencolok, ada pula yang tidak, dan karena itu tidak terasa llagi kadar
alegorinya. Justru karena sastra menampakkan kias jamannya, maka sastra tidak
bisa lepas dari politik (Darma, 2000:219-220).
Jika dilihat dari sejarahnya, karya ini ditulis pada saat awal
kedatangan Jepang di Indoinesia. Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah
tahun merupakan masa yuang penting bagi negeri ini sebelum datangnya
kemerdekaan. Sebelum Jepang ke Indonesia, kekuasaan Belanda seolah kokoh dan
tak terkoyakkan. Tidak munafik apabila
disebutkan bahawa Jepang memberikan perkembangan langsung pada Revolusi
Indonesia.Di seluruh Nusantara, Jepang mempolitisasikan bangsa Indonesia sampai
pada tingkat desa dengan sengaja dan dengan menghadapkan Indonesia pada rezim
kolonial yang bersifat merusak dan menindas dalam sejarahnya (Ricklefs,
2005:297).
Daftar Rujukan
Darma, Budi. 2000. Sastra dan Kekuasaan. Dalam Soediro Satoto &
Zinuddin F.M (Eds.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm.207-223).
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Idrus. 2002. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (cet 20).
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung: Penerbit Binacipta.
Wellek, R. & Warren, A. 1995. Teori Kesusastraan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar