Mahalnya Membayar Harga Diri Nyai Ontosoroh
Oleh: Ardi Wina Saputra
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”
Ucapan ini dilontarkan bukan dari mulut seorang pejabat,
petinggi, kaum akademisi, dan para
pembesar. Bukan pula diucapkan ole ibu wali kota atau bahkan ibu negara.
Gertakan diatas diujarkan dengan penuh keyakinan oleh seorang Nyai, bernama
Ontosoroh. Nyai Ontohsoroh mengucapkanya
dengan lantang pada halaman 535, dalam roman berjudul Bumi Manusia, karya Pramoedya
Ananta Toer. Perkataan inilah yang mampu menutup novel Bumi Manusia dengan
menawan sehingga menjadi novel yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ucapan
seorang Nyai Jawa, yang menggemparkan dunia. Sosok Nyai Ontosoroh diciptakan
oleh Pram ketika dia diasingkan di Pulau Buru. Sebelum kita menjamah lebih
dekat reraga hingga jiwatma sang nyai,
alangkah baiknya kita menerawang selayang pandang sosok penciptanya, yakni
Pramoedya Ananta Toer.
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1925. Ia pernah menjadi
seorang wartawan di Domei. Pramoedya pernah terlibat dalam Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra). Pram juga pernah dipenjara berkali-kali oleh pemerintah karena
tulisanya yang berani. Massa tahanan terlama adalah ketika ia diasingkan ke
Pulau Buru pada 1965 hingga 1979. Disinilah , tepatnya tahun 1973 ketika ia
diberi izin untuk menulis saat ditahanan, Pram menulis tetralogi Karya Buru
yang mengantarnya mendapat nominasi nobel di tahun 80’an (Kurniawan, 2002:36).
Buku pertama dalam tetralogi karya buru tersebut, berjudul Bumi Manusia, dengan
Nyai Ontosoroh yang menjadi tonggak gebrakan keadilan.
Sesungguhnya tujuan licik Sastrotomo menjual Sanikem adalah karena
Sastrotomo ingin jabatan yang lebih tinggi dan dianggap terpandang oleh
orang-orang kampung. Perbuatan ayahnya
ini yang membuat Sanikem marah, benci, dendam, dan keras hati terhadap segala
sesuatu yang menyangkut harga diri. Menurut tokoh lain bernama Dr. Martinet,
kekerashatian Nyai Ontosoroh terbentuk ketika dia masih muda. Analisisnya
mengatakan,
“......wanita luar biasa itu, setiap katanya
sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendedam
yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai seorang wanita pun sudah suatu
keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah
menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang menjadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat
keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: Sukses dalam segala usahanya
yang membikin dia menjadi seorang pribadi yang kuat, dan berani...” (h.184).
Dijual pada Helbert Melema, nampaknya tidak membuat Ontosoroh berpasrah begitu saja. Pada awal menjadi
Nyai, dia banyak belajar mengenai bahasa Melayu, kebersihan, menyusun tempat
tidur, menata rumah, dan masak dengan cara Eropa. Setelah keterampilanya
terasah, Ontosoroh memperdalam ilmunya dengan membaca apa saja bacaan dari
Belanda. Hal tersebut merupakan tugas wajib yang diberikan oleh suaminya untuk
mendalami bahasa Belanda. Pelajaran terakhir adalah mengelola perusahaan milik
Mellema. Awalnya Nyai Ontosoroh hanya mengelola sedikit, namun lama-kelamaan
dialah yang mengelola dan memajukan seluruh perusahaan Mellema. Inilah hasil
ketekunan belajar sang nyai.“Nyai seorang
murid yang baik, dan mempunyai kemampuan berkembang sendiri setelah mendapatkan
modal pengertian dari tuannya,” (h.120).
Nyai Ontosoroh tidak mau terjebak dalam zona aman. Sejak dia menjadi
nyai, Ontosoroh selalu was-was dan berjaga-jaga apabila suatu saat suaminya
meninggalkannya. Mengenai suaminya, suatu ketika ia pernah berkata, “Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak
pernah kukenal, setiap saat bisa pulang ke Nederland, meninggalkan aku dan
melupakan segala sesuatu di Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada
kemungkinan itu,” (h.92).
Menjadi seorang Nyai bagi Ontosoroh teramat menyakitkan dan penuh
penderitaan, khususnya melukai harga dirinya yang telah tercabik-cabik. Memang
benar pada awalnya Nayi Ontosoroh merasakan kebahagiaan karena dicintai oleh
Mellema, namun perlu digarisbawahi bahwa Mellema bukanlah lelaki yang
dicintainya. Kedatangan Maurits, putra Mellema malah semakin memperparah
keadaan, sehinggga membuat Mellema seolah gila dan memaksa Nyai Ontosoroh
mengurus semua pekerjaanya. Nyai pernah berkata pada Annelis puterinya, “Ann, papamu sangat menyayangi aku. Namun
semua itu tak dapat mengobati harga diri yang terluka,” (h.92). Ontosoroh
mempertegas dengan pernyataan, “Tentu
saja sangat berlebihan apabila perempuan Jawa berbicara tentang harga diri,
apalagi semuda itu. Papamu yang mengajari Ann,” (h.93).
Berjuang untuk mempertahankan harga diri, inilah yang membuat nyai
bikinan Pramoedya serasa istimewa daripada cerita Nyai yang ada pada zaman itu.
Pramoedya berhasil menampilkan “cerita nyai” yang sama sekali baru: cerita nyai
yang sekaligus mengekspresikan kritik terhadap budaya Jawa dan terhadap
kolonialisme, dan yang melambangkan ambivalensi pengalaman (pasca) kolonial (Bandel,2006:33).
Bagian terakhir buku ini seolah klimaks harga diri Nyai Ontosoroh
dipertaruhkan. Dengan tegas dia memecat pengacara terhebat yaitu Mr. Deradera
dan mengajak Minke untuk melawan hukum Belanda, hukum kolonial dengan
kekuatannya sendiri. Kekuatan wanita pribumi.
Dalam sebuah wawancara tentang Bumi Manusia di Majalah Tempo, 30
Agustus 1980, Pram mengatakan, “Saya hanya menghendaki bahwa orang pribumi
kalau diinjek tidak mletet. Tidak gepeng. Tidak pipih kena injakan. Semakin dia
ditindas semakin bangkit. Ya mungkin ada yang tidak setuju tapi itulah yang
saya inginkan”.
Keadaan Nyai Ontosoroh memang tepat untuk menggambarkan kedaaan bangsa
yang sedang terjajah. Hal tersebut karena nyai merupakan seorang perempuan
pribumi dihadapan laki-laki penjajah yang memiliki kekuasaan, sehingga menjadi
sasaran empuk untuk ditindas. Namun disisi lain, seorang nyai juga memiliki
keistimewaan karena menjadi “kekasih” penjajah. Nyai memiliki akses untuk menimba
ilmu pengetahuan serta mengeruk harta
benda tuannya. Pram mencoba memadukan keduanya dalam diri Nyai Ontosroh .
Seorang kritikus sastra bernama Harry Aveling bahkan berani mengatakan bahwa
tokoh utama Bumi Manusia adalah Nyai Ontosoroh, Minke masih belum dewasa, meski
belajar terus sampai matang (2002:147). Wejangan utama sang nyai pada Minke
adalah sebagai berikut, “Berbahagialah
dia” kata Nyai, “yang makan dari keringatnya
sendiri, bersuka karena usahanyua sendiri, dan maju karena pengalamannya
sendiri,” (h.31). Wejangan yang penuh harga diri, bukan hanya diperuntukkan
bagi Minke namun juga bagi seluruh pembaca.
Nyai Ontosoroh, meskipun seorang nyai namun sungguh sangat sulit
sekali dinilai harga dirinya. Kegigihannya dalam memperjuangkan keadlian
sungguh sangatlah tinggi, tutur kata yang dia ucapkan juga layaknya para Mevrouw
Belanda pada umumnya. Percakapan antara Minke dengan Nyai Ontosoroh menyajikan
kecerdasan alamiah, kekerasan hati dan dendam yang tak teratasi yang justru
menjadi energi untuk maju (Kleden, 2004:145). Kehadiran Nyai Ontosoroh dalam
salah satu tokoh fiksi di belantika sejarah sastra nusantara, nampaknya juga
sebagai wujud mendukung tujuan fenminisme. Inti tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan laki-laki (Djajanegara, 2000:4). Bahasa yang digunakan Nyai Ontosoroh
dalam dialognya dengan tokoh lain, merupakan Bahasa Indonesia yang murni,
seperti beberapa nukilan percakapan nyai diatas. Usaha Pramoedya untuk
menggunakan Bahasa Indonesia yang relatif “murni” –dengan sesedikit mungkin menggunakan kata asing
–harus diartikan sebagai semangat nasionalisme yang tinggi (Djokosujatno, 2001:204).
Di bagian belakang sampul buku Bumi Manusia, Pram menegaskan kembali
salah satu kutipan Nyai Ontosoroh yang berbunyi “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan,”. Sekali lagi, ucapan sebijak ini keluar dari
pemikiran seorang Nyai.Nyai yang punya harga diri tinggi.
Daftar Rujukan
Aveling, Harry. 2002. Rumah
Sastra Indonesia. Magelang: Penerbit Indonesia Tera.
Bandel, Katrin.2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta:
Jalasutra.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra sebuah Pengantar. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya.
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta:
Penerbit Jendela.
Toer, Pramoedya. 2005. Bumi
Manusia (cetakan 10). Jakarta: Lentera Dipantara.
Djokosujanto, A. 2001. Merentas
Ranah. Dalam Ida S. Husen & R. Hidayat (Eds.), Perihal Bahasa dalam Kartologi Bumi Manusia (hlmn. 189-204).
Jogjakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
0 komentar:
Posting Komentar