Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mahalnya Membayar Harga Diri Nyai Ontosoroh



Mahalnya Membayar Harga Diri Nyai Ontosoroh
Oleh: Ardi Wina Saputra
 
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”
Ucapan ini dilontarkan bukan dari mulut seorang pejabat, petinggi,  kaum akademisi, dan para pembesar. Bukan pula diucapkan ole ibu wali kota atau bahkan ibu negara. Gertakan diatas diujarkan dengan penuh keyakinan oleh seorang Nyai, bernama Ontosoroh.  Nyai Ontohsoroh mengucapkanya dengan lantang pada halaman 535, dalam roman berjudul Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Perkataan inilah yang mampu menutup novel Bumi Manusia dengan menawan sehingga menjadi novel yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ucapan seorang Nyai Jawa, yang menggemparkan dunia. Sosok Nyai Ontosoroh diciptakan oleh Pram ketika dia diasingkan di Pulau Buru. Sebelum kita menjamah lebih dekat reraga  hingga jiwatma sang nyai, alangkah baiknya kita menerawang selayang pandang sosok penciptanya, yakni Pramoedya Ananta Toer.
Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada tahun 1925. Ia pernah menjadi seorang wartawan di Domei. Pramoedya pernah terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pram juga pernah dipenjara berkali-kali oleh pemerintah karena tulisanya yang berani. Massa tahanan terlama adalah ketika ia diasingkan ke Pulau Buru pada 1965 hingga 1979. Disinilah , tepatnya tahun 1973 ketika ia diberi izin untuk menulis saat ditahanan, Pram menulis tetralogi Karya Buru yang mengantarnya mendapat nominasi nobel di tahun 80’an (Kurniawan, 2002:36). Buku pertama dalam tetralogi karya buru tersebut, berjudul Bumi Manusia, dengan Nyai Ontosoroh yang menjadi tonggak gebrakan keadilan.
Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita Jawa yang memiliki harga diri tinggi karena digerus oleh kejamnya keadaan disekelilingnya. Nama asli Ontosoroh adalah Sanikem. Dulunya Sanikem merupakan kembang desa yang teramat cantik hingga ribuan jejaka rela patah hati demi mendapatkan cintanya. Dalam hal cinta, dia adalah seorang gadis yang tertindas karena dijual oleh Sastrotomo, ayahnya sendiri pada seorang pembesar dari Belanda bernama Herbert Mellema. Pria Belanda inilah yang memperkosa Sanikem hingga dia dijadikan Nyai. Awalnya Sanikem sungguh merasa sangat malu dan pernah berkata, “Aku sendiri pun malu pada dunia. [...] Semua bujang kemudian aku suruh pergi. Semua pekerjaan rumah aku lakukan sendiri. Tak boleh ada saksi terhadap kehidupanku sebagai nyai. Tak boleh ada berita tentang diriku: seorang wanita hina-dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri ini”. Nama Sanikem berubah menjadi Ontosoroh karena “gelarnya” yaitu Nyai penguasa Boerderij Buitenzorg. Orang tidak bisa memanggil Buitenzorg, jadi mereka menggantinya dengan sebutan Ontosoroh.
Sesungguhnya tujuan licik Sastrotomo menjual Sanikem adalah karena Sastrotomo ingin jabatan yang lebih tinggi dan dianggap terpandang oleh orang-orang kampung.  Perbuatan ayahnya ini yang membuat Sanikem marah, benci, dendam, dan keras hati terhadap segala sesuatu yang menyangkut harga diri. Menurut tokoh lain bernama Dr. Martinet, kekerashatian Nyai Ontosoroh terbentuk ketika dia masih muda. Analisisnya mengatakan,
“......wanita luar biasa itu, setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendedam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai seorang wanita pun sudah suatu keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang menjadi  penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: Sukses dalam segala usahanya yang membikin dia menjadi seorang pribadi yang kuat, dan berani...” (h.184).
Dijual pada Helbert Melema, nampaknya tidak membuat Ontosoroh  berpasrah begitu saja. Pada awal menjadi Nyai, dia banyak belajar mengenai bahasa Melayu, kebersihan, menyusun tempat tidur, menata rumah, dan masak dengan cara Eropa. Setelah keterampilanya terasah, Ontosoroh memperdalam ilmunya dengan membaca apa saja bacaan dari Belanda. Hal tersebut merupakan tugas wajib yang diberikan oleh suaminya untuk mendalami bahasa Belanda. Pelajaran terakhir adalah mengelola perusahaan milik Mellema. Awalnya Nyai Ontosoroh hanya mengelola sedikit, namun lama-kelamaan dialah yang mengelola dan memajukan seluruh perusahaan Mellema. Inilah hasil ketekunan belajar sang nyai.“Nyai seorang murid yang baik, dan mempunyai kemampuan berkembang sendiri setelah mendapatkan modal pengertian dari tuannya,” (h.120).
Nyai Ontosoroh tidak mau terjebak dalam zona aman. Sejak dia menjadi nyai, Ontosoroh selalu was-was dan berjaga-jaga apabila suatu saat suaminya meninggalkannya. Mengenai suaminya, suatu ketika ia pernah berkata, “Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak pernah kukenal, setiap saat bisa pulang ke Nederland, meninggalkan aku dan melupakan segala sesuatu di Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada kemungkinan itu,” (h.92).
Menjadi seorang Nyai bagi Ontosoroh teramat menyakitkan dan penuh penderitaan, khususnya melukai harga dirinya yang telah tercabik-cabik. Memang benar pada awalnya Nayi Ontosoroh merasakan kebahagiaan karena dicintai oleh Mellema, namun perlu digarisbawahi bahwa Mellema bukanlah lelaki yang dicintainya. Kedatangan Maurits, putra Mellema malah semakin memperparah keadaan, sehinggga membuat Mellema seolah gila dan memaksa Nyai Ontosoroh mengurus semua pekerjaanya. Nyai pernah berkata pada Annelis puterinya, “Ann, papamu sangat menyayangi aku. Namun semua itu tak dapat mengobati harga diri yang terluka,” (h.92). Ontosoroh mempertegas dengan pernyataan, “Tentu saja sangat berlebihan apabila perempuan Jawa berbicara tentang harga diri, apalagi semuda itu. Papamu yang mengajari Ann,” (h.93).
Berjuang untuk mempertahankan harga diri, inilah yang membuat nyai bikinan Pramoedya serasa istimewa daripada cerita Nyai yang ada pada zaman itu. Pramoedya berhasil menampilkan “cerita nyai” yang sama sekali baru: cerita nyai yang sekaligus mengekspresikan kritik terhadap budaya Jawa dan terhadap kolonialisme, dan yang melambangkan ambivalensi pengalaman (pasca) kolonial (Bandel,2006:33). Bagian terakhir buku ini seolah klimaks harga diri Nyai Ontosoroh dipertaruhkan. Dengan tegas dia memecat pengacara terhebat yaitu Mr. Deradera dan mengajak Minke untuk melawan hukum Belanda, hukum kolonial dengan kekuatannya sendiri. Kekuatan wanita pribumi.
Dalam sebuah wawancara tentang Bumi Manusia di Majalah Tempo, 30 Agustus 1980, Pram mengatakan, “Saya hanya menghendaki bahwa orang pribumi kalau diinjek tidak mletet. Tidak gepeng. Tidak pipih kena injakan. Semakin dia ditindas semakin bangkit. Ya mungkin ada yang tidak setuju tapi itulah yang saya inginkan”.
Keadaan Nyai Ontosoroh memang tepat untuk menggambarkan kedaaan bangsa yang sedang terjajah. Hal tersebut karena nyai merupakan seorang perempuan pribumi dihadapan laki-laki penjajah yang memiliki kekuasaan, sehingga menjadi sasaran empuk untuk ditindas. Namun disisi lain, seorang nyai juga memiliki keistimewaan karena menjadi “kekasih” penjajah. Nyai memiliki akses untuk menimba ilmu pengetahuan  serta mengeruk harta benda tuannya. Pram mencoba memadukan keduanya dalam diri Nyai Ontosroh . Seorang kritikus sastra bernama Harry Aveling bahkan berani mengatakan bahwa tokoh utama Bumi Manusia adalah Nyai Ontosoroh, Minke masih belum dewasa, meski belajar terus sampai matang (2002:147). Wejangan utama sang nyai pada Minke adalah sebagai berikut, “Berbahagialah dia” kata Nyai, “yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanyua sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri,” (h.31). Wejangan yang penuh harga diri, bukan hanya diperuntukkan bagi Minke namun juga bagi seluruh pembaca.
Nyai Ontosoroh, meskipun seorang nyai namun sungguh sangat sulit sekali dinilai harga dirinya. Kegigihannya dalam memperjuangkan keadlian sungguh sangatlah tinggi, tutur kata yang dia ucapkan juga layaknya para Mevrouw Belanda pada umumnya. Percakapan antara Minke dengan Nyai Ontosoroh menyajikan kecerdasan alamiah, kekerasan hati dan dendam yang tak teratasi yang justru menjadi energi untuk maju (Kleden, 2004:145). Kehadiran Nyai Ontosoroh dalam salah satu tokoh fiksi di belantika sejarah sastra nusantara, nampaknya juga sebagai wujud mendukung tujuan fenminisme. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan laki-laki (Djajanegara, 2000:4). Bahasa yang digunakan Nyai Ontosoroh dalam dialognya dengan tokoh lain, merupakan Bahasa Indonesia yang murni, seperti beberapa nukilan percakapan nyai diatas. Usaha Pramoedya untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang relatif “murni” –dengan  sesedikit mungkin menggunakan kata asing –harus diartikan sebagai semangat nasionalisme yang tinggi (Djokosujatno, 2001:204).
Di bagian belakang sampul buku Bumi Manusia, Pram menegaskan kembali salah satu kutipan Nyai Ontosoroh yang berbunyi “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,”. Sekali lagi, ucapan sebijak ini keluar dari pemikiran seorang Nyai.Nyai yang punya harga diri tinggi.
Daftar Rujukan
Aveling, Harry. 2002. Rumah Sastra Indonesia. Magelang: Penerbit Indonesia Tera.
Bandel, Katrin.2006.  Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Djajanegara, Soenarjati. 2003. Kritik Sastra sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Toer, Pramoedya. 2005. Bumi Manusia (cetakan 10). Jakarta: Lentera Dipantara.
Djokosujanto, A. 2001.  Merentas Ranah. Dalam Ida S. Husen & R. Hidayat (Eds.), Perihal Bahasa dalam Kartologi Bumi Manusia (hlmn. 189-204). Jogjakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar