Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sanie, Mengapa Harus “Ma Yan” di China? Di Indonesia Banyak Ma Yan – Ma Yan Lainnya



Sanie, Mengapa Harus “Ma Yan” di China?
Di Indonesia  Banyak Ma Yan – Ma Yan Lainnya
Oleh: Aprilia Tri Subekti

Sastra, bila kita membicarakan sastra tidak akan pernah ada habisnya. Penuh gejolak, ironi, kebanggaan, dan dipenuhi dengan banyak rasa terhadap suatu karya sastra. Tidak hanya itu, sebuah karya sastra juga bisa menjadi sebuah alat refleksi bagi penikmatnya. Tapi saat ini, sastra sebagai simbol realita kehidupan manusia lebih menarik untuk diperbincangkan.
Beralih dari karya sastra, saat ini sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang dapat dikatakan mahal namun banyak orang yang ingin mendapatkannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini pendidikan yang tinggi dan layak merupakan salah satu jalan untuk memiliki sebuah kehidupan yang tentunya juga layak. Semangat untuk meraih pendidikan yang tinggi dan layak inilah yang membuat banyak orang mampu melalui jalan terjal di depannya.Jadi, banyak orang akan melakukan apapun untuk meraih pendidikan setinggi dan selayak mungkin.  
Ditengah perjuangan mendapatkan pendidikan yang tinggi, bagaimana bila kita harus berhenti berjuang karena kita seorang perempuan? Dan bagaimana bila saat itu, barang paling berharga untuk kita diberikan pada orang lain oleh orang yang paling kita percaya? Ibu misalnya. Nah, itulah yang terjadi pada Ma Yan.
Mengapa Ma Yan? Jawabannya, karena novel ini merupakan novel laris pada tahun 2009. Novel ini juga banyak menggambarkan kehidupan yang tidak asing untuk kita. Dan satu lagi, novel ini tidak berlatar asli Indonesia karena novel ini merupakan gubahan (novelisasi) dari sebuah buku yang berbentuk pocket book  berjudul The Diary of Ma Yan, yang juga banyak menjadi inspirasi.
          Sedikit tentang penulis, Susan Ismiati lebih dikenal dengan nama Sanie B. Kuncoro ialah alumnus Fisip Universitas Diponegoro Semarang pada 1987. Mulai aktif menulis fiksi sejak 1981 dan telah memenangi banyak lomba menulis di majalah Hai, Gadis, Anita, Femina, dan tabloid Nyata. Saat ini ia aktif mengelola koperasi UKM di Solo sembari terus menggeluti dunia menulis. Tak banyak sumber yang bisa didapatkan untuk mengetahui siapa Sanie ini, namun ada satu hal tentang Sanie yang berkaitan dengan novel Ma Yan ini. Novel ini merupakan novel pertama Sanie diluar kebiasaannya menulis kisah – kisah yang romantic.
Secara garis besar, isi novel ini seperti ini. Kebijakan “lompatan jauh ke depan” yang digulirkan empat dekade silam (1958-1962) oleh Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina, ternyata kini (2000-2002) berdampak sangat buruk: merusak alam, menimbulkan penggurunan di beberapa wilayah agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang bermukim di wilayah tersebut dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat sulit diperoleh. Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil pertanian.
Desa Zhangjiashu termasuk wilayah agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan jauh ke depan”. Di desa yang mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga” itulah Ma Yan beserta ayah (Ma Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting) tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain di desa itu, mereka adalah keluarga muslim yang relatif taat, setidaknya secara formal-ritual.
Meskipun desa itu adalah desa Islam, tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga perempuan jauh di bawah harga laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak mereka akan menikah, melahirkan, menjadi ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur. Lebih menguntungkan memberi pendidikan tinggi bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Selain tidak mendapat prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut untuk selalu patuh tanpa syarat terhadap segala perintah orang tua, juga dalam soal perjodohan.
Ma Yan kecil yang cerdas dan haus pendidikan awalnya tidak memahami nilai tradisional yang dianut masyarakat desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma Yichao tiap minggu ia pergi-pulang berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang terletak di kota Yuwang, 20 kilometer jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak sejauh itu ditempuh selama empat sampai lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang adalah jalur yang berbahaya, lebih-lebih bagi anak perempuan sekecil Ma Yan. Jalur berdebu itu diapit jurang-jurang, penuh dengan dakian dan turunan yang curam serta celah lebar di antara karang terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan tidak selesai sampai di sini. Masih mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular yang kelaparan dan para pencuri. Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya, Ma Yan bisa menumpang traktor. Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus membayar ongkos sebesar satu yuan, jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma Yan.
Semangat belajar Ma Yan di sekolah-asramanya pun tinggi. Untuk mendapatkan sebuah pena yang diinginkannya Ma Yan harus makan nasi tanpa lauk selama tiga minggu. Pena itulah yang ia gu nakan untuk menulis catatan – catatan apa yang ia alami. Ia ingin meraih prestasi sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah, lebih sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia meraih peringkat kedua.
Bai Juhua merasa bangga dan gembira dengan prestasi anak perempuannya tersebut. Akan tetapi, kegembiraannya ini tak berlangsung lama. Hujan yang tidak turun sepanjang lima tahun belakangan ini membuat ekonomi keluarga semakin seret. Sementara itu, suaminya, Ma Dongji, yang juga bekerja di kota sebagai kuli proyek konstruksi, sering tidak menerima gaji karena gajinya dikorupsi oleh manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus memangkas pengeluaran rumah tangga, termasuk biaya sekolah. Artinya, salah seorang anaknya terpaksa berhenti sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah yang layak diberi prioritas mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus berhenti sekolah. Dengan sedih dan sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan maksudnya tersebut kepada Ma Yan.
Ma Yan tidak bisa menerima keputusan itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui ucapan dan sacarik surat, ia memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa anak perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa dalam bidang pendidikan anak laki-laki yang harus didahulukan.
Walaupun Bai Juhua berusaha melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan supaya rela menerima keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua sebetulnya membenarkan dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih baik ketimbang nasib Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi patriarkat. Dulu, ketika masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang tuanya sebelum ia bisa membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan Ma Dongji, laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa patuh, kepatuhan yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah menjadikannya sebagai perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.
Surat protes Ma Yan dan bisikan hati kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai Juhua bahwa penderitaan dan kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma Yan harus terus sekolah, sekolah setinggi-tingginya.
Beruntung, Bai Juhua menemukan jalan keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma Yan, tanpa mempedulikan perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti rombongan petani ilegal pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di Cina bagian barat daya, di perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam, 400 kilometer jauhnya dari desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai, dan menginap berhari-hari lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat menutupi biaya sekolah Ma Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa membayangi. Karena itu, mesti segera dicari jalan keluar lain yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan.
Adalah kebetulan, di tengah kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi tahunya bahwa beberapa orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh desa Zhangjiangshu. Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan sensus. Bai Juhua kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar? “Mungkin,” jawab si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas pergi ke rumah Imam Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan bahwa Ma Yan, anak perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia berharap, mereka dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.
Sebelum sampai di rumah Imam Hu, Bai Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu dinaiki oleh orang-orang asing yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai Juhua sontak menghadang mobil itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia mengajak mereka mampir ke rumahnya. Karena perbedaan bahasa, rombongan orang asing yang berasal dari Perancis itu tidak segera bisa memahami kata-kata Bai Juhua. Akhirnya, mereka mengerti maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai Juhua.
Setiba di rumahnya, tanpa memberi tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang tak di rumah, kepada mereka Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat protes Ma Yan yang tentu saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin menulis catatan harian. Di dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari dan hal-hal yang menurutnya penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan ujiannya, kemiskinan keluarganya, serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Kendati baru pertama kali bertemu dengan, dan tidak betul-betul mengenal, orang-orang asing itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca buku catatan harian dan surat protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti benar bahasa Cina. Mereka pasti akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.
Ma Yan lagi-lagi memprotes ibunya ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan buku catatan harian dan surat protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua dengan sabar meyakinkan Ma Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan sia-sia. Kali ini, Ma Yan melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak lagi menyalahkan tindakan ibunya.
Dari gambaran isi novel Ma Yan kita akan mengupasnya realita sosial yang ada satu per satu, sebagai berikut:
1.      Kebijakan pemerintah untuk membuat lompatan jauh yang berdampak buruk.  
“..... Dalam era kegilaan yang disebutnya sebagai “lompatan jauh ke depan” periode 1958-1962, diubahnya beberapa desa di China menjadi wilayah tungku peleburan besar demi meningkatkan produksi baja. ........ Walhasil wilayah tersebut mulai mengalami penggurunan dan hingga kini empat dekade kemudian, dampak perusakan itu masih terasa.......” (hal.1)
Dalam novel ini, akibat dari kebijakan itu rakyat harus menanggung akibatnya karena kebijakan itu telah membuat alam menjadi rusak dimana alam itu merupakan sumber kehidupan rakyatnya. Bagaimana di Indonesia? Tak jauh beda, yang paling besar dan nyata ialah freeport di Papua. Banyak penelitian dilakukan mengenai dampak freeport ini (salah satunya dimuat  pada kompasiana.com edisi 22 november 2012).
Bertahun – tahun dan saat ini pun belum selesai, freeport tidak hanya merugikan secara finansial karena pembagian hasil yang tidak rata namun juga memberikan dampak kerusakan alam yang sudah nyata. Penambangan emas yang dilakukan secara besar – besaran dan tanpa henti telah membuat kubangan besar yang struktur tanahnya tidak lengkap lagi. Ini, membuat lahan bekas galian menjadi tidak subur sehingga tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam. Tidak hanya freeport, di daerah kalimantan yang merupakan wilayah tambang batu bara terbesar, eksploitasi oleh pihak swasta juga nyata terjadi. Bila hal ini terus terjadi, negara Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris akan kehilangan lahannya untuk bercocok tanam.

2.      Tradisi patriarkit (bias gender).
Para perempuan juga tidak perlu menjadi terlalu pandai, dalam arti tidak perlu bersekolah terlalu lama ......... Para perempuan hanya perlu mendapatkan kepandaian apa adanya. Lalu segala persoalan akan terselesaikan dengan cara menikah.....” (hal.20)
Di sebagian wilayah di Indonesia tradisi ini masih cukup mengakar, dan menjadi rahasia umum pula. Dimana anak perempuan tidak usah bersekolah tinggi, selesai SMP bahkan sekolah dasar banyak dari mereka diharuskan menikah untuk mengurangi beban orang tuanya. Bila tidak mereka akan diminta merantau untuk bekerja menjadi asisten rumah tangga, dan lebih parahnya banyak yang menjadi TKW secara ilegal.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengutip data Kementerian Agama pada 2009, bahkan menyatakan bahwa sekitar 34,4 persen dari 2,5 juta perkawinan atau sekira 600 ribu pasangan yang menikah adalah mereka yang menikah di usia dini. (hukumonline.com)

3.      .......Dari rumah menuju sekolahku berjarak dua puluh kilometer. Jalur perjalanan itu berupa ladang – ladang pedalaman yang berbukit, trayek berbahaya yang berdekatan dengan jurang – jurang dakian dan turunan yang curam serta celah lebar di antara karang terjal. Melalui rute ini memerlukan waktu tempuh empat jam untuk pejalan cepat dan lima jam untuk ayunan kaki berkecepatan ala kadarnya.........” (hal. 40)
Di wilayah tapal batas di negeri sekaya ini, hal ini sudah menjadi santapan sehari – hari anak – anak yang ingin meraih pendidikan. Mereka harus berangkat sebelum subuh lalu pulang disaat maghrib sudah menggema. Tidak hanya diwilayah tapal batas, di daerah sekitar ibukota banyak anak yang harus menuju sekolah dengan melewati banyak rintangan. Seperti kejadian rusaknya sebuah jembatan utama penghubung dua desa yang mengakibatkan anak – anak seberang desa harus bergelayutan layaknya batman untuk sampai kesekolahnya, dengan resiko nyawa mereka menjadi taruhannya. Ini menjadi hal memprihatinkan namun seperti dianggap biasa, karena tidak terjadi banyak perubahan meskipun banyak acara tv yang menayangkan kejadian nyata tentang beratnya anak –anak dalam meraih pendidikan yang layak.

4.      Untuk mendapatkan sebuah pena yang diinginkannya Ma Yan harus makan nasi tanpa lauk selama berminggu - minggu.
“....... Untuk pena itu aku memerlukan dua yua. Artinya, itu sama dengan uang saku selama dua minggu......” (hal. 65)
Dalam realita, banyak anak – anak yang harus membanting tulang demi melanjutkan hidup serta membeli alat tulis. Mereka ada yang menguras tenaga di pinggir jalan, ada yang menjadi buruh pabrik, dan banyak lagi. Terkadang mereka juga menghalalkan segala cara daripada mendapatkannya dengan cara halal. Bisa juga dilihat ketika Jokowi membagi – bagikan alat tulis secara gratis banyak anak dan orang tua yang saling berebut, ironinya itu terjadi di kawasan ibukota. Lalu, bagaimana dengan mereka yang di tapal batas?

5.      Ketika Ma Yan mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak lantas surut. Ia terus berpikir positif.
“...... Aku gagal lagi. .... Segenap usahaku, kerja kerasku dalam belajar selama ini, ternyata tidak memberikan nilai yang cukup memadai untuk diterima di sekolah itu.... Ibu, jangan menyerah. Bertahanlah, dan akan kujadikan ketangguhanmu sebagai kekuatanku..... ” (hal. 117 – 119)
Akhir – akhir ini banyak anak yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena mereka gagal ujian, terutama ujian akhir nasional. Disisi lain, ada juga yang gagal dan memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ada pula yang terus berpikir positif sehingga mereka bangkit dan menjadi lebih baik. Tetapi itulah realitanya.

6.       Ketika orangtua Ma Yan tidak mampu lagi membiayai pendidikannya dan hanya mampu membiayai adiknya, sang ibu memintanya untuk berhenti. Namun, Ma Yan menolak itu, ia tetap ingin sekolah. Dalam hatinya, sang ibu membenarkan protes anaknya. Ma Yan juga menulis sebupuk surat untuk ibunya. Karena surat itu, ibunya berubah pikiran. Ma Yan tetap sekolah, sedangkan sang ibu pergi merantau untuk panen fa cai dikala sakit.
“......... Tak ada cukup uang untuk biaya sekolah bagi dua anak. Maka Ma Yan harus berhenti. Sedangkan, untuk sementara adiknya, Ma Yichao, bisa tetap sekolah entah sampai kapan.....” (hal. 131) 
Di dalam realita, banyak anak yang tidak mampu memrotes keputusan yang telah dibuat orang tua. Bila ada, mereka harus berjuang sendiri untuk memerolehnya. Namun, ada pula orang tua yang harus pergi merantau bertahun – tahun demi pendidikan dan kehidupan anaknya yang lebih layak dari kehidupannya.

Dalam novel terlihat jelas ide pokok dari setiap sisi yang diceritakan berawal dari realita sosial yang dialami oleh Ma Yan sendiri. Realita sosial yang ada mendominasi jalan cerita yang dituliskan oleh Sanie. Dari realita yang tersurat itu, muncullah pertanyaan mengapa harus China? Bila realita sosial yang ada di lingkungannya, ya utamanya di Indonesia begitu kuat untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra layaknya “Laskar Pelangi karya Andrea Hirata”.  Mengapa Sanie harus menggubah buku berbentuk pocket book berjudul “The Diary of Ma Yan” yang memiliki tebal 372 halaman menjadi 225 halaman?
Mengapa Sanie tidak mengangkat realita sosial yang benar – benar terjadi di lingkungannya? Ini menjadi sebuah tanda tanya besar, bila memang “The Diary of Ma Yan” bisa menjadi sebuah buku yang menginspirasi banyak orang di dunia, tentu bila Sanie menulis dengan latar belakang Indonesia sendiri bisa juga menginspirasi banyak orang di dunia. Karena tidak dipungkiri saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi sorotan dunia, bila Sanie mengangkat apa yang ada di Indonesia dan mampu mengispirasi banyak orang tentu ini akan lebih membanggakan karena karya yang diangkatnya benar – benar rasa Indonesia.
Novel ini merupakan novel yang bagus untuk dinikmati. Itu dikarenakan pembaca tidak akan merasa asing dengan jalan cerita ataupun latar  yang disuguhkan, pembaca dapat dengan mudah menyatu dengan novel ini.  Novel ini dapat menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya.
Dalam novel ini, pembaca juga akan merasakan sensasi yang dapat membingungkannya di tengah cerita namun akan menemukan jawabannya di akhir cerita. Ini dikarenakan gaya penulisan Sanie yang memberikan alur mundur. Dalam novel ini juga terdapat beberapa potongan catatan harian Ma Yan. Bila dilihat dari segi pelukisan tokohnya, tokoh yang digambarkan jelas. Memang memandang novel ini dari segi intrinsiknya merupakan novel yang bagus dan mudah untuk dinikmati, bila dibandingkan harus membaca buku aslinya yang berbentuk kumpulan diary dari Ma Yan sendiri.
Ya, akan tetapi tetap lebih membanggakan bila novel yang bisa dikatakan best seller ini memiliki latar Indonesia karena dalam realitanya apa yang ada di China tidak berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia. Alasan Sanie memilih untuk katakan saja “menceritakan kembali” “The Diary of Ma Yan” ialah di balik negeri China yang maju ternyata masih ada anak yang harus berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan dan kemungkinan utama ialah catatan peristiwa yang dialami dalam hidup Ma Yan sejak ia memiliki pena.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar