Sanie,
Mengapa Harus “Ma Yan” di China?
Di
Indonesia Banyak Ma Yan – Ma Yan Lainnya
Oleh: Aprilia Tri Subekti
Sastra, bila kita
membicarakan sastra tidak akan pernah ada habisnya. Penuh gejolak, ironi,
kebanggaan, dan dipenuhi dengan banyak rasa terhadap suatu karya sastra. Tidak
hanya itu, sebuah karya sastra juga bisa menjadi sebuah alat refleksi bagi
penikmatnya. Tapi saat ini, sastra sebagai simbol realita kehidupan manusia
lebih menarik untuk diperbincangkan.
Beralih dari karya
sastra, saat ini sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan merupakan sesuatu
yang dapat dikatakan mahal namun banyak orang yang ingin mendapatkannya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa saat ini pendidikan yang tinggi dan layak merupakan
salah satu jalan untuk memiliki sebuah kehidupan yang tentunya juga layak. Semangat
untuk meraih pendidikan yang tinggi dan layak inilah yang membuat banyak orang
mampu melalui jalan terjal di depannya.Jadi, banyak orang akan melakukan apapun
untuk meraih pendidikan setinggi dan selayak mungkin.
Ditengah perjuangan
mendapatkan pendidikan yang tinggi, bagaimana bila kita harus berhenti berjuang
karena kita seorang perempuan? Dan bagaimana bila saat itu, barang paling
berharga untuk kita diberikan pada orang lain oleh orang yang paling kita
percaya? Ibu misalnya. Nah, itulah yang terjadi pada Ma Yan.
Sedikit tentang penulis, Susan Ismiati lebih dikenal dengan
nama Sanie B. Kuncoro ialah alumnus Fisip Universitas Diponegoro Semarang pada
1987. Mulai aktif menulis fiksi sejak 1981 dan telah memenangi banyak lomba
menulis di majalah Hai, Gadis, Anita,
Femina, dan tabloid Nyata. Saat
ini ia aktif mengelola koperasi UKM di Solo sembari terus menggeluti dunia
menulis. Tak banyak sumber yang bisa didapatkan untuk mengetahui siapa Sanie
ini, namun ada satu hal tentang Sanie yang berkaitan dengan novel Ma Yan ini.
Novel ini merupakan novel pertama Sanie diluar kebiasaannya menulis kisah –
kisah yang romantic.
Secara garis besar, isi
novel ini seperti ini. Kebijakan “lompatan jauh ke depan” yang digulirkan
empat dekade silam (1958-1962) oleh Mao Zedong, sang pemimpin besar Cina,
ternyata kini (2000-2002) berdampak sangat buruk: merusak alam, menimbulkan
penggurunan di beberapa wilayah agraris, dan akhirnya menjerat para petani yang
bermukim di wilayah tersebut dalam kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Mereka hampir-hampir tak bisa bercocok tanam lagi karena air sangat
sulit diperoleh. Padahal, penghidupan mereka terutama bersumber dari hasil
pertanian.
Desa Zhangjiashu termasuk wilayah
agraris yang menjadi korban kebijakan “lompatan jauh ke depan”. Di desa yang
mendapat sebutan sebagai “dataran yang dahaga” itulah Ma Yan beserta ayah (Ma
Dongji), ibu (Bai Juhua), dan dua adik laki-lakinya (Ma Yichao dan Ma Yiting)
tinggal. Seperti keluarga-keluarga lain di desa itu, mereka adalah keluarga
muslim yang relatif taat, setidaknya secara formal-ritual.
Meskipun desa itu adalah desa Islam,
tetapi tradisi patriarkat masih mengakar. Harga perempuan jauh di bawah harga
laki-laki. Perempuan tidak perlu diberi pendidikan tinggi-tinggi, toh kelak mereka akan menikah,
melahirkan, menjadi ibu rumah tangga, dan kembali ke dapur. Lebih menguntungkan
memberi pendidikan tinggi bagi anak laki-laki daripada anak perempuan. Selain
tidak mendapat prioritas pendidikan, anak perempuan dituntut untuk selalu patuh
tanpa syarat terhadap segala perintah orang tua, juga dalam soal perjodohan.
Ma Yan kecil yang cerdas dan haus
pendidikan awalnya tidak memahami nilai tradisional yang dianut masyarakat
desanya itu. Dengan bersemangat, bersama Ma Yichao tiap minggu ia pergi-pulang
berjalan kaki ke sekolah-asramanya yang terletak di kota Yuwang, 20 kilometer
jaraknya dari desa Zhangjiashu. Jarak sejauh itu ditempuh selama empat sampai
lima jam. Jalur Zhangjiashu-Yuwang adalah jalur yang berbahaya, lebih-lebih
bagi anak perempuan sekecil Ma Yan. Jalur berdebu itu diapit jurang-jurang,
penuh dengan dakian dan turunan yang curam serta celah lebar di antara karang
terjal. Tetapi bahaya dalam perjalanan tidak selesai sampai di sini. Masih
mengintai bahaya lain: hadangan ular-ular yang kelaparan dan para pencuri.
Sebenarnya, untuk sampai ke sekolah-asramanya, Ma Yan bisa menumpang traktor.
Tetapi menumpang traktor tidak gratis, harus membayar ongkos sebesar satu yuan,
jumlah yang sangat besar bagi keluarga Ma Yan.
Semangat belajar Ma Yan di
sekolah-asramanya pun tinggi. Untuk mendapatkan sebuah pena yang diinginkannya
Ma Yan harus makan nasi tanpa lauk selama tiga minggu. Pena itulah yang ia gu
nakan untuk menulis catatan – catatan apa yang ia alami. Ia ingin meraih
prestasi sesempurna-sempurnanya demi menggapai masa depan yang lebih cerah,
lebih sejahtera, sehingga bisa membahagiakan ibu-ayahnya. Bahkan, ketika Ma Yan
mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan kegagalan
dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma Yan tidak
lantas surut. Ia terus berpikir positif. Pada ujian sekolah berikutnya, ia
meraih peringkat kedua.
Bai Juhua merasa bangga dan gembira
dengan prestasi anak perempuannya tersebut. Akan tetapi, kegembiraannya ini tak
berlangsung lama. Hujan yang tidak turun sepanjang lima tahun belakangan ini
membuat ekonomi keluarga semakin seret. Sementara itu, suaminya, Ma Dongji,
yang juga bekerja di kota sebagai kuli proyek konstruksi, sering tidak menerima
gaji karena gajinya dikorupsi oleh manajer proyek. Solusinya, Bai Juhua harus
memangkas pengeluaran rumah tangga, termasuk biaya sekolah. Artinya, salah
seorang anaknya terpaksa berhenti sekolah. Menurut tradisi, anak laki-lakilah
yang layak diberi prioritas mendapat pendidikan tinggi, dan Ma Yan harus
berhenti sekolah. Dengan sedih dan sesal, Bai Juhua menyampaikan keputusan dan
maksudnya tersebut kepada Ma Yan.
Ma Yan tidak bisa menerima keputusan
itu. Ia berkeras ingin terus sekolah. Melalui ucapan dan sacarik surat, ia
memprotes dan menggugat ibunya, tradisinya, kenapa anak perempuan tidak boleh
mengenyam pendidikan setinggi-tingginya; kenapa dalam bidang pendidikan anak
laki-laki yang harus didahulukan.
Walaupun Bai Juhua berusaha
melunakkan kekerasan hati anaknya dan mendorong Ma Yan supaya rela menerima
keputusan diskriminatif tersebut, hati kecil Bai Juhua sebetulnya membenarkan
dan mendukung protes Ma Yan. Nasib Bai Juhua tidak lebih baik ketimbang nasib
Ma Yan. Bai Juhua juga korban diskriminasi tradisi patriarkat. Dulu, ketika
masih kecil, ia diberhentikan dari sekolah oleh orang tuanya sebelum ia bisa
membaca dan menulis. Ketika remaja, ia dijodohkan dengan Ma Dongji, laki-laki
yang sama sekali tidak dikenalnya. Saat itu, ia hanya bisa patuh, kepatuhan
yang kini mesti dibayar mahal. Sebab, kepatuhan itu telah menjadikannya sebagai
perempuan yang kurang berpendidikan dan melarat.
Surat protes Ma Yan dan bisikan hati
kecilnya menyalakan keyakinan dalam diri Bai Juhua bahwa penderitaan dan
kemiskinannya jangan sampai ia wariskan kepada Ma Yan. Hidup Ma Yan wajib lebih
baik daripada hidupnya. Bagaimana pun caranya, Ma Yan harus terus sekolah,
sekolah setinggi-tingginya.
Beruntung, Bai Juhua menemukan jalan
keluar sementara. Untuk membayar biaya sekolah Ma Yan, tanpa mempedulikan
perutnya yang selalu sakit, Bai Juhua pergi mengikuti rombongan petani ilegal
pemanen Fa Cai, rumput sayuran yang tumbuh subur di Cina bagian barat daya, di
perbatasan antara Ning Xia dengan Mongolia Dalam, 400 kilometer jauhnya dari
desa Zhangjiashu. Di tempat itu ia memanen Fa Cai, dan menginap berhari-hari
lamanya. Uang hasil panenan itu untuk sementara dapat menutupi biaya sekolah Ma
Yan. Tetapi, ancaman kesulitan ekonomi senantiasa membayangi. Karena itu, mesti
segera dicari jalan keluar lain yang lebih menjamin pendidikan Ma Yan.
Adalah kebetulan, di tengah
kebuntuan itu, suatu ketika tetangga Bai Juhua memberi tahunya bahwa beberapa
orang asing sedang menginap di rumah Imam Hu, sesepuh desa Zhangjiangshu.
Menurut si tetangga, mereka mungkin sedang mengadakan sensus. Bai Juhua
kemudian bertanya: apa mereka juga mencari anak-anak pintar? “Mungkin,” jawab
si tetangga. Didorong naluri keibuannya, Bai Juhua bergegas pergi ke rumah Imam
Hu, bermaksud menemui orang-orang asing itu, mengabarkan bahwa Ma Yan, anak
perempuannya, adalah anak pintar yang sedang mereka cari. Ia berharap, mereka
dapat menolong Ma Yan supaya dapat terus melanjutkan sekolah.
Sebelum sampai di rumah Imam Hu, Bai
Juhua melihat mobil melaju ke arahnya. Mobil itu dinaiki oleh orang-orang asing
yang baru saja meninggalkan rumah Imam Hu. Bai Juhua sontak menghadang mobil
itu agar berhenti. Mobil pun berhenti. Ia mengajak mereka mampir ke rumahnya.
Karena perbedaan bahasa, rombongan orang asing yang berasal dari Perancis itu
tidak segera bisa memahami kata-kata Bai Juhua. Akhirnya, mereka mengerti
maksud Bai Juhua. Bai Juhua dinaikkan ke mobil. Mereka pun mampir ke rumah Bai
Juhua.
Setiba di rumahnya, tanpa memberi
tahu Ma Yan terlebih dahulu—saat itu Ma Yan sedang tak di rumah, kepada mereka
Bai Juhua menyerahkan buku catatan harian dan surat protes Ma Yan yang tentu
saja ditulis dalam bahasa Cina. Ma Yan memang rajin menulis catatan harian. Di
dalamnya, Ma Yan mengabadikan peristiwa sehari-hari dan hal-hal yang menurutnya
penting, termasuk kegagalan dan keberhasilan ujiannya, kemiskinan keluarganya,
serta cita-citanya untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Kendati baru
pertama kali bertemu dengan, dan tidak betul-betul mengenal, orang-orang asing
itu, Bai Juhua yakin, mereka adalah orang baik. Mereka pasti akan berusaha membaca
buku catatan harian dan surat protes Ma Yan walaupun mereka tidak mengerti
benar bahasa Cina. Mereka pasti akan membantu Ma Yan mewujudkan impiannya.
Ma Yan lagi-lagi memprotes ibunya
ketika ia tahu bahwa Bai Juhua telah memberikan buku catatan harian dan surat
protesnya kepada orang-orang asing itu. Bai Juhua dengan sabar meyakinkan Ma
Yan bahwa tindakannya tidak salah dan tidak akan sia-sia. Kali ini, Ma Yan
melunak, tidak menyangkal keyakinan ibunya, tidak lagi menyalahkan tindakan
ibunya.
Dari gambaran isi novel Ma Yan kita akan
mengupasnya realita sosial yang ada satu per satu, sebagai berikut:
1.
Kebijakan pemerintah untuk membuat lompatan jauh yang berdampak
buruk.
“..... Dalam era
kegilaan yang disebutnya sebagai “lompatan jauh ke depan” periode 1958-1962,
diubahnya beberapa desa di China menjadi wilayah tungku peleburan besar demi
meningkatkan produksi baja. ........ Walhasil wilayah tersebut mulai mengalami
penggurunan dan hingga kini empat dekade kemudian, dampak perusakan itu masih
terasa.......” (hal.1)
Dalam novel ini, akibat dari
kebijakan itu rakyat harus menanggung akibatnya karena kebijakan itu telah
membuat alam menjadi rusak dimana alam itu merupakan sumber kehidupan
rakyatnya. Bagaimana di Indonesia? Tak jauh beda, yang paling besar dan nyata
ialah freeport di Papua. Banyak penelitian dilakukan mengenai dampak freeport
ini (salah satunya dimuat pada
kompasiana.com edisi 22 november 2012).
Bertahun – tahun dan saat ini pun
belum selesai, freeport tidak hanya merugikan secara finansial karena pembagian
hasil yang tidak rata namun juga memberikan dampak kerusakan alam yang sudah
nyata. Penambangan emas yang dilakukan secara besar – besaran dan tanpa henti
telah membuat kubangan besar yang struktur tanahnya tidak lengkap lagi. Ini,
membuat lahan bekas galian menjadi tidak subur sehingga tidak dapat digunakan
untuk bercocok tanam. Tidak hanya freeport, di daerah kalimantan yang merupakan
wilayah tambang batu bara terbesar, eksploitasi oleh pihak swasta juga nyata
terjadi. Bila hal ini terus terjadi, negara Indonesia yang dikenal sebagai
negara agraris akan kehilangan lahannya untuk bercocok tanam.
2. Tradisi
patriarkit (bias gender).
“Para perempuan juga
tidak perlu menjadi terlalu pandai, dalam arti tidak perlu bersekolah terlalu
lama ......... Para perempuan hanya perlu mendapatkan kepandaian apa adanya.
Lalu segala persoalan akan terselesaikan dengan cara menikah.....” (hal.20)
Di sebagian wilayah di Indonesia
tradisi ini masih cukup mengakar, dan menjadi rahasia umum pula. Dimana anak
perempuan tidak usah bersekolah tinggi, selesai SMP bahkan sekolah dasar banyak
dari mereka diharuskan menikah untuk mengurangi beban orang tuanya. Bila tidak
mereka akan diminta merantau untuk bekerja menjadi asisten rumah tangga, dan
lebih parahnya banyak yang menjadi TKW secara ilegal.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengutip data Kementerian Agama pada 2009,
bahkan menyatakan bahwa sekitar 34,4 persen dari 2,5 juta perkawinan atau
sekira 600 ribu pasangan yang menikah adalah mereka yang menikah di usia dini.
(hukumonline.com)
3. “.......Dari rumah menuju sekolahku berjarak
dua puluh kilometer. Jalur perjalanan itu berupa ladang – ladang pedalaman yang
berbukit, trayek berbahaya yang berdekatan dengan jurang – jurang dakian dan
turunan yang curam serta celah lebar di antara karang terjal. Melalui rute ini
memerlukan waktu tempuh empat jam untuk pejalan cepat dan lima jam untuk ayunan
kaki berkecepatan ala kadarnya.........” (hal. 40)
Di wilayah tapal batas di negeri
sekaya ini, hal ini sudah menjadi santapan sehari – hari anak – anak yang ingin
meraih pendidikan. Mereka harus berangkat sebelum subuh lalu pulang disaat
maghrib sudah menggema. Tidak hanya diwilayah tapal batas, di daerah sekitar
ibukota banyak anak yang harus menuju sekolah dengan melewati banyak rintangan.
Seperti kejadian rusaknya sebuah jembatan utama penghubung dua desa yang
mengakibatkan anak – anak seberang desa harus bergelayutan layaknya batman
untuk sampai kesekolahnya, dengan resiko nyawa mereka menjadi taruhannya. Ini
menjadi hal memprihatinkan namun seperti dianggap biasa, karena tidak terjadi
banyak perubahan meskipun banyak acara tv yang menayangkan kejadian nyata
tentang beratnya anak –anak dalam meraih pendidikan yang layak.
4. Untuk
mendapatkan sebuah pena yang diinginkannya Ma Yan harus makan nasi tanpa lauk
selama berminggu - minggu.
“....... Untuk
pena itu aku memerlukan dua yua. Artinya, itu sama dengan uang saku selama dua
minggu......” (hal. 65)
Dalam realita, banyak anak – anak
yang harus membanting tulang demi melanjutkan hidup serta membeli alat tulis.
Mereka ada yang menguras tenaga di pinggir jalan, ada yang menjadi buruh
pabrik, dan banyak lagi. Terkadang mereka juga menghalalkan segala cara
daripada mendapatkannya dengan cara halal. Bisa juga dilihat ketika Jokowi
membagi – bagikan alat tulis secara gratis banyak anak dan orang tua yang
saling berebut, ironinya itu terjadi di kawasan ibukota. Lalu, bagaimana dengan
mereka yang di tapal batas?
5. Ketika Ma
Yan mengalami dua kali kegagalan, yakni kegagalan dalam ujian sekolah dan
kegagalan dalam ujian seleksi masuk sekolah menengah putri, semangat belajar Ma
Yan tidak lantas surut. Ia terus berpikir positif.
“...... Aku
gagal lagi. .... Segenap usahaku, kerja kerasku dalam belajar selama ini,
ternyata tidak memberikan nilai yang cukup memadai untuk diterima di sekolah
itu.... Ibu, jangan menyerah. Bertahanlah, dan akan kujadikan ketangguhanmu
sebagai kekuatanku..... ” (hal. 117 – 119)
Akhir – akhir ini banyak anak yang
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena mereka gagal ujian, terutama ujian
akhir nasional. Disisi lain, ada juga yang gagal dan memutuskan untuk tidak
melanjutkan pendidikannya. Ada pula yang terus berpikir positif sehingga mereka
bangkit dan menjadi lebih baik. Tetapi itulah realitanya.
6. Ketika orangtua Ma Yan tidak mampu lagi
membiayai pendidikannya dan hanya mampu membiayai adiknya, sang ibu memintanya
untuk berhenti. Namun, Ma Yan menolak itu, ia tetap ingin sekolah. Dalam
hatinya, sang ibu membenarkan protes anaknya. Ma Yan juga menulis sebupuk surat
untuk ibunya. Karena surat itu, ibunya berubah pikiran. Ma Yan tetap sekolah,
sedangkan sang ibu pergi merantau untuk panen fa cai dikala sakit.
“......... Tak
ada cukup uang untuk biaya sekolah bagi dua anak. Maka Ma Yan harus berhenti.
Sedangkan, untuk sementara adiknya, Ma Yichao, bisa tetap sekolah entah sampai
kapan.....” (hal. 131)
Di dalam realita, banyak anak yang
tidak mampu memrotes keputusan yang telah dibuat orang tua. Bila ada, mereka
harus berjuang sendiri untuk memerolehnya. Namun, ada pula orang tua yang harus
pergi merantau bertahun – tahun demi pendidikan dan kehidupan anaknya yang
lebih layak dari kehidupannya.
Dalam novel terlihat jelas ide pokok
dari setiap sisi yang diceritakan berawal dari realita sosial yang dialami oleh
Ma Yan sendiri. Realita sosial yang ada mendominasi jalan cerita yang
dituliskan oleh Sanie. Dari realita yang tersurat itu, muncullah pertanyaan
mengapa harus China? Bila realita sosial yang ada di lingkungannya, ya utamanya
di Indonesia begitu kuat untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra layaknya
“Laskar Pelangi karya Andrea Hirata”. Mengapa
Sanie harus menggubah buku berbentuk pocket book berjudul “The Diary of Ma Yan”
yang memiliki tebal 372 halaman menjadi 225 halaman?
Mengapa Sanie tidak mengangkat realita
sosial yang benar – benar terjadi di lingkungannya? Ini menjadi sebuah tanda
tanya besar, bila memang “The Diary of Ma Yan” bisa menjadi sebuah buku yang
menginspirasi banyak orang di dunia, tentu bila Sanie menulis dengan latar
belakang Indonesia sendiri bisa juga menginspirasi banyak orang di dunia.
Karena tidak dipungkiri saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang
menjadi sorotan dunia, bila Sanie mengangkat apa yang ada di Indonesia dan
mampu mengispirasi banyak orang tentu ini akan lebih membanggakan karena karya
yang diangkatnya benar – benar rasa Indonesia.
Novel ini merupakan novel yang bagus
untuk dinikmati. Itu dikarenakan pembaca tidak akan merasa asing dengan jalan
cerita ataupun latar yang disuguhkan,
pembaca dapat dengan mudah menyatu dengan novel ini. Novel ini dapat menjadi inspirasi bagi
siapapun yang membacanya.
Dalam novel ini, pembaca juga akan
merasakan sensasi yang dapat membingungkannya di tengah cerita namun akan
menemukan jawabannya di akhir cerita. Ini dikarenakan gaya penulisan Sanie yang
memberikan alur mundur. Dalam novel ini juga terdapat beberapa potongan catatan
harian Ma Yan. Bila dilihat dari segi pelukisan tokohnya, tokoh yang
digambarkan jelas. Memang memandang novel ini dari segi intrinsiknya merupakan
novel yang bagus dan mudah untuk dinikmati, bila dibandingkan harus membaca
buku aslinya yang berbentuk kumpulan diary dari Ma Yan sendiri.
Ya, akan tetapi tetap lebih membanggakan bila novel
yang bisa dikatakan best seller ini
memiliki latar Indonesia karena dalam realitanya apa yang ada di China tidak
berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia. Alasan Sanie memilih untuk katakan
saja “menceritakan kembali” “The Diary of Ma Yan” ialah di balik negeri China
yang maju ternyata masih ada anak yang harus berjuang keras untuk mendapatkan
pendidikan dan kemungkinan utama ialah catatan peristiwa yang dialami dalam
hidup Ma Yan sejak ia memiliki pena.
0 komentar:
Posting Komentar