Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

RELIGIUSITAS PUISI “BAHASA KAMBING HITAM” KARYA EMHA AINUN NAJIB



RELIGIUSITAS PUISI “BAHASA KAMBING HITAM” KARYA EMHA AINUN NAJIB
Oleh: Aprilia Tri Subekti

Sebelum mengulas isi dari puisi Bahasa Kambing Hitam, lebih baik kita berkenalan dulu dengan siapa itu Emha Ainun Najib. Ya, Emha Ainun Najib lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 27 Mei 1953. Putra keempat dari 15 bersaudara, dari suami istri H.A Lathif dan Halimah. Cak Nun memiliki istri bernama Novia Kolopaking yang  merupakan seorang aktris, dan memiliki 5 orang anak, yakni: Sabrang Mowo Damar Panuluh (lebih dikenal dengan Noe Letto), Ainayya Al-Fatihah (alm), Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, serta Anayallah Rampak Mayesha.
            Pendidikan formalnya, dapat dikatakan acak – acakan: setelah tamat SD di desanya ia melanjutkan studi di Pondok Modern Gontor. Pada tahun 1968 dikeluarkan dari Pondok Modern Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah, Cak Nun menempuh ujian di SMP IV Yogyakarta, lalu melanjutkan di SMA Muhammadiyah IV Yogyakarta, kemudian berpindah ke SMA I Yogyakarta meskipun pernah keluar tetapi masuk lagi sampai tamat. Emha juga pernah mengikuti kuliah di Fakultas Ekonomi UGM, walaupun hanya empat bulan.
            Pria yang lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara tahun 1970 – 1975 untuk belajar pada seorang guru yang dikaguminya, yakni Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan dapat dikatakan sangat mempengaruhi perjalanan hidup Emha.
            Selain itu Emha juga pernah mengikuti kegiatan internasional, diantaranya: lokakarya teater di Filipina (1980), Internasional Writing Program di Universitas lowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
           
Tidak hanya itu, pada tahun 1993 Emha membentuk grup musik Kiai Kanjeng yang mulai melejitkan namanya. Bersama dengan grup musiknya, Emha berkeliling ke Jamaah Maiyah di penjuru tanah air, terutama sejak reformasi 1988. Emha bersama Kiai Kanjeng memiliki jadwal rutin bulanan hampir di seluruh negeri. Setiap tanggal 15 Qomariyah dalam “Pengajian Padhang Mbulan” di Jombang, tanggal 17 M dalam “Macapat Syafaat” di Yogyakarta, setiap tanggal 25 dalam “Gambang Syafaat” di Semarang, “Tali Kasih” di Bandung, “Kenduri Cinta” di Jakarta, dan masih banyak yang lain.
Nah, sekarang kita akan mengenal Emha Ainun Najib dari sisi karyanya. Emha merupakan seorang penyair dan budayawan yang sangat produktif dan karyanya tidak terbatas hanya pada satu bentuk saja. Karya – karya Emha yang telah dibukukan dapat dipilah dalam berbagai bentuk. Pertama, essai: sastra yang membebaskan (Yogyakarta: P3PM), slilit sang kiai (jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), Anggukan Ritnis Pak Kiai (Surabaya: Risalah Gusti), Kiai Sudrun Gugat (Jakarta: pustaka Utama Grafiti, 1994), Indonesia, Bagian dari Desa Saya (Yogyakarta: SIPRESS), Dari Pojok Sejarah (Bandung: Mizan), Markesot Bertutur (Bandung: Mizan, 1993), Markesot Bertutur Lagi (Bandung: Mizan 1993), Terus Mencoba Budaya Tanding (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Sedang TUHAN pun Cemburu (Yogyakarta: SIPRESS), Nasionalisme Muhammad (Yogyakarta: SIPRESS), Secangkir Kopi Jon Pakir (Mizan, 1992), Surat Kepada Kanjeng Nabi (Mizan, 1997), dan masih banyak lagi.
Kedua, novel: Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah (Yogyakarta: Bentang).
Ketiga, cerpen: Yang Terhormat Nama Saya (Yogyakarta: SIPRESS).
Keempat, naskah drama: Pak Kanjeng (Yogyakarta: Progress, 2005).
Kelima, puisi: Syair – syair Lautan Jilbab (Yogyakarta: Masyarakat Puitika Indonesia – SIPPRES, 1991), Cahaya Maha Cahayauhanku (Yogyakarta: Bentang), Syair – syair Asmaul Husna (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Salahudin Press), dan masih banyak judul kumpulan puisi lainnya.
Selain itu, emha bersama dengan Kiai Kanjeng juga mengeluarkan banyak album dalam kaset dan VCD diantaranya: Kado Muhammad, Meyorong Rembulan, dll.
Puisi Bahasa Kambing Hitam merupakan salah satu puisi yang ada dalam kumpulan puisi “Syair – syair Lautan Jilab”. Puisi ini menarik karena judulnya tampak sangat berbeda diantara judul – judul puisi lainnya. Dari judul esai ini sudah terlihat apa yang ingin saya jabarkan yakni religiusitas Emha dalam Puisi ini. Untuk itu, segera saja kita lihat seperti apa isinya.

Bahasa Kambing Hitam

Seseorang, dari beribu jilbab, berkata
Bicaralah dengan bahasa badan!
Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata
Tabir belum dikuakkan
Hijab belum disingkap seluruhnya
Ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya
Bicaralah dengan bahasa badan
Dengan bahasa kehidupan yang bersahaja
Perhitungan sejarah belum selesai
Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap
Bicaralah dengan bahasa keringat
Bahasa got dan selokan
Dusun-dusun suram dan sawah ladang
Yang entah siapa sekarang pemiliknya
Anak-anak antri cari sekolah dan kerja
Dendam kepada kesempitan, terusir dan
            Tertepikan
Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli
Jilbab-jilbab bertaburan tidak dilangit tinggi,
Melainkan di bumi, tanah-tanah becek
Teori pembangunan yang aneh
Kemajuan yang menipu
Jilbab-jilbab terserimpung di kubangan sejarah
Melayani cinta palsu dan kecurigaan
Cekikikan yang samar
Dan tekanan yang tak habis-habisnya
Jilbab-jilbab dikambinghitamkan
Bicaralah dengan bahasa kambing hitam!

Dalam puisi ini terdapat keunikan bila dilihat dari struktur penulisannya, karena puisi ini tidak terdiri dari bait – bait penyusunnya. Akan tetapi puisi ini menjadi satu kesatuan dalam larik, dan terdapat 29 larik di dalamnya. Selain itu, keindahan irama terlihat jelas pada empat larik pertama puisi ini.
Seseorang, dari beribu jilbab, berkata
Bicaralah dengan bahasa badan!
Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata
Tabir belum dikuakkan

Ya, bila dilihat lagi irama empat larik pertama ini berbentuk abab yang menyerupai susunan sebuah pantun. Selain itu, keindahan juga terletak pada iramanya, ini sangat jelas terlihat bila kita membacanya dimana iramanya sangat mendayu – dayu karena keterkaitan rima – rimanya.
Untuk memahami makna yang terdapat dalam puisi ini, membutuhkan tanda yang mengaitkan kata satu dengan yang lain sehingga makna antar larik dapat dipahami secara utuh.
Dapat juga dilihat, dalam puisi ini terdapat personifikasi seperti pada larik ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya, dan larik pasar sumpeg, dikangkangi monopoli.
Kutipan puisi Bahasa Kambing Hitam mengisyaratkan perintah bahwa “Seseorang, dari beribu jilbab, berkata” merupakan suatu ungkapan perumpamaan kaum perempuan yang digambarkan dengan “beribu jilbab” dengan nada tinggi berkata “Bicaralah dengan bahasa badan!” bahasa badan yang dimaksud mungkin saja bukan hanya  mulut yang bicara, akan tetapi hati maupun indera lainnya dalam tubuh manusia. Dengan adanya tanda (!) seru, mengisyaratkan perintah yang sangat penting karena bahasa badan ialah bahasa kejujuran setelah mulut yang terbiasa berbohong. “Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata” mengisyaratkan pada sunyi yang belum sempurna berarti bahwa dunia ini benar – benar nyata dan belum sempurna (akhir dunia/kiamat). “Tabir belum dikuakkan” menyambung kalimat diatas  bahwa dunia yang nyata adalah dunia dimana rahasia hidup belum dibuka untuk dimintai pertanggungjawabannya. “Hijab belum disingkap seluruhnya” salah atau benar maupun hijab belum seluruhnya diketahui. “Ruh tak bicara  kecuali hanya kepada dirinya” dan ruh hanya berputar pada dirinya sendiri, berbicara kepada dirinya yang menyatu pada jasad seseorang.
Bicaralah dengan bahasa badan” sebuah repetisi larik yang berupa perintah “bicaralah” setidaknya mempunyai maksud bahwa bahasa badan ini dirasa memmang sangatlah penting, “Dengan (perumpamaan) bahasa kehidupan yang bersahaja” perumpamaan bahasa kehidupan yang bersahaja, merujuk pada nilai – nilai kehidupan yang madani dan penuh makna, “Perhitungan sejarah belum selesai” bahwa hidup belum sepenuhnya selesai ataupun masih bisa dirubah untuk meneruskan ke masa depan, “Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap” penegasan kembali bahwa sang wanita berbicara tentang realitas dunia yang benar – benar nyata dan bukan padang mahsyar, padang yang sunyi senyap (alam barzah).
Bicaralah dengan bahasa keringat” perintah berbicara yang ketiga ini merupakan repetisi dari bahasa yang diungkapkan dengan objek yang berbeda, perintah berbicara dengan menggunakan bahasa keringat, yang mana maksud dari bahasa keringat ialah simbol bahasa dalam pola kehidupan manusia dari segala aspek, “Bahasa got dan selokan” aspek yang diperlihatkan ialah aspek kehidupan dimana “got dan selokan” mengumpamakan sisi kehidupan pinggiran manusia yang penuh dengan segala keterbatasan dalam dunia yang keras, “Dusun – dusun suram dan sawah ladang, yang entah siapa sekarang pemiliknya” suatu kondisi masyarakat yang begitu memprihatinkan, tidak tahu siapa yang memiliki dan ini akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, ketika ladang dan sawah semakin hilang oleh kerakusan penguasa untuk dijadikan pabrik sebagai lahan industri, “Anak – anak antri cari sekolah dan kerja, Dendam pada kesempitan, terusir dan tertepikan” sebuah kenyataan pendidikan di mana anak – anak negeri kesulitan untuk meraih pendidikan , dan semakin sempitnya lahan pekerjaan untuk para pemuda, seringnya kesulitan menghampiri sehingga muncullah dendam pada kemiskinan, “Pasar yang sumpeg, dikangkangi monopoli” dalam bidang ekonomi, pemilihan kata “sumpeg” menggambarkan kondisi yang terbelit sistem yang begitu menjerat, perdagangan yang penuh dengan monopoli perdagangan dan hanya menguntungkan para penguasa.
Jilbab – jilbab bertaburan tidak di langit tinggi” yakni tidak berperilaku sesuai dengan norma – norma yang berlaku sebagai fitrahnya wanita. Karena norma – norma ini dianggap agung, jadi dalam bahasanya “tidak di langit tinggi”, “Melainkan di bumi, tanah – tanah becek “ melainkan derajatnya begitu rendah, bahkan teramat rendah seperti tanah – tanah becek yang selalu mengibarkan aib di masyarakat, perilaku ini seperti halnya tindak asusila yang merendahkan harkat martabat kaum perempuan. “Teori pembangunan yang aneh, kemajuan yang menipu” kondisi di atas digambarkan sebagai cermin pembangunan yang begitu aneh, mengingat kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan tidak dihiraukan oleh kaum berjilbab (perempuan), “Jilbab – jilbab terserimpung di kubangan sejarah, Melayani cinta palsu dan kecurigaan” kaum perempuan telah benar – benar tersesat dalam kehinanaan yang begitu rendah dalam perjalanan sejarah manusia, dengan keluar dari fitrahnya yang hanya memberikan cinta palsu dan sesaat. Sehingga dalam perjalanan cintanya dirundung oleh kecurigaan, “Cekikan yang samar dan tekanan yang tak habis – habisnya” ia (kaum perempuan) dalam realita kehidupan sebenarnya mengalami penyiksaan yang menyakitkan dan tekanan yang tak habis – habisnya. Siksaan ini akibat perbuatan yang ditimbulkan dari perbuatannya di dunia. “Jilbab – jilbab dikambinghitamkan” kepribadian yang buruk ini disimpulkan dengan tuduhan – tuduhan bahwa kaum perempuan dijadikan objek kesalahan dan segala perilakunya selalu dikambinghitamkan. “Bicaralah dengan bahasa kambing hitam!” perintah untuk berbicara pada kaum perempuan dengan bahasa kambing hitam.
Dalam puisi Bahasa Kambing Hitam ini menggambarkan realitas hidup manusia, yang menyinggung kaum perempuan (beribu jilbab) dengan perintah untuk berbicara dengan bahasa badan, bahwa realitas kebobrokan moral yang terjadi adalah benar – benar nyata dalam bahasa kehidupan umat di era modern, dimana kebenaran dipandang sebagai angan – angan semata (biasa disebut kepribadian ammarah  dalam Islam). Ketika manusia jauh dari kebenaran yang terjadi adalah ketidakjelasan latar belakang diri manusia, bobroknya moral akibat ulah manusia sendiri, kondisi ekonomi yang sarat dengan monopoli juga merupakan hasil dari hawa nafsu manusia yang selalu mengikuti nafsunya dan jauh dari cahaya Tuhan, sehingga yang terjadi adalah anak – anak keluarga kurang mampu yang kesulitan mengenyam bangku pendidikan, para pemuda pengangguran dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Semuanya akibat dari nafsu kedudiawian manusia (nafs al-ammarah).
Sementara gambaran kaum perempuan yang seolah hilang dari peradaban manusia, adalah ketika mereka telah terjerumus dalam jurang kenistaan sehingga tidaklah khayal bahwa kondisi ini disebut dalam puisi sebagai sebuah teori pembangunan yang aneh dan kemajuan yang menipu, tatkala kaum perempuan telah menjauhi hakikat sebagai seorang wanita, dengan menerjang norma – norma susila yang menjadi fitrah kaum hawa. Perilaku – perilaku tersebut seperti perempuan yang hanya mengikuti syahwatnya dengan menjual dirinya hanya untuk kepuasan serta demi mencari kekayaan dengan cara menjual diri, memberikan tubuhnya kepada laki – laki hidung belang, sebatas melayani cinta palsu dan penuh dengan kecurigaan. Realitas hidup seperti inilah yang kemudian mereka (kaum berjilbab) menjadi manusia yang selalu dikambinghitamkan dan selalu disalahkan.
Maksud dari puisi ini secara ekstrinsik menggambarkan sisi kehidupan sosial kaum perempuan yang mana dalam Islam perilaku sehari – hari dalam masyarakat haruslah sangat diperhatikan terutama dalam masalah berpakaian.
Dari biografi, penjabaran bentuk, makna intrinsik dan ekstrinsik puisi tentu kita sangat melihat tingkat religiusitas kehidupan Emha yang tertuang dalam puisinya. Dari biografi kehidupan terlihat religiusitas Emha yang sangat,  religiusitas kehidupan itu seperti tertuang dalam berbagai karya – karyanya terutama puisi yang tidak jauh berbeda mengungkapkan mengenai kehidupan manusia dari segi agamisnya. Dari pilihan kata yang tertuang dalam puisi tergambar jelas religiusitas dengan menggunakan kata – kata seperti jilbab, hijab, serta mahsyar. Namun, gambaran nyata religiusitas sosok Emha Ainun Najib terlihat pada makna dari puisi itu sendiri, baik secara tersurat maupun tersirat.
Nah, sampailah kita pada tahap penilaian. Setelah melihat analisis dan penafsiran di atas, puisi Bahasa Kambing Hitam merupakan puisi yang sangat bagus. Dari diksi tidak terlalu sulit untuk dipahami, tentu dengan bantuan kata – kata yang disisipkan untuk mencari maknanya. Dari segi irama, rima dan bentuknya telah dilihat bahwa puisi ini puisi yang indah untuk dilihat karena tak ada bait apalagi untuk dilagukan. Nah, sekarang dilihat dari religiusitas itu sendiri, puisi ini sangat bagus karena Emha memunculkan kepribadian ammarah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar