Mencicipi
Renungan Kisah Legenda dalam Puisi Goenawan Mohamad
Oleh: Ardi Wina Saputra
Tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu,
alangkah baiknya sebelum pembahasan mengenai puisi balada ini melebar dan
menjalar kemana-mana, diawal kita berkenalan dengan sosok Goenawan Mohammad.
Penyair yang puisinya dikupas dalam esai
ini. Goenawan Mohammad lahir di Batang, Jawa Tengah 29 Juli 1941. Dialah
pendiri majalah Tempo (1971-1978) sekaligus salah satu esais terbaik di
Indonesia. Kumpulan esainya yang telah diterbitkan yaitu, Sastra dan Kekuasaan;
empat jidlid Catatan Pinggir; Kata,
Kekuasaan; Seks, Sastra, Kita. Selain
menggeluti dunia jurnalistik, Goenawan juga aktif menulis puisi. Kumpulan
puisinya yang pernah diterbitkan antara lain, Parikisit (1972), Interlude
(1973), Asmaradana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998).
Puisi-puisi Goenawan Mohammad yang
diulas dalam esai ini diambil dari buku berjudul Sajak-sajak Lengkap 1961-2001.
Tahun 1972, Goenawan mendapatkan anugerah seni dari pemerintah Republik
Indonesia dan pada tahun 1973 pernah mengikuti Festival Penyair Internasional
di Rotterdam. Pengalaman Goenawan dalam
bidang sastra dan jurnalistik inilah yang membuatnya percaya diri mendirikan
Komunitas Utan Kayu.
Puisi-puisi Goenawan Mohammad dengan dasar
cerita wayang disertai renungan kehidupan yang bersifat kontemplatif sangat
patut untuk diselami. Pembaca tidak perlu memaknai dalam membaca puisi
Goenawann, namun cukup merenungkanya saja. Puisi Goenawan, sangat sesuai dengan
gambaran puisi yang diuraikan oleh Prof. Dr. Sumitro A. Sayuti. Dalam buku
berjudul Berkenalan dengan Puisi (2002:39), Sayuti berpendapat bahwa puisi
lebih mampu merangsang tanggapan pembaca untuk merasakan dan menghayati suasana
tertentu yang digambarkan dan diekspresikannya. Karya Goenawan memang tidak
untuk dipahami, tapi untuk direnungkan. Sapardi Djoko Darmono dalam esainya
berjudul “Mencoba Menghayati Si Malin Kundang”, berkata bahwa Goenawann hanya
menggambar, tidak membuat pernyataan. “Gambar itulah yang bisa kita tafsirkan
sebagai apa saja, gambarnya adalah pemandangan yang sangat akrab dengan
kehidupan kita sehari-hari, tetapi yang diciptakannya kembali sedemikian rupa
sehingga serasa sebagai sesuatu yang asing,” terang Sapardi (2001:208). Penulis puisi berjudul “Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana” ini juga menjelaskan bahwa
makna berbeda dengan pesan. “Makna tidak untuk dipahami, ia harus dihayati,”
ungkap sang pujangga. Puisi Goenawan tidak membuat kita menjadi pencari pesan,
namun cukup sebagai pencari makna. Pembacalah yang memaknai setiap gurat pena
sajak Goenawan, memaknai dengan bebas kemudian merenungkan dalam benak
masing-masing. Goenawan dalam esainya tentang kebudayaan Jawa pernah
berkata,”Terkadang saya berpikir bahwa yang dilakukan puisi adalah membujuk
kita untuk justru hanya mendengarkan, dalam sikap yang dalam bahasa Jawa
disebut semeleh.”
ASMARADANA
Ia
dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada
kemuning.
Ia
dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti, yang jauh.
Tapi
di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu
ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu
ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput
halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat
dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara,
adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad ini
memberikan renungan tentang perpisahan antara sepasang kekasih yang saling
mencintai. Dikisahkan bahwa sang pria
akan berangkat berperang, dengan persyaratan yang berat. Jika nanti sang pria
itu menang, maka Ia akan dinikahkan dengan putri dari kerajaan yang kalah dan
tidak dapat menikahi kekasih yang telah Ia tinggalkan, namun jika pria itu
kalah dalam pertempuran, sudah pastilah bahwa Ia akan mati dan tidak akan
bertemu dengan kekasihnya lagi. Goenawan Mohamad sendiri membuat puisi ini
karena terinspirasi dari salah satu kisah Opera Jawa yang bercerita tentang
cinta antara Damarwulan dan Anjasmara. Kisah cinta tragis sepasang kekasih yang
akan menghadapi suatu perpisahan.
Bait pertama dalam puisi Asmaradana,
menunjukkan awal sepasang kekasih akan berpisah. Suasana sendu tergambar jelas
pada kata “Ia dengar kepak sayap
kelelawar; resah kuda; tapi diantara mereka berdua tidak ada yang
berkata-kata”. Kata “Ia dengar kepak
sayap kelelawar” seolah menggambarkan suasana keheningan yang teramat
sangat. Kemudian kata “resah kuda”
menggambarkan suatu suasana batin tokoh dan alam sekelilingnya yang sedih.
Dilanjutkan dengan kata “tapi diantara
mereka tidak ada yang berkata-kata” seolah menunjukkan bahwa ini adalah
pertemuan terakhir mereka, serta awal dari perpisahan mereka.
Bait kedua dalam puisi Asmaradana, mulai
disebutkan secara jelas tentang penyebab perpisahan sepasang kekasih tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan kata-kata “perpisahan
itu; kematian itu; peta nasib
perjalanan; peperangan”. Kemudian dilanjutkan dengan bait ketiga yang
menunjukkan ketegaran hati perempuan yang akan ditinggal pergi kekasihnya.
Seolah perempuan itu tahu bahwa nantinya kekasih tersebut akan pergi
meninggalkanya untuk selamanya. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata “perempuan itu tak akan menangis; Ia tak
akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba; Ia tak berani lagi”.
Dilanjutkan dengan bait terakhir, dalam bait
ini ditunjukkan bahwa keduanya memutuskan untuk saling melupakan, namun cinta
mereka tetap ada. Kata-kata “tinggalah
seperti dulu” menunjukan bahwa meskipun mereka terpisah, namun cinta mereka
tetap ada seperti dulu. Kemudian ditutup dengan kata-kata “kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu” yang menunjukan bahwa mereka
berdua memutuskan untuk saling melupakan karena suatu perpisahan.
Tidak ada pesan yang tersurat dalam puisi ini,
bahkan mungkin saja pembaca memiliki tafsiran yang berbeda-beda setelah membaca
Asmaradana. Herman J Waluyo dalam buku “Apresiasi
Puisi” memaknai bahwa pangkat dan jabatan seorang suami tidak selamanya
mendatangkan kebahagiaan bagi sang istri (2005:108). Lain ladang, lain ilalang.
Berbeda pembaca, maka berbeda pula perenunganya. Sayuti (2002) menafsirkan
puisi “Asmaradana” mengisyaratkan suasana cinta yang tragis karena dibayang-bayangi
oleh kematian. Sama halnya dengan kedua pembaca tadi, ketika puisi Goenawan
Mohammad digulirkan ke khalayak pembaca, maka setiap pembaca sungguh dapat
menafsirkanya secara berbeda-beda, dan oleh Goenawan sangat diperbolehkan.
Hal tersebut juga dapat dibuktikan puisi
Goenawan yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur”, berikut puisinya.
Dongeng Sebelum Tidur
“Cicak itu, cintaku berbicara
tentang kita.
Yaitu nonsen.”
Itulah yang dikatakan baginda kepada
permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap
merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan
meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika
Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin,
meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh
diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal
bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari
mana—untuk tidak setia.
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa
harus patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan
dan sebagainya dan sebagainya?”
Puisi
ini merupakan puisi yang terinspirasi dari Raja Angling Darma yang berasal dari
Matswapati. Dikisahkan sang raja memiliki ilmu menguasai bahasa binatang, sehingga
sehingga dia bercumbu bersama permaisurinya di ranjang, Angling Darma mendengar
pembicaraan dua ekor cicak dilangit-langit kamarnya. Kedua cicak pembicaraan
itu serasa menggelikan bagi raja, sehingga dia tertawa ketika hendak bercinta.
Permaisuri yang tidak mengerti maksud dari tawa sang raja merasa terhina. Bait
pertama dan kedua puisi di atas menunjukkan perkataan raja pada permaisurinya.
Namun permaisurinya merasa tidak dihiraukan keindahanya, sehingga nafsunya
diranjang menjadi teduh. Raja berusaha meyakinkan dengan kalimat “Mengapakah tak percaya? Mimpi akan
meyakinkan seperti matahari pagi”. Perkataan itu rupanya bagai rayuan gombal
untuk permaisuri, dan akhirnya permaisuri itu menangis terisak. Raja juga reda
hawa panasnya, dan dia menutupkan kain ke tubuh permaisurinya. Mereka tidak
jadi bercinta.
Esoknya
permaisuri membunuh diri dalam api. Ia hendak menunjukkan kesetiaanya pada
raja. Rajapun bingung dan keheranan sehingga raja meminta petunjuk dari Batik
Madrim. Herman J. Waluyo memaknai bait akhir puisi Goenawan Mohammad ini dengan
menyebut bahwa pertanyaan Angling Darma pada patihnya dapat dijadikan renungan
kehidupan yang penting bagi pembacanya. “Mengapa permaisuri rela mengorbankan
jiwa raga dengan bunuh diri, demi orang yang dicintainya? Perlukah sampai
sebesar itu membela kesetiaan?” renung Herman (2005:111).
Puisi
ini juga dapat ditafsirkan bahwa Raja Angling Darma melindungi ilmu Ajigineng
yang dimiolikinya. Ilmu ajigineng merupakan ilmu menguasai percakapan bahasa
hewan. Saat bercinta, sang raja mendengar pembicaraan cicak di didinding kamar,
kemudian dia tertawa. Istrinya tentu bingung mendengar tawa yang tanpa sebab
itu, hingga menanyakan pada sang raja. Namun karena ajigineng adalah ilmu
rahasioa, sang raja bertekad untuk tidak membocorkan ilmu tersebut pada sang
itri dengan berkata “nonsen”. Istri sang raja merasa sangat tersinggung dan
terhina, dia merasa diremehkan dan dilecehkan keindahanya
Dalam hampir setiap gubahanya, Goenawan
terlihat melepaskan subjektivitasnya. Goenawan mensejajarkan makna niatanya
dengan makna muatan puisinya. Goenawann sengaja menggambarkan cerita Jawa yang
telah dia amati sebelumnya dan dituangkan begitu saja dalam puisinya, tanpa
adanya unsur-unsur menggurui pembaca dengan berbagai pesan yang justru berbelit-belit.
Menurut Rene Wellek dan Austin Waren (1989),
dalam karya sastra, kebenaran psikologis baru mempunyai nilai artistik
jika ia menambah kompleksitas karya. Dengan kata lain, kebenaran psikologis itu
sendiri merupakan karya seni. Puisi Goenawan merupakan karya seni.
Goenawan
juga blak-blakan menuliskan seksualitas dalam karya puisinya. Dalam esai yang
berjudul “Seks, Sastra, Kita”, Goenawan
mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah semacam sikap wajar, yang
mengembalikan seksualitas kedalam kehidupan, dan menerima kenyataan itu tanmpa
ketegangan, sebagaimana kita menerima badan sebagai diri kita (1981:13). Hal
tersebut menunjukkan bahwa memang Goenawan menghendaki pembaca bersikap wajar
terhadap seks dalam puisinya, dengan berpikir secara dewasa.
Daftar
Rujukan
Mohamad, Goenawan. 2001. Sajak-sajak Lengkap
1961-2001. Metafor Publishing.
Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita.
Sinar Harapan.
Sayuti, A. Sumitro. 2002. Berkenalan dengan
Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Warren, Wellek. 1989. Teori Sastra. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Waluyo, Herman. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar