Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Mencicipi Renungan Kisah Legenda dalam Puisi Goenawan Mohamad



Mencicipi Renungan Kisah Legenda dalam Puisi Goenawan Mohamad
Oleh: Ardi Wina Saputra
 
Tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, alangkah baiknya sebelum pembahasan mengenai puisi balada ini melebar dan menjalar kemana-mana, diawal kita berkenalan dengan sosok Goenawan Mohammad. Penyair yang puisinya dikupas  dalam esai ini. Goenawan Mohammad lahir di Batang, Jawa Tengah 29 Juli 1941. Dialah pendiri majalah Tempo (1971-1978) sekaligus salah satu esais terbaik di Indonesia. Kumpulan esainya yang telah diterbitkan yaitu, Sastra dan Kekuasaan; empat jidlid Catatan Pinggir;  Kata, Kekuasaan;  Seks, Sastra, Kita. Selain menggeluti dunia jurnalistik, Goenawan juga aktif menulis puisi. Kumpulan puisinya yang pernah diterbitkan antara lain, Parikisit (1972), Interlude (1973), Asmaradana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Puisi-puisi  Goenawan Mohammad yang diulas dalam esai ini diambil dari buku berjudul Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Tahun 1972, Goenawan mendapatkan anugerah seni dari pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973 pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam.  Pengalaman Goenawan dalam bidang sastra dan jurnalistik inilah yang membuatnya percaya diri mendirikan Komunitas Utan Kayu.
Puisi-puisi Goenawan Mohammad dengan dasar cerita wayang disertai renungan kehidupan yang bersifat kontemplatif sangat patut untuk diselami. Pembaca tidak perlu memaknai dalam membaca puisi Goenawann, namun cukup merenungkanya saja. Puisi Goenawan, sangat sesuai dengan gambaran puisi yang diuraikan oleh Prof. Dr. Sumitro A. Sayuti. Dalam buku berjudul Berkenalan dengan Puisi (2002:39), Sayuti berpendapat bahwa puisi lebih mampu merangsang tanggapan pembaca untuk merasakan dan menghayati suasana tertentu yang digambarkan dan diekspresikannya. Karya Goenawan memang tidak untuk dipahami, tapi untuk direnungkan. Sapardi Djoko Darmono dalam esainya berjudul “Mencoba Menghayati Si Malin Kundang”, berkata bahwa Goenawann hanya menggambar, tidak membuat pernyataan. “Gambar itulah yang bisa kita tafsirkan sebagai apa saja, gambarnya adalah pemandangan yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, tetapi yang diciptakannya kembali sedemikian rupa sehingga serasa sebagai sesuatu yang asing,” terang Sapardi (2001:208).  Penulis puisi berjudul “Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana” ini juga menjelaskan bahwa makna berbeda dengan pesan. “Makna tidak untuk dipahami, ia harus dihayati,” ungkap sang pujangga. Puisi Goenawan tidak membuat kita menjadi pencari pesan, namun cukup sebagai pencari makna. Pembacalah yang memaknai setiap gurat pena sajak Goenawan, memaknai dengan bebas kemudian merenungkan dalam benak masing-masing. Goenawan dalam esainya tentang kebudayaan Jawa pernah berkata,”Terkadang saya berpikir bahwa yang dilakukan puisi adalah membujuk kita untuk justru hanya mendengarkan, dalam sikap yang dalam bahasa Jawa disebut semeleh.”
Mengenai puisi Goenawan yang berbau cerita wayang, ia pernah menyinggungnya dalam esai yang berjudul “Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang”. Dalam esainya, Goenawann berpendapat bahwa wayang pada dasarnya tidak menawarkan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya, namun wayang memberikan dunia penghayatan yang tidak berbentuk, sehingga terbuka untuk dibentuknya sendiri.  Mengenai wayang dan pemaknaanya, mari kita coba berkenalan dengan puisi Asmaradana.

ASMARADANA
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning.
Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh.                                                                                    
Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad ini memberikan renungan tentang perpisahan antara sepasang kekasih yang saling mencintai.  Dikisahkan bahwa sang pria akan berangkat berperang, dengan persyaratan yang berat. Jika nanti sang pria itu menang, maka Ia akan dinikahkan dengan putri dari kerajaan yang kalah dan tidak dapat menikahi kekasih yang telah Ia tinggalkan, namun jika pria itu kalah dalam pertempuran, sudah pastilah bahwa Ia akan mati dan tidak akan bertemu dengan kekasihnya lagi. Goenawan Mohamad sendiri membuat puisi ini karena terinspirasi dari salah satu kisah Opera Jawa yang bercerita tentang cinta antara Damarwulan dan Anjasmara. Kisah cinta tragis sepasang kekasih yang akan menghadapi suatu perpisahan.
Bait pertama dalam puisi Asmaradana, menunjukkan awal sepasang kekasih akan berpisah. Suasana sendu tergambar jelas pada kata “Ia dengar kepak sayap kelelawar; resah kuda; tapi diantara mereka berdua tidak ada yang berkata-kata”. Kata “Ia dengar kepak sayap kelelawar” seolah menggambarkan suasana keheningan yang teramat sangat. Kemudian kata “resah kuda” menggambarkan suatu suasana batin tokoh dan alam sekelilingnya yang sedih. Dilanjutkan dengan kata “tapi diantara mereka tidak ada yang berkata-kata” seolah menunjukkan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka, serta awal dari perpisahan mereka.
Bait kedua dalam puisi Asmaradana, mulai disebutkan secara jelas tentang penyebab perpisahan sepasang kekasih tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kata-kata “perpisahan itu; kematian itu;  peta nasib perjalanan; peperangan”. Kemudian dilanjutkan dengan bait ketiga yang menunjukkan ketegaran hati perempuan yang akan ditinggal pergi kekasihnya. Seolah perempuan itu tahu bahwa nantinya kekasih tersebut akan pergi meninggalkanya untuk selamanya. Hal ini ditunjukkan dengan kata-kata “perempuan itu tak akan menangis; Ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba; Ia tak berani lagi”.
Dilanjutkan dengan bait terakhir, dalam bait ini ditunjukkan bahwa keduanya memutuskan untuk saling melupakan, namun cinta mereka tetap ada. Kata-kata “tinggalah seperti dulu” menunjukan bahwa meskipun mereka terpisah, namun cinta mereka tetap ada seperti dulu. Kemudian ditutup dengan kata-kata “kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu” yang menunjukan bahwa mereka berdua memutuskan untuk saling melupakan karena suatu perpisahan.
Tidak ada pesan yang tersurat dalam puisi ini, bahkan mungkin saja pembaca memiliki tafsiran yang berbeda-beda setelah membaca Asmaradana. Herman J Waluyo dalam buku “Apresiasi Puisi” memaknai bahwa pangkat dan jabatan seorang suami tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan bagi sang istri (2005:108). Lain ladang, lain ilalang. Berbeda pembaca, maka berbeda pula perenunganya. Sayuti (2002) menafsirkan puisi “Asmaradana” mengisyaratkan suasana cinta yang tragis karena dibayang-bayangi oleh kematian. Sama halnya dengan kedua pembaca tadi, ketika puisi Goenawan Mohammad digulirkan ke khalayak pembaca, maka setiap pembaca sungguh dapat menafsirkanya secara berbeda-beda, dan oleh Goenawan sangat diperbolehkan.
Hal tersebut juga dapat dibuktikan puisi Goenawan yang berjudul “Dongeng Sebelum Tidur”, berikut puisinya.
  Dongeng Sebelum Tidur
“Cicak itu, cintaku berbicara tentang kita.
Yaitu nonsen.”
Itulah yang dikatakan baginda kepada permaisurinya, pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi dan sprei.
“Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma menutupkan kembali kain ke dadanya dengan nafas yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
Dan baginda pun mendapatkan akal bagaimana ia harus melarikan diri –dengan pertolongan dewa-dewa entah dari mana—untuk tidak setia.
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?”
            Puisi ini merupakan puisi yang terinspirasi dari Raja Angling Darma yang berasal dari Matswapati. Dikisahkan sang raja memiliki ilmu menguasai bahasa binatang, sehingga sehingga dia bercumbu bersama permaisurinya di ranjang, Angling Darma mendengar pembicaraan dua ekor cicak dilangit-langit kamarnya. Kedua cicak pembicaraan itu serasa menggelikan bagi raja, sehingga dia tertawa ketika hendak bercinta. Permaisuri yang tidak mengerti maksud dari tawa sang raja merasa terhina. Bait pertama dan kedua puisi di atas menunjukkan perkataan raja pada permaisurinya. Namun permaisurinya merasa tidak dihiraukan keindahanya, sehingga nafsunya diranjang menjadi teduh. Raja berusaha meyakinkan dengan kalimat  “Mengapakah tak percaya? Mimpi akan meyakinkan seperti matahari pagi”. Perkataan itu rupanya bagai rayuan gombal untuk permaisuri, dan akhirnya permaisuri itu menangis terisak. Raja juga reda hawa panasnya, dan dia menutupkan kain ke tubuh permaisurinya. Mereka tidak jadi bercinta.
            Esoknya permaisuri membunuh diri dalam api. Ia hendak menunjukkan kesetiaanya pada raja. Rajapun bingung dan keheranan sehingga raja meminta petunjuk dari Batik Madrim. Herman J. Waluyo memaknai bait akhir puisi Goenawan Mohammad ini dengan menyebut bahwa pertanyaan Angling Darma pada patihnya dapat dijadikan renungan kehidupan yang penting bagi pembacanya. “Mengapa permaisuri rela mengorbankan jiwa raga dengan bunuh diri, demi orang yang dicintainya? Perlukah sampai sebesar itu membela kesetiaan?” renung Herman (2005:111).
            Puisi ini juga dapat ditafsirkan bahwa Raja Angling Darma melindungi ilmu Ajigineng yang dimiolikinya. Ilmu ajigineng merupakan ilmu menguasai percakapan bahasa hewan. Saat bercinta, sang raja mendengar pembicaraan cicak di didinding kamar, kemudian dia tertawa. Istrinya tentu bingung mendengar tawa yang tanpa sebab itu, hingga menanyakan pada sang raja. Namun karena ajigineng adalah ilmu rahasioa, sang raja bertekad untuk tidak membocorkan ilmu tersebut pada sang itri dengan berkata “nonsen”. Istri sang raja merasa sangat tersinggung dan terhina, dia merasa diremehkan dan dilecehkan keindahanya
Dalam hampir setiap gubahanya, Goenawan terlihat melepaskan subjektivitasnya. Goenawan mensejajarkan makna niatanya dengan makna muatan puisinya. Goenawann sengaja menggambarkan cerita Jawa yang telah dia amati sebelumnya dan dituangkan begitu saja dalam puisinya, tanpa adanya unsur-unsur menggurui pembaca dengan berbagai pesan yang justru berbelit-belit. Menurut Rene Wellek dan Austin Waren (1989),  dalam karya sastra, kebenaran psikologis baru mempunyai nilai artistik jika ia menambah kompleksitas karya. Dengan kata lain, kebenaran psikologis itu sendiri merupakan karya seni. Puisi Goenawan merupakan karya seni.
            Goenawan juga blak-blakan menuliskan seksualitas dalam karya puisinya. Dalam esai yang berjudul “Seks, Sastra, Kita”,  Goenawan mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah semacam sikap wajar, yang mengembalikan seksualitas kedalam kehidupan, dan menerima kenyataan itu tanmpa ketegangan, sebagaimana kita menerima badan sebagai diri kita (1981:13). Hal tersebut menunjukkan bahwa memang Goenawan menghendaki pembaca bersikap wajar terhadap seks dalam puisinya, dengan berpikir secara dewasa.

Daftar Rujukan
Mohamad, Goenawan. 2001. Sajak-sajak Lengkap 1961-2001. Metafor Publishing.
Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Sinar Harapan.
Sayuti, A. Sumitro. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Warren, Wellek. 1989. Teori Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Waluyo, Herman. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar