RELIGIUSITAS
PUISI “BAHASA KAMBING HITAM” KARYA EMHA AINUN NAJIB
Oleh: Aprilia Tri Subekti
Sebelum mengulas isi dari puisi Bahasa
Kambing Hitam, lebih baik kita berkenalan dulu dengan siapa itu Emha Ainun
Najib. Ya, Emha Ainun Najib lebih dikenal dengan sebutan Cak Nun lahir di
Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 27 Mei 1953. Putra keempat
dari 15 bersaudara, dari suami istri H.A Lathif dan Halimah. Cak Nun memiliki
istri bernama Novia Kolopaking yang
merupakan seorang aktris, dan memiliki 5 orang anak, yakni: Sabrang Mowo
Damar Panuluh (lebih dikenal dengan Noe Letto), Ainayya Al-Fatihah (alm),
Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, serta Anayallah Rampak Mayesha.
Pendidikan
formalnya, dapat dikatakan acak – acakan: setelah tamat SD di desanya ia
melanjutkan studi di Pondok Modern Gontor. Pada tahun 1968 dikeluarkan dari
Pondok Modern Gontor karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah, Cak Nun
menempuh ujian di SMP IV Yogyakarta, lalu melanjutkan di SMA Muhammadiyah IV
Yogyakarta, kemudian berpindah ke SMA I Yogyakarta meskipun pernah keluar
tetapi masuk lagi sampai tamat. Emha juga pernah mengikuti kuliah di Fakultas
Ekonomi UGM, walaupun hanya empat bulan.
Pria
yang lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara tahun 1970
– 1975 untuk belajar pada seorang guru yang dikaguminya, yakni Umbu Landu
Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan dapat dikatakan sangat
mempengaruhi perjalanan hidup Emha.
Selain
itu Emha juga pernah mengikuti kegiatan internasional, diantaranya: lokakarya
teater di Filipina (1980), Internasional Writing Program di Universitas lowa,
Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda
(1984) serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Nah, sekarang kita akan mengenal
Emha Ainun Najib dari sisi karyanya. Emha merupakan seorang penyair dan
budayawan yang sangat produktif dan karyanya tidak terbatas hanya pada satu
bentuk saja. Karya – karya Emha yang telah dibukukan dapat dipilah dalam
berbagai bentuk. Pertama, essai: sastra yang membebaskan (Yogyakarta: P3PM),
slilit sang kiai (jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), Anggukan Ritnis Pak
Kiai (Surabaya: Risalah Gusti), Kiai Sudrun Gugat (Jakarta: pustaka Utama
Grafiti, 1994), Indonesia, Bagian dari Desa Saya (Yogyakarta: SIPRESS), Dari
Pojok Sejarah (Bandung: Mizan), Markesot Bertutur (Bandung: Mizan, 1993),
Markesot Bertutur Lagi (Bandung: Mizan 1993), Terus Mencoba Budaya Tanding
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Sedang TUHAN pun Cemburu (Yogyakarta:
SIPRESS), Nasionalisme Muhammad (Yogyakarta: SIPRESS), Secangkir Kopi Jon Pakir
(Mizan, 1992), Surat Kepada Kanjeng Nabi (Mizan, 1997), dan masih banyak lagi.
Kedua, novel: Gerakan Punakawan
Atawa Arus Bawah (Yogyakarta: Bentang).
Ketiga, cerpen: Yang Terhormat Nama
Saya (Yogyakarta: SIPRESS).
Keempat, naskah drama: Pak Kanjeng
(Yogyakarta: Progress, 2005).
Kelima, puisi: Syair – syair Lautan
Jilbab (Yogyakarta: Masyarakat Puitika Indonesia – SIPPRES, 1991), Cahaya Maha
Cahayauhanku (Yogyakarta: Bentang), Syair – syair Asmaul Husna (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar-Salahudin Press), dan masih banyak judul kumpulan puisi
lainnya.
Selain itu, emha bersama dengan
Kiai Kanjeng juga mengeluarkan banyak album dalam kaset dan VCD diantaranya:
Kado Muhammad, Meyorong Rembulan, dll.
Puisi Bahasa Kambing Hitam
merupakan salah satu puisi yang ada dalam kumpulan puisi “Syair – syair Lautan
Jilab”. Puisi ini menarik karena judulnya tampak sangat berbeda diantara judul
– judul puisi lainnya. Dari judul esai ini sudah terlihat apa yang ingin saya
jabarkan yakni religiusitas Emha dalam Puisi ini. Untuk itu, segera saja kita
lihat seperti apa isinya.
Bahasa
Kambing Hitam
Seseorang, dari beribu jilbab,
berkata
Bicaralah dengan bahasa badan!
Sunyi belum sempurna. Ini dunia
nyata
Tabir belum dikuakkan
Hijab belum disingkap seluruhnya
Ruh tak bicara kecuali hanya
kepada dirinya
Bicaralah dengan bahasa badan
Dengan bahasa kehidupan yang
bersahaja
Perhitungan sejarah belum selesai
Ini bukan mahsyar, padang sunyi
senyap
Bicaralah dengan bahasa keringat
Bahasa got dan selokan
Dusun-dusun suram dan sawah
ladang
Yang entah siapa sekarang
pemiliknya
Anak-anak antri cari sekolah dan kerja
Dendam kepada kesempitan, terusir
dan
Tertepikan
Pasar yang sumpeg, dikangkangi
monopoli
Jilbab-jilbab bertaburan tidak
dilangit tinggi,
Melainkan di bumi, tanah-tanah
becek
Teori pembangunan yang aneh
Kemajuan yang menipu
Jilbab-jilbab terserimpung di
kubangan sejarah
Melayani cinta palsu dan
kecurigaan
Cekikikan yang samar
Dan tekanan yang tak
habis-habisnya
Jilbab-jilbab dikambinghitamkan
Bicaralah dengan bahasa kambing
hitam!
Dalam puisi ini terdapat keunikan bila
dilihat dari struktur penulisannya, karena puisi ini tidak terdiri dari bait –
bait penyusunnya. Akan tetapi puisi ini menjadi satu kesatuan dalam larik, dan
terdapat 29 larik di dalamnya. Selain itu, keindahan irama terlihat jelas pada
empat larik pertama puisi ini.
Seseorang,
dari beribu jilbab, berkata
Bicaralah
dengan bahasa badan!
Sunyi belum
sempurna. Ini dunia nyata
Tabir belum
dikuakkan
Ya, bila dilihat lagi irama empat
larik pertama ini berbentuk abab yang menyerupai susunan sebuah pantun. Selain
itu, keindahan juga terletak pada iramanya, ini sangat jelas terlihat bila kita
membacanya dimana iramanya sangat mendayu – dayu karena keterkaitan rima –
rimanya.
Untuk memahami makna yang terdapat
dalam puisi ini, membutuhkan tanda yang mengaitkan kata satu dengan yang lain
sehingga makna antar larik dapat dipahami secara utuh.
Dapat juga dilihat, dalam puisi ini
terdapat personifikasi seperti pada larik ruh tak bicara kecuali hanya kepada
dirinya, dan larik pasar sumpeg, dikangkangi monopoli.
Kutipan puisi Bahasa Kambing Hitam
mengisyaratkan perintah bahwa “Seseorang,
dari beribu jilbab, berkata” merupakan suatu ungkapan perumpamaan kaum perempuan
yang digambarkan dengan “beribu jilbab”
dengan nada tinggi berkata “Bicaralah
dengan bahasa badan!” bahasa badan yang dimaksud mungkin saja bukan
hanya mulut yang bicara, akan tetapi
hati maupun indera lainnya dalam tubuh manusia. Dengan adanya tanda (!) seru,
mengisyaratkan perintah yang sangat penting karena bahasa badan ialah bahasa
kejujuran setelah mulut yang terbiasa berbohong. “Sunyi belum sempurna. Ini dunia nyata” mengisyaratkan pada sunyi
yang belum sempurna berarti bahwa dunia ini benar – benar nyata dan belum
sempurna (akhir dunia/kiamat). “Tabir
belum dikuakkan” menyambung kalimat diatas
bahwa dunia yang nyata adalah dunia dimana rahasia hidup belum dibuka
untuk dimintai pertanggungjawabannya. “Hijab
belum disingkap seluruhnya” salah atau benar maupun hijab belum seluruhnya
diketahui. “Ruh tak bicara kecuali hanya kepada dirinya” dan ruh
hanya berputar pada dirinya sendiri, berbicara kepada dirinya yang menyatu pada
jasad seseorang.
“Bicaralah dengan bahasa badan” sebuah repetisi larik yang berupa
perintah “bicaralah” setidaknya mempunyai maksud bahwa bahasa badan ini dirasa
memmang sangatlah penting, “Dengan (perumpamaan)
bahasa kehidupan yang bersahaja”
perumpamaan bahasa kehidupan yang bersahaja, merujuk pada nilai – nilai kehidupan
yang madani dan penuh makna, “Perhitungan
sejarah belum selesai” bahwa hidup belum sepenuhnya selesai ataupun masih
bisa dirubah untuk meneruskan ke masa depan, “Ini bukan mahsyar, padang sunyi senyap” penegasan kembali bahwa
sang wanita berbicara tentang realitas dunia yang benar – benar nyata dan bukan
padang mahsyar, padang yang sunyi senyap (alam barzah).
“Bicaralah dengan bahasa keringat” perintah berbicara yang ketiga
ini merupakan repetisi dari bahasa yang diungkapkan dengan objek yang berbeda,
perintah berbicara dengan menggunakan bahasa keringat, yang mana maksud dari
bahasa keringat ialah simbol bahasa dalam pola kehidupan manusia dari segala
aspek, “Bahasa got dan selokan” aspek
yang diperlihatkan ialah aspek kehidupan dimana “got dan selokan” mengumpamakan
sisi kehidupan pinggiran manusia yang penuh dengan segala keterbatasan dalam
dunia yang keras, “Dusun – dusun suram
dan sawah ladang, yang entah siapa sekarang pemiliknya” suatu kondisi
masyarakat yang begitu memprihatinkan, tidak tahu siapa yang memiliki dan ini
akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, ketika ladang dan sawah semakin
hilang oleh kerakusan penguasa untuk dijadikan pabrik sebagai lahan industri, “Anak – anak antri cari sekolah dan kerja,
Dendam pada kesempitan, terusir dan tertepikan” sebuah kenyataan pendidikan
di mana anak – anak negeri kesulitan untuk meraih pendidikan , dan semakin
sempitnya lahan pekerjaan untuk para pemuda, seringnya kesulitan menghampiri
sehingga muncullah dendam pada kemiskinan, “Pasar
yang sumpeg, dikangkangi monopoli” dalam bidang ekonomi, pemilihan kata
“sumpeg” menggambarkan kondisi yang terbelit sistem yang begitu menjerat,
perdagangan yang penuh dengan monopoli perdagangan dan hanya menguntungkan para
penguasa.
“Jilbab – jilbab bertaburan tidak di langit tinggi” yakni tidak
berperilaku sesuai dengan norma – norma yang berlaku sebagai fitrahnya wanita.
Karena norma – norma ini dianggap agung, jadi dalam bahasanya “tidak di langit
tinggi”, “Melainkan di bumi, tanah –
tanah becek “ melainkan derajatnya begitu rendah, bahkan teramat rendah
seperti tanah – tanah becek yang selalu mengibarkan aib di masyarakat, perilaku
ini seperti halnya tindak asusila yang merendahkan harkat martabat kaum
perempuan. “Teori pembangunan yang aneh,
kemajuan yang menipu” kondisi di atas digambarkan sebagai cermin
pembangunan yang begitu aneh, mengingat kewajiban yang harus dilakukan oleh
kaum perempuan tidak dihiraukan oleh kaum berjilbab (perempuan), “Jilbab – jilbab terserimpung di kubangan
sejarah, Melayani cinta palsu dan kecurigaan” kaum perempuan telah benar –
benar tersesat dalam kehinanaan yang begitu rendah dalam perjalanan sejarah
manusia, dengan keluar dari fitrahnya yang hanya memberikan cinta palsu dan
sesaat. Sehingga dalam perjalanan cintanya dirundung oleh kecurigaan, “Cekikan yang samar dan tekanan yang tak
habis – habisnya” ia (kaum perempuan) dalam realita kehidupan sebenarnya
mengalami penyiksaan yang menyakitkan dan tekanan yang tak habis – habisnya.
Siksaan ini akibat perbuatan yang ditimbulkan dari perbuatannya di dunia. “Jilbab – jilbab dikambinghitamkan”
kepribadian yang buruk ini disimpulkan dengan tuduhan – tuduhan bahwa kaum
perempuan dijadikan objek kesalahan dan segala perilakunya selalu
dikambinghitamkan. “Bicaralah dengan
bahasa kambing hitam!” perintah untuk berbicara pada kaum perempuan dengan
bahasa kambing hitam.
Dalam puisi Bahasa Kambing Hitam
ini menggambarkan realitas hidup manusia, yang menyinggung kaum perempuan
(beribu jilbab) dengan perintah untuk berbicara dengan bahasa badan, bahwa
realitas kebobrokan moral yang terjadi adalah benar – benar nyata dalam bahasa
kehidupan umat di era modern, dimana kebenaran dipandang sebagai angan – angan
semata (biasa disebut kepribadian ammarah
dalam Islam). Ketika manusia jauh
dari kebenaran yang terjadi adalah ketidakjelasan latar belakang diri manusia,
bobroknya moral akibat ulah manusia sendiri, kondisi ekonomi yang sarat dengan
monopoli juga merupakan hasil dari hawa nafsu manusia yang selalu mengikuti
nafsunya dan jauh dari cahaya Tuhan, sehingga yang terjadi adalah anak – anak
keluarga kurang mampu yang kesulitan mengenyam bangku pendidikan, para pemuda
pengangguran dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Semuanya akibat dari nafsu
kedudiawian manusia (nafs al-ammarah).
Sementara gambaran kaum perempuan
yang seolah hilang dari peradaban manusia, adalah ketika mereka telah
terjerumus dalam jurang kenistaan sehingga tidaklah khayal bahwa kondisi ini
disebut dalam puisi sebagai sebuah teori
pembangunan yang aneh dan kemajuan yang menipu, tatkala kaum perempuan
telah menjauhi hakikat sebagai seorang wanita, dengan menerjang norma – norma
susila yang menjadi fitrah kaum hawa. Perilaku – perilaku tersebut seperti
perempuan yang hanya mengikuti syahwatnya dengan menjual dirinya hanya untuk
kepuasan serta demi mencari kekayaan dengan cara menjual diri, memberikan
tubuhnya kepada laki – laki hidung belang, sebatas melayani cinta palsu dan
penuh dengan kecurigaan. Realitas hidup seperti inilah yang kemudian mereka
(kaum berjilbab) menjadi manusia yang selalu dikambinghitamkan dan selalu
disalahkan.
Maksud dari puisi ini secara
ekstrinsik menggambarkan sisi kehidupan sosial kaum perempuan yang mana dalam
Islam perilaku sehari – hari dalam masyarakat haruslah sangat diperhatikan
terutama dalam masalah berpakaian.
Dari biografi, penjabaran bentuk,
makna intrinsik dan ekstrinsik puisi tentu kita sangat melihat tingkat
religiusitas kehidupan Emha yang tertuang dalam puisinya. Dari biografi
kehidupan terlihat religiusitas Emha yang sangat, religiusitas kehidupan itu seperti tertuang
dalam berbagai karya – karyanya terutama puisi yang tidak jauh berbeda
mengungkapkan mengenai kehidupan manusia dari segi agamisnya. Dari pilihan kata
yang tertuang dalam puisi tergambar jelas religiusitas dengan menggunakan kata
– kata seperti jilbab, hijab, serta mahsyar. Namun, gambaran nyata religiusitas
sosok Emha Ainun Najib terlihat pada makna dari puisi itu sendiri, baik secara
tersurat maupun tersirat.
Nah, sampailah kita pada tahap
penilaian. Setelah melihat analisis dan penafsiran di atas, puisi Bahasa
Kambing Hitam merupakan puisi yang sangat bagus. Dari diksi tidak terlalu sulit
untuk dipahami, tentu dengan bantuan kata – kata yang disisipkan untuk mencari
maknanya. Dari segi irama, rima dan bentuknya telah dilihat bahwa puisi ini
puisi yang indah untuk dilihat karena tak ada bait apalagi untuk dilagukan.
Nah, sekarang dilihat dari religiusitas itu sendiri, puisi ini sangat bagus
karena Emha memunculkan kepribadian ammarah.
0 komentar:
Posting Komentar