Ketapelku berubah
Menjadi Stick Play Station
Oleh: Dieseta Silvi Palupi
Usia saya kini menginjak kepala dua. Sekitar belasan
tahun yang lalu desa ini selalu ramai dengan celotehan teman-teman sebaya saya
yang bermain sesuka hati, berlari kesana kemari. Saat itu banyak sekali
permainan yang menarik dan tidak pernah bosan-bosannya kami untuk melakukannya.
Di situlah tempat kami bisa berkumpul bersama, mengerti watak masing-masing
dari kita, dan toleransi antar sesamapun secara tidak langsung tercipta dari
kebersamaan saat bermain itu. Banyak yang kita perbincangkan saat itu meskipun
hanya bualan-bualan belaka yang kami bicarakan. Tapi bualan-bualan itulah yang
saat ini menjadi kenangan indah yang masih terus bisa kami ingat untuk kemudian
diceritakan kembali.
Semua orang mempunyai kisah masa kecil yang
menyenangkan dan bermacam-macam. Untuk yang mempunyai masa kecil dibawah tahun
duaribuan, mungkin masih mempunyai banyak kenangan tentang permaianan-permainan
tradisional yang menyenangkan dan sangat mempunyai nilai kebersamaan. Namun
untuk yang masa anak-anaknya sudah memasuki tahun dua ribuan, mungkin sudah
jarang yang masih memakai permainan tradisional untuk dipermainkan dengan
sebayanya. Seperti pada judul esai ini, semua permainan itu sekarang tergusur
oleh banyaknya permainan modern yang didesain canggih, instan, mudah dipakai,
lebih bagus, dan tentunya lebih banyak pilihannya. Sebut saja play station, tablet, i-pad, video game, dan parahnya lagi anak usia
dini saat ini sudah banyak yang mengoperasikan hand phone. Ironi sekali melihat mereka yang lebih menggandrungi
permainan-permainan yang sama sekali bukan asli negeri sendiri. Setiap orang
tua menginginkan anak-anakna senang dengan menuruti apa yang diinginkan
anak-anaknya, namun yang sering dilupakan adalah dampak dari kesenangan
permainan-permainan itu. Mereka akan lebih asyik dengan dunia mereka dengan
dunia permainan audio visualnya, sehingga dalam hidup bermasyarakat mereka akan
lebih cenderung bersifat individualis karena tidak terbiasa bermain dengan
banyak orang, rasa toleransi mereka terhadap sesamanyapun juga akan sangat
kurang. Seperti drama yang berjudul “Padang Bulan” karya Ucok Klasta berikut
ini yang akan saya paparkan isi dengan dukungan unsur intrinsik melalui
pendekatan objektif.
Dimulai dari tokoh dan penokohan drama “Padang
Bulan”. Pengarang menggunakan nama-nama tokoh ini dengan istilah-istilah Jawa
yang ada hubungannya dengan permainan saat padang bulan. Yaitu “Padang” yang
artinya terang, “Bulan”, “Jembar” yang artinya luas, dan “Kalangan” yang
artinya lapangan. Serta tokoh-tokoh pendukung cerita yaitu Aki, Nini, Lugu, Ibu
Lugu, pejabat pemerintah kota, politikus, boss, dan petugas kamtib.
Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan dalam drama ini
digambarkan sebagai tokoh-tokoh anak kecil yang tinggal dipedesaan yang selalu
bermain di lapangan saat bulan purnama tiba. Penokohan mereka adalah sosok yang
periang, suka bercanda, gemar bermain permainan tradisional dan setia kawa juga
diperlihatkan dalam penokohan empat bocah ini. Sebagai anak desa mereka begitu
polos, dan banyak sekali permainan tradisional yang bisa meraka mainkan pada
saat padang bulan atau saat bulan purnama.
Aki dan Nini dalam drama Padang Bulan ini
digambarkan sebagai sosok sepasang suami istri yang sudah tua dan tinggal
disebuah rumah kecil namun mempunyai halaman yang luas. Di lapangan depan rumah
merekalah Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan biasanya bermain-main saat padang
bulan tiba. Sosok Aki di dalam drama ini digambarkan suka mendongeng kepada
anak-anak yang sedang bermain saat padang bulan di depan rumahnya. Setiap
padang bulan selalu ada saja cerita yang akan disampaikan Aki kepada anak-anak
itu. Sedangkan sosok Nini di dalam drama ini adalah seorang nenek yang sangat
menyukai anak-anak. Ia sering membuatkan makanan saat anak-anak bermain di
halaman rumahnya kala padang bulan.
Selanjutnya untuk sosok dari Lugu, Ibu Lugu, Pejabat
pemerintah kota, Politikus, Boss, dan Petugas kamtib dalam drama padang bulan
ini adalah orang-orang yang berperan dalam cerita dongeng dari Aki. Mereka
digambarkan sebagai simbol pergeseran zaman dari tradisional ke modern yang
terjadi dengan tidak ramah. Lugu dalam drama ini digambarkan sebagai sosok
seorang anak yang lugu atau polos yang berasal dari desa lalu bepergian ke kota
dan takjub melihat kemegahan kota yang terdiri dari bangunan-bangunan gedung
yang tinggi dan rumah-rumah dan mobil=mobil mewah yang tidak pernah ia temui di
desanya. Di sana ia merasakan betapa sulitnya mencari sesuap nasi. Karena orang
desa seperti dia yang ke kota hanya bisa menjadi peminta-minta. Menjadi
peminta-mintapun di kota tidaklah mudah, karena sosok orang-orang kota dalam
drama Padang Bulan digambarkan sebagai sosok yang angkuh dan licik. Seperti
yang tergambar pada sosok Pejabat pemerintah kota, Politikus, Boss, dan Petugas
kamtib. Mereka adalah orang-orang petinggi yang semena-mena terhadap rakyat
kecil. Sifat angkuh, sombong, kasar, dan licik yang tergambar pada sosok mereka
seolah memberikan simbol protes pengarang kepada para petinggi Negara bahwa
sudah saatnya mereka tidak memandang rakyat kecil sebelah mata. Seperti pada
kutipan dramanya berikut,
”Pejabat, politikus dan boss
(masuk panggung) keluar dari restoran habis meeting”
Berjalan hanya melewati lugu
saja sambil bercakap-cakap.
Boss :Sekali lagi ini bukan suap Pak / Bu … Yah, sekedar
silaturahmi untuk mempererat hubungan antara kita, kalangan investor,
pemerintah kota dan dewan kota.
Pejabat, Politikus : Harmonis. Ya ya ya …
Boss :Dengan demikian akan terciptalah kerjasama propesional
yang kompak lagi saling menguntungkan.
Pejabat, Politikus : Harmonis. Ya ya ya …
Boss :
Dengan demikian kota akan terus
membangun, kita-kita untung, dus segenap warga terse …
Semua : Nyuuummm!
Pejabat, Politikus :Harmonis. Ya ya ya …
Boss :Dengan
demikian bla bla bla bla …
Pejabat, Politikus
: Ya ya ya bla bla bla
bla …
Koor :Bla
bla bla bla bla …
Pejabat, politikus dan boss keluar panggung.
Petugas kabtib masuk panggung, mendatangi lugu.
Kamtib :He!
Dilarang Ngemis tahu? Dlarang menggelandang tahu?! Kamu ini mengganggu
pemandangan! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton kelihatan) ada gelandangannya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton kelihatan) ada pengangguranya! Kota ini tak
boleh (Sambil menengok penonton
kelihatan) ada kemiskinannya Tahu ?! Tahu ?! Tahu?!
Lugu :Saya bukan gelandangan! Saya Lugu!
Kamtib :Lha iya ! Wong Lugu tur
gelandangan! Ayo ikut aku!
Lugu :Tidak
mau!
Kamtib
:Heh
… Ngelawan kamu, ha?! Tak seret
sisan kowe!
Lugu :Tidak
mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya manusia! Saya bukan binatang!
Kamtib dan lugu bergelut. Lugu diseret-seret. Lugu
meronta-ronta.
Sedikit cuplikan
naskah drama Padang bulan di atas, sudah tergambar jelas ketidakpedulian
orang-orang yang memegang jabatan kepada orang biasa yang tanpa jabatan. Di
akhir kisah drama Padang Bulan ini, ternyata mau tidak mau bocah-bocah yang
bermain saat padang bulan yaitu, Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan pun juga
ikut terseret ke lembah modernitas zaman. Hal ini sangat jelas bahwa
kecanggihan, merebut budaya tradisional yang dalam drama ini dibahas pada
permainan tradisionalnya secara berangsur-angsur dan dengan cepat merambah ke
semua kalangan tanpa pandang bulu. Memang jika kita semua amati, inilah yang
saat ini terjadi pada anak-anak kita, adik-adik kita, desa kita, dan bahkan
bangsa kita. Merdeka bukan berarti melupakan budaya tradisi dengan menggantinya
menggunakan kecanggihan milenium bukan?
0 komentar:
Posting Komentar