Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Ketapelku berubah Menjadi Stick Play Station



Ketapelku berubah Menjadi Stick Play Station
Oleh: Dieseta Silvi Palupi
 
Usia saya kini menginjak kepala dua. Sekitar belasan tahun yang lalu desa ini selalu ramai dengan celotehan teman-teman sebaya saya yang bermain sesuka hati, berlari kesana kemari. Saat itu banyak sekali permainan yang menarik dan tidak pernah bosan-bosannya kami untuk melakukannya. Di situlah tempat kami bisa berkumpul bersama, mengerti watak masing-masing dari kita, dan toleransi antar sesamapun secara tidak langsung tercipta dari kebersamaan saat bermain itu. Banyak yang kita perbincangkan saat itu meskipun hanya bualan-bualan belaka yang kami bicarakan. Tapi bualan-bualan itulah yang saat ini menjadi kenangan indah yang masih terus bisa kami ingat untuk kemudian diceritakan kembali.
Semua orang mempunyai kisah masa kecil yang menyenangkan dan bermacam-macam. Untuk yang mempunyai masa kecil dibawah tahun duaribuan, mungkin masih mempunyai banyak kenangan tentang permaianan-permainan tradisional yang menyenangkan dan sangat mempunyai nilai kebersamaan. Namun untuk yang masa anak-anaknya sudah memasuki tahun dua ribuan, mungkin sudah jarang yang masih memakai permainan tradisional untuk dipermainkan dengan sebayanya. Seperti pada judul esai ini, semua permainan itu sekarang tergusur oleh banyaknya permainan modern yang didesain canggih, instan, mudah dipakai, lebih bagus, dan tentunya lebih banyak pilihannya. Sebut saja play station, tablet, i-pad, video game, dan parahnya lagi anak usia dini saat ini sudah banyak yang mengoperasikan hand phone. Ironi sekali melihat mereka yang lebih menggandrungi permainan-permainan yang sama sekali bukan asli negeri sendiri. Setiap orang tua menginginkan anak-anakna senang dengan menuruti apa yang diinginkan anak-anaknya, namun yang sering dilupakan adalah dampak dari kesenangan permainan-permainan itu. Mereka akan lebih asyik dengan dunia mereka dengan dunia permainan audio visualnya, sehingga dalam hidup bermasyarakat mereka akan lebih cenderung bersifat individualis karena tidak terbiasa bermain dengan banyak orang, rasa toleransi mereka terhadap sesamanyapun juga akan sangat kurang. Seperti drama yang berjudul “Padang Bulan” karya Ucok Klasta berikut ini yang akan saya paparkan isi dengan dukungan unsur intrinsik melalui pendekatan objektif.
Drama “Padang Bulan” karya Ucok Klasta ini menarik untuk saya ulas kembali dalam sebuah esai, karena saya rasa ceritanya mengingatkan kepada masa kacil orang-orang yang tinggal di desa khususnya Jawa saat bulan purnama tiba. Yaitu bermain pemainan-permainan tradisional. Saya masih sempat merasakan kesenangan itu, dan setelah saya membaca drama ini saya semakin miris melihat masa kanak-kanak anak sekarang yang sebagian besar sudah tidak memainkannya lagi atau bahkan mereka tidak mengenal permainan-permainan itu lagi. Seperti yang digambarkan dalam drama ini. Inti ceritanya hanya tempak sedikir dibagian akhir cerita, namun justru disitulah letak klimaks sekaligus maksud dari cerita yang ingin disampaikan penulis.
Dimulai dari tokoh dan penokohan drama “Padang Bulan”. Pengarang menggunakan nama-nama tokoh ini dengan istilah-istilah Jawa yang ada hubungannya dengan permainan saat padang bulan. Yaitu “Padang” yang artinya terang, “Bulan”, “Jembar” yang artinya luas, dan “Kalangan” yang artinya lapangan. Serta tokoh-tokoh pendukung cerita yaitu Aki, Nini, Lugu, Ibu Lugu, pejabat pemerintah kota, politikus, boss, dan petugas kamtib.
Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan dalam drama ini digambarkan sebagai tokoh-tokoh anak kecil yang tinggal dipedesaan yang selalu bermain di lapangan saat bulan purnama tiba. Penokohan mereka adalah sosok yang periang, suka bercanda, gemar bermain permainan tradisional dan setia kawa juga diperlihatkan dalam penokohan empat bocah ini. Sebagai anak desa mereka begitu polos, dan banyak sekali permainan tradisional yang bisa meraka mainkan pada saat padang bulan atau saat bulan purnama.
Aki dan Nini dalam drama Padang Bulan ini digambarkan sebagai sosok sepasang suami istri yang sudah tua dan tinggal disebuah rumah kecil namun mempunyai halaman yang luas. Di lapangan depan rumah merekalah Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan biasanya bermain-main saat padang bulan tiba. Sosok Aki di dalam drama ini digambarkan suka mendongeng kepada anak-anak yang sedang bermain saat padang bulan di depan rumahnya. Setiap padang bulan selalu ada saja cerita yang akan disampaikan Aki kepada anak-anak itu. Sedangkan sosok Nini di dalam drama ini adalah seorang nenek yang sangat menyukai anak-anak. Ia sering membuatkan makanan saat anak-anak bermain di halaman rumahnya kala padang bulan.
Selanjutnya untuk sosok dari Lugu, Ibu Lugu, Pejabat pemerintah kota, Politikus, Boss, dan Petugas kamtib dalam drama padang bulan ini adalah orang-orang yang berperan dalam cerita dongeng dari Aki. Mereka digambarkan sebagai simbol pergeseran zaman dari tradisional ke modern yang terjadi dengan tidak ramah. Lugu dalam drama ini digambarkan sebagai sosok seorang anak yang lugu atau polos yang berasal dari desa lalu bepergian ke kota dan takjub melihat kemegahan kota yang terdiri dari bangunan-bangunan gedung yang tinggi dan rumah-rumah dan mobil=mobil mewah yang tidak pernah ia temui di desanya. Di sana ia merasakan betapa sulitnya mencari sesuap nasi. Karena orang desa seperti dia yang ke kota hanya bisa menjadi peminta-minta. Menjadi peminta-mintapun di kota tidaklah mudah, karena sosok orang-orang kota dalam drama Padang Bulan digambarkan sebagai sosok yang angkuh dan licik. Seperti yang tergambar pada sosok Pejabat pemerintah kota, Politikus, Boss, dan Petugas kamtib. Mereka adalah orang-orang petinggi yang semena-mena terhadap rakyat kecil. Sifat angkuh, sombong, kasar, dan licik yang tergambar pada sosok mereka seolah memberikan simbol protes pengarang kepada para petinggi Negara bahwa sudah saatnya mereka tidak memandang rakyat kecil sebelah mata. Seperti pada kutipan dramanya berikut,
”Pejabat, politikus dan boss (masuk panggung) keluar dari restoran habis meeting”
Berjalan hanya melewati lugu saja sambil bercakap-cakap.
Boss                                        :Sekali lagi ini bukan suap Pak / Bu … Yah, sekedar silaturahmi untuk mempererat hubungan antara kita, kalangan investor, pemerintah kota dan dewan kota.
Pejabat, Politikus                  : Harmonis. Ya ya ya …
Boss                                        :Dengan demikian akan terciptalah kerjasama propesional yang kompak lagi saling menguntungkan.
Pejabat, Politikus                  : Harmonis. Ya ya ya …
Boss                                        : Dengan demikian kota akan terus membangun, kita-kita untung, dus segenap warga terse …
Semua                                    : Nyuuummm!
Pejabat, Politikus                  :Harmonis. Ya ya ya …
Boss                                       :Dengan demikian bla bla bla bla …
Pejabat, Politikus                  : Ya ya ya bla bla bla bla …
Koor                                      :Bla bla bla bla bla …
Pejabat, politikus dan boss keluar panggung.
Petugas kabtib masuk panggung, mendatangi lugu.
Kamtib                                   :He! Dilarang Ngemis tahu? Dlarang menggelandang tahu?! Kamu ini mengganggu pemandangan! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton  kelihatan) ada gelandangannya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton  kelihatan) ada pengangguranya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton  kelihatan) ada kemiskinannya Tahu ?! Tahu ?! Tahu?!
Lugu                                       :Saya bukan gelandangan! Saya Lugu!
Kamtib                                  :Lha iya ! Wong Lugu tur gelandangan! Ayo ikut aku!
Lugu                                      :Tidak mau!
Kamtib                                  :Heh … Ngelawan kamu, ha?! Tak seret sisan kowe!
Lugu                                       :Tidak mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya manusia! Saya bukan binatang!
Kamtib dan lugu bergelut. Lugu diseret-seret. Lugu meronta-ronta.
Sedikit cuplikan naskah drama Padang bulan di atas, sudah tergambar jelas ketidakpedulian orang-orang yang memegang jabatan kepada orang biasa yang tanpa jabatan. Di akhir kisah drama Padang Bulan ini, ternyata mau tidak mau bocah-bocah yang bermain saat padang bulan yaitu, Padang, Bulan, Jembar, dan Kalangan pun juga ikut terseret ke lembah modernitas zaman. Hal ini sangat jelas bahwa kecanggihan, merebut budaya tradisional yang dalam drama ini dibahas pada permainan tradisionalnya secara berangsur-angsur dan dengan cepat merambah ke semua kalangan tanpa pandang bulu. Memang jika kita semua amati, inilah yang saat ini terjadi pada anak-anak kita, adik-adik kita, desa kita, dan bahkan bangsa kita. Merdeka bukan berarti melupakan budaya tradisi dengan menggantinya menggunakan kecanggihan milenium bukan?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar