Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kontroversi dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban



Kontroversi dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
 Oleh: Aulia Kurniawati

Novel yang sempat menuai kritik dan kecaman dari Majelis Ulama Indonesia nampak berbeda dengan novel-novel bertemakan religi lainnya. Jika novel-novel religi Islam lainnya lebih mengedepankan sikap hegemonik dan superioritas seperti “Ayat-ayat Cinta” yang berujung pada isu poligami dan jatuh cintanya seorang wanita Kristen Koptik Mesir kepada seorang lelaki Muslim Indonesia bernama Fakhri, yang mengenyam studi di Al Ahzar Mesir yang sudah memperistri seorang muslim sebelumnya, maka novel “Perempuan Berkalung Sorban” lebih mengedepankan sikap-sikap kritis terhadap fanatisme dalam keberagamaan. Bukan hanya itu, novel ini hendak menyampaikan pesan tentang realita sosial dan keagamaan dimana terjadinya tarik-menarik antara modernisme dan konservatifisme, antara dinamika tafsir terhadap teks Kitab Suci dan sikap stagnan menerima tafsir yang telah diterima selama berabad-abad tanpa melihat konteks zaman yang berubah.
Terkait kontroversi novel tersebut, beberapa pandangan negatif muncul dari beberapa institusi religius yang diwakili oleh Ali Mustafa Yakub. Sebagaimana dikutip Suaramedia.com, “Bagi Ali Mustafa Yakub yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada dua hal yang menyakitkan umat Islam dalam novel itu. Pertama, pencitraan Islam yang sangat buruk. Seolah-olah Islam mengajarkan yang tidak sesuai perkembangan zaman, misalnya, seorang perempuan tidak boleh keluar rumah untuk belajar dan sebagainya sesuai dengan mahromnya dan sebagainya itu. Kedua, penggambaran salah tentang pesantren. "Pencitraan tentang pesantren sangat disayangkan sekali, bahkan saya berani mengatakan itu bukan hanya merusak citra saja tapi memfitnah itu," kata pemimpin Pondok Pesantren Daarus Sunna tersebut. Pandangan di atas menuai  tanggapan pula dari masyarakat. Saya mengutip dari salah satu blog sebagai berikut: “Alih-alih menangkap kesimpulan besarnya, tetapi justru MUI membuat pencitraan sendiri kepada suatu karya. Novel sama seperti buku, ada tema dan garis besar yang hendak diwacanakan. Untuk menilai suatu karya, kita harus melihat itu semua. Jelas-jelas novel Perempuan Berkalung Sorban ingin mengemukakan suatu permasalahan yang semestinya segera diselesaikan dalam konteks sosial umat Islam, bahwa masih ada saja segelintir orang atau oknum dari kaum muslimin yang mempraktikkan budaya-budaya feodalisme, seperti melarang perempuan untuk menuntut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seharusnya MUI bisa melihat tema besarnya, tidak semua tokoh dalam novel itu menyatakan bahwa perempuan itu sebagai kelas dua, itu namanya pernyataan generalisasi belaka. Justru maksudnya jelas bahwa di satu sisi ada tokoh yang menentang pandangan konservatif seorang muslim yang melarang anak perempuannya keluar rumah. Dan ini yang sebenarnya arah yang dituju, bahwa sikap melarang perempuan keluar rumah untuk menuntut ilmu dan bekerja adalah salah dalam Islam, bukan penyesatan dogma teologis” ( http:// kupretist.blogspot.com/2009/02/ perempuan berkalung-sorban- bukan-novel.html ).
Bagi saya sendiri, novel ini setidaknya menarik perhatian saya dikarenakan dua hal :
1. Otokritik. Pergulatan seorang wanita Islam untuk melawan otoritarianisme yang masih begitu kuat mendominasi masyarakat patriarkhi dan semangat untuk meraih ilmu tanpa harus dibayang-bayangi oleh berbagai ketakutan yang dibungkus dengan ungkapan-ungkapan religius. Sementara novel-novel berdimensi religius Islami lainnya mengedepankan hegemoni religius dan dakwah maka novel ini lebih berani menyoroti realita keberagamaan masyarakat kita. Saya tidak melihat bahwa novel ini hendak melecehkan Islam dan memberikan stigma negatif tentang Islam sebagai agama yang anti kemajuan. Justru saya melihat bahwa novel ini hendak melakukan kritik internal atas cara beragama yang didominasi tafsir-tafsir konservatif yang tentu saja merugikan Islam dan membuat Islam mendapat stigma negatif. Bahkan reaksi berlebihan terhadap novel ini dapat memperkuat stigma negatif tersebut. Saya juga senang bisa melihat tayangan film yang diadaptasi dari novel ini di stasiun televisi swasta walaupun cukup larut dan tidak banyak yang menontonnya. Setidaknya televisi swasta tidak terintimidasi oleh berbagai kontroversi dan kritik atas substansi novel maupun film tersebut.
2. Adegan yang tidak munafik. Dalam novel tersebut pada akhirnya Annisa menerima cinta dan pinangan Khudori walaupun Annisa harus melewati berbagai kepahitan hidup akibat menerima perjodohan yang dilakukan orang tuannya dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya. Dalam novel tersebut, ada hal yang tidak pernah saya baca dalam novel-novel religi lainnya, dimana seorang perempuan berjilbab saat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kepada suaminya, mulai melepaskan satu persatu kancing baju suaminya dan adegan inipun diakhiri dengan adegan lain. Bagi saya adegan ini bukan sesuatu yang menjijikkan dan melecehkan nilai-nilai religius, melainkan menampilkan realita apa adanya sebagai konsekuensi cinta kasih akan bermuara dalam hubungan yang intim antara suami dan istri (yang tentu saja adegan selanjutnya tidak perlu diperlihatkan, sebagaimana beberapa novel Barat atau novel Indonesia bergenre mistik yang kerap mengumbar sensualitas). Adegan lainnya yang mencerminkan kegelisahan Annisa dan pemberontakan Annisa terhadap kemunafikan saat dia menihilkan pemahaman Khudori yang mengatasnamakan Tuhan dan memberikan nasihat atas penderitaan-penderitaan dan kesabaran Annisa selama ini menerima perlakuan yang tidak wajar dari suaminya dan lingkungannya.
Dengan membaca novel ini, saya berharap siapapun dapat mengambil nilai dan manfaatnya bagi keberagamaan kita selama ini. Agama seharusnya menjadi rahmat dan menjadi alat pembebasan dari ketertindasan serta pencerahan spiritual intelektual. Sikap-sikap fanatik, buta, dan anti perubahan, anti pembaruan, anti eksistensi agama lain, anti eksistensi peradaban bangsa lain, sesungguhnya memerosotkan hakikat agama menjadi penjara jiwa dan semacam candu buat para penganutnya. Ini juga berpengaruh dalam memerdekakan bangsa kita. Merdeka dari apa? Merdeka dari penjara pemahaman atas perilaku keberagamaan kita yang fanatik, buta, anti pengetahuan, anti perubahan, anti pembaruan, lebih mengedepankan sikap-sikap emosional dan bertindak berdasarkan irrasionalitas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar