Kontroversi dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban
Oleh: Aulia Kurniawati
Novel yang sempat menuai kritik dan kecaman dari
Majelis Ulama Indonesia nampak berbeda dengan novel-novel bertemakan religi
lainnya. Jika novel-novel religi Islam lainnya lebih mengedepankan sikap
hegemonik dan superioritas seperti “Ayat-ayat Cinta” yang berujung pada isu poligami
dan jatuh cintanya seorang wanita Kristen Koptik Mesir kepada seorang lelaki
Muslim Indonesia bernama Fakhri, yang mengenyam studi di Al Ahzar Mesir yang
sudah memperistri seorang muslim sebelumnya, maka novel “Perempuan Berkalung
Sorban” lebih mengedepankan sikap-sikap kritis terhadap fanatisme dalam
keberagamaan. Bukan hanya itu, novel ini hendak menyampaikan pesan tentang
realita sosial dan keagamaan dimana terjadinya tarik-menarik antara modernisme
dan konservatifisme, antara dinamika tafsir terhadap teks Kitab Suci dan sikap
stagnan menerima tafsir yang telah diterima selama berabad-abad tanpa melihat
konteks zaman yang berubah.
Terkait kontroversi novel tersebut, beberapa
pandangan negatif muncul dari beberapa institusi religius yang diwakili oleh
Ali Mustafa Yakub. Sebagaimana dikutip Suaramedia.com,
“Bagi Ali Mustafa Yakub yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI), ada dua hal yang menyakitkan umat Islam dalam novel itu.
Pertama, pencitraan Islam yang sangat buruk. Seolah-olah Islam mengajarkan yang
tidak sesuai perkembangan zaman, misalnya, seorang perempuan tidak boleh keluar
rumah untuk belajar dan sebagainya sesuai dengan mahromnya dan sebagainya itu.
Kedua, penggambaran salah tentang pesantren. "Pencitraan tentang pesantren
sangat disayangkan sekali, bahkan saya berani mengatakan itu bukan hanya merusak
citra saja tapi memfitnah itu," kata pemimpin Pondok Pesantren Daarus
Sunna tersebut. Pandangan di atas menuai tanggapan pula dari masyarakat. Saya mengutip
dari salah satu blog sebagai berikut: “Alih-alih menangkap kesimpulan besarnya,
tetapi justru MUI membuat pencitraan sendiri kepada suatu karya. Novel sama seperti
buku, ada tema dan garis besar yang hendak diwacanakan. Untuk menilai suatu
karya, kita harus melihat itu semua. Jelas-jelas novel Perempuan Berkalung
Sorban ingin mengemukakan suatu permasalahan yang semestinya segera
diselesaikan dalam konteks sosial umat Islam, bahwa masih ada saja segelintir
orang atau oknum dari kaum muslimin yang mempraktikkan budaya-budaya feodalisme,
seperti melarang perempuan untuk menuntut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Seharusnya MUI bisa melihat tema besarnya, tidak semua tokoh dalam novel itu
menyatakan bahwa perempuan itu sebagai kelas dua, itu namanya pernyataan generalisasi
belaka. Justru maksudnya jelas bahwa di satu sisi ada tokoh yang menentang pandangan
konservatif seorang muslim yang melarang anak perempuannya keluar rumah. Dan ini
yang sebenarnya arah yang dituju, bahwa sikap melarang perempuan keluar rumah
untuk menuntut ilmu dan bekerja adalah salah dalam Islam, bukan penyesatan
dogma teologis” ( http:// kupretist.blogspot.com/2009/02/
perempuan berkalung-sorban- bukan-novel.html ).
1.
Otokritik. Pergulatan seorang wanita Islam untuk melawan otoritarianisme yang
masih begitu kuat mendominasi masyarakat patriarkhi dan semangat untuk meraih
ilmu tanpa harus dibayang-bayangi oleh berbagai ketakutan yang dibungkus dengan
ungkapan-ungkapan religius. Sementara novel-novel berdimensi religius Islami lainnya
mengedepankan hegemoni religius dan dakwah maka novel ini lebih berani
menyoroti realita keberagamaan masyarakat kita. Saya tidak melihat bahwa novel
ini hendak melecehkan Islam dan memberikan stigma negatif tentang Islam sebagai
agama yang anti kemajuan. Justru saya melihat bahwa novel ini hendak melakukan kritik
internal atas cara beragama yang didominasi tafsir-tafsir konservatif yang
tentu saja merugikan Islam dan membuat Islam mendapat stigma negatif. Bahkan reaksi
berlebihan terhadap novel ini dapat memperkuat stigma negatif tersebut. Saya juga
senang bisa melihat tayangan film yang diadaptasi dari novel ini di stasiun televisi
swasta walaupun cukup larut dan tidak banyak yang menontonnya. Setidaknya televisi
swasta tidak terintimidasi oleh berbagai kontroversi dan kritik atas substansi
novel maupun film tersebut.
2.
Adegan yang tidak munafik. Dalam novel tersebut pada akhirnya Annisa menerima
cinta dan pinangan Khudori walaupun Annisa harus melewati berbagai kepahitan
hidup akibat menerima perjodohan yang dilakukan orang tuannya dengan seorang
lelaki yang tidak dicintainya. Dalam novel tersebut, ada hal yang tidak pernah
saya baca dalam novel-novel religi lainnya, dimana seorang perempuan berjilbab
saat melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri kepada suaminya, mulai
melepaskan satu persatu kancing baju suaminya dan adegan inipun diakhiri dengan
adegan lain. Bagi saya adegan ini bukan sesuatu yang menjijikkan dan melecehkan
nilai-nilai religius, melainkan menampilkan realita apa adanya sebagai konsekuensi
cinta kasih akan bermuara dalam hubungan yang intim antara suami dan istri
(yang tentu saja adegan selanjutnya tidak perlu diperlihatkan, sebagaimana beberapa
novel Barat atau novel Indonesia bergenre mistik yang kerap mengumbar
sensualitas). Adegan lainnya yang mencerminkan kegelisahan Annisa dan pemberontakan
Annisa terhadap kemunafikan saat dia menihilkan pemahaman Khudori yang
mengatasnamakan Tuhan dan memberikan nasihat atas penderitaan-penderitaan dan kesabaran
Annisa selama ini menerima perlakuan yang tidak wajar dari suaminya dan lingkungannya.
Dengan membaca novel ini, saya berharap siapapun
dapat mengambil nilai dan manfaatnya bagi keberagamaan kita selama ini. Agama
seharusnya menjadi rahmat dan menjadi alat pembebasan dari ketertindasan serta
pencerahan spiritual intelektual. Sikap-sikap fanatik, buta, dan anti
perubahan, anti pembaruan, anti eksistensi agama lain, anti eksistensi peradaban
bangsa lain, sesungguhnya memerosotkan hakikat agama menjadi penjara jiwa dan
semacam candu buat para penganutnya. Ini juga berpengaruh dalam memerdekakan bangsa
kita. Merdeka dari apa? Merdeka dari penjara pemahaman atas perilaku
keberagamaan kita yang fanatik, buta, anti pengetahuan, anti perubahan, anti
pembaruan, lebih mengedepankan sikap-sikap emosional dan bertindak berdasarkan
irrasionalitas.
0 komentar:
Posting Komentar