Emansipasi Generasi
Penerus Kartini yang Hidup di Tengah Ketidakadilan
Oleh: Aulia Kurniawati
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta –
WS Rendra
Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari Kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau relakan dirimu dibikin korban
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
karena sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kau rela dibikin korban
Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu
Dan kau Dasima
Khabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi
Sambil celananya basah
Dan tubuhnya lemas
Terkapai di sampingmu
Ototnya keburu tak berdaya
Politisi dan pegawai negeri
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
Dan telah lama sia-sia cari kerja
Ijazah sekolah tanpa guna
Para kepala jawatan
Akan membuka kesempatan
Kalau kau membuka kesempatan
Kalau kau membuka paha
Sedang di luar pemerintahan
Perusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak ada
Revolusi para pemimpin
Adalah revolusi dewa-dewa
Mereka berjuang untuk syurga
Dan tidak untuk bumi
Revolusi dewa-dewa
Tak pernah menghasilkan
Lebih banyak lapangan kerja
Bagi rakyatnya
Kalian adalah sebahagian kaum
penganggur yang mereka ciptakan
Namun
sesalkan mana yang kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus asa
Dan kau rela dibikin korban
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Berhentilah tersipu-sipu
Ketika kubaca di koran
Bagaimana badut-badut
mengganyang kalian
Menuduh kalian sumber bencana negara
Aku jadi murka
Kalian adalah temanku
Ini tak bisa dibiarkan
Astaga
Mulut-mulut badut
Mulut-mulut yang latah bahkan seks
mereka politikkan
Saudari-saudariku
Membubarkan kalian
Tidak semudah membubarkan partai politik
Mereka harus beri kalian kerja
Mereka harus pulihkan derajat kalian
Mereka harus ikut memikul kesalahan
Saudari-saudariku
Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu
dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Katakanlah kepada mereka
Menganjurkan mengganyang
pelacuran
Tanpa menganjurkan
Mengahwini para bekas pelacur
Adalah omong kosong
Pelacur-pelacur kota Jakarta
Saudari-saudariku
Jangan melulu keder pada lelaki
Dengan mudah
Kalian bisa telanjangi kaum palsu
Naikkan tarifmu dua kali
Dan mereka akan klabakan
Mogoklah satu bulan
Dan mereka akan puyeng
Lalu mereka akan berzina
Dengan isteri saudaranya
Puisi Rendra seringkali berlatar
belakang kehidupan kemanusiaan yang bertemakan sosial. Hal utama yang menjadi
unsur pokok dalam puisi ini adalah pengangkatan derajat perempuan. Khususnya,
perempuan yang tersisih dalam kehidupan yang berlatar belakang dipandang
negatif oleh sebagian besar masyarakat. Tokoh utama dalam karya sastra tidak
hanya mewakili pemikiran pengarang tetapi juga pengorbanan dari pengarang untuk
menyebarkan pengaruhnya. Meski demikian puisi bukanlah pengganti filsafat yang
menyebarkan pengaruh dan membuahkan pemikiran besar bagi penikmatnya. Karena
dengan demikian puisi akan kehilangan nilai-nilai artistiknya sebagai puisi dan
karya seni.
Dalam puisi ini tokoh utama yang diangkat
oleh Rendra merupakan seorang perempuan yang selama ini dianggap sebelah mata
oleh masyarakat. Begitu mendengar kata “pelacur” yang selama ini identik dengan
seorang perempuan yang tidak bermoral, kehidupan malam yang gemerlap, dan
konsep seksual yang negatif. Itulah yang dimaksudkan sebagai citraan dalam
puisi.
Pelacur-pelacur Kota Jakarta
Dari Kelas tinggi dan kelas rendah
Telah diganyang
Telah haru-biru
Mereka kecut
Keder
Terhina dan tersipu-sipu
Dengan citraan yang ada kita bisa
melihat adanya derajat yang ditujukan oleh penyair yang merupakan tingkatan
sosial yang mampu dicapai oleh seorang wanita tuna susila. Pemaknaan dari diksi
“pelacur” akan lebih mempertegas puisi diatas adalah kehidupan para pelacur
yang hidupnya penuh dengan ketakutan akan hukum yang tidak berpihak kepadanya.
Mereka malu mengakui pekerjaannya yang dipandang hina oleh kontruksi sosial dan
norma masyarakat. Bahkan begitu juga dengan anak-anak mereka pun akan merasakan
hal yang sama dalam masyarakat.
“Kelas tinggi” adalah wakil dari
mereka (pelacur) yang berselubung dibawah kehormatan. Dia tidak menjual dirinya
secara langsung melainkan hanya dengan seorang birokrat saja dan seorang yang
mempunyai peran dan juga “uang” lebih yang menjamin kehidupannya yang mewah.
Melalui puisi ini Rendra
menampilkan sebuah relita kekejaman yang terjadi pada wanita. Rendra
memanfaatkan kata “pelacur” bukan hanya mempunyai arti sebatas “pelacur”. Namun
pelacur dalam puisi ini diangkat sebagai sebuah kekuatan yang tersembunyi
dibalik kekejaman dan ketidakadilan yang dialami oleh wanita. Puisi ini
merupakan bentuk transformasi dari realita kehidupan sosial yang ada dalam
kehidupan yang sebenarnya.
Penggambaran deiksis persona “pelacur”
(orang ketiga pasti) menunjukkan adanya agen atau pelaku yang digambarkan dalam
puisi tersebut adalah orang lain yang digambarkan oleh penyair. Sedangkan
deiksis keruangan dan kewaktuan melibatkan penggambaran situasi dan latar yang
ada pada puisi itu merupakan gambaran sosial dalam negeri ini. Sedangkan
deiksis yang menggambarkan keruangan secara pasti disebutkan yaitu “Jakarta”
yang identik dengan kemegahan, kemewahan, dan merupakan pusat dari segala
bidang pencaharian. Dengan menggunakan kata Jakarta, Rendra memberikan kita
pesan bahwa tidak selamanya kota yang besar mempunyai tingkat kesejahteraan
yang tinggi.
Sesalkan mana yang mesti
kausesalkan
Tapi jangan kau lewat putus
asa
Dan kau relakan dirimu
dibikin korban
Potongan puisi tersebut menggambarkan sebuah ajakan untuk tidak
menyesal dengan apa yang telah terjadi namun juga agar tidak pasrah dengan
keadaan yang membuatnya menjadi korban dari ketidakadilan. Penekanan kata
“korban” yang selama ini selalu terjadi kepada kaum wanita. Hubungan yang dapat
ditunjukkan dengan penggambaran deiksis persona dan deiksis keruangan adalah
kaitan kejahatan yang digambarkan dalam kehidupan ibu kota yang dipenuhi dengan
hedonism dan kesenjangan sosial
Emansipasi wanita telah ada di
Indonesia sejak adanya perlawanan yang dilakukan oleh R.A Kartini kepada tataran
masyarakat saat itu. Pada masa itu pendidikan bagi seorang wanita Jawa dianggap
tabu dan melanggar nilai-nilai. Sedangkan yang dimaksud perjuangan wanita dalam
puisi ini adalah seorang wanita yang terbelenggu oleh status sosial yang
dianggap negatif oleh masyarakat. Namun Rendra dengan puisi ini mampu
memunculkan sosok pelacur sebagai pendobrak kebenaran yang selama ini
tersembunyi rapat dibalik tirai kelam gedung-gedung birokrasi yang melibatkan
kaum wanita di dalamnya dalam tanda kutip sebagai pemuas nafsu seksual
sementara.
Dalam diri tiap pengarang terdapat
dunia kreatifitas dengan unsur-unsur imajinatif, penghayalan serta pembakuan
kata-kata yang berbeda. Hal itu tidak lepas dari latar belakang pengarang yang
memiliki keluputan dan ketegangan yang ada dan terjadi dalam kenyataan sosial
masyarakat. Kenyataan sosial masyarakat mempengaruhi pengarang dalam
menciptakan suatu karya terkait dengan hubungan intertekstual teks yang
berkaitan dengan hipogram dalam teks puisi tersebut. Kaitan yang ada dalam
sebuah teks terhadap lingkungan berupa aspek mimesis yang ada dalam tiap karya
sastra termasuk puisi.
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Dengan pemilihan kata “Sanggul kembali rambutmu” merupakan sebuah
ketidaklangsungan ekspresi yang diciptakan Rendra untuk mengungkapkan ajakannya
terhadap wanita untuk mengatur dan mengerahkan kekuatan yang dimilikinya.
Sanggul juga melambangkan keindahan bagi seorang wanita merupakan sebuah model
dalam puisi untuk mendeskripsikan wanita Jawa kuno yang mempunyai kedudukan
yang tinggi dan terpandang. Pengulangan kalimat “pelacur-pelacur Kota Jakarta”
merupakan aspek yang digunakan untuk memperkuat perasaan yang digambarkan
penyair dalam puisinya.
Sarinah
Katakan kepada mereka
Bagaimana kau dipanggil ke
kantor menteri
Bagaimana ia bicara panjang
lebar kepadamu
Tentang perjuangan nusa
bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung
pangkal
Ia sebut kau inspirasi
revolusi
Sambil ia buka kutangmu
Dengan pilihan kata “Sarinah” Rendra mengemukakan bahwa masih ada
banyak wanita pribumi yang terbelenggu dalam kehidupan yang gelap. Kritikan
yang di ungkapkan Rendra begitu lugas dengan gambaran yang mampu membuat setiap
pembaca mengerti apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Yang terpenting dalam
puisi ini Rendra mengungkapkan bagaimana para penguasa melakukan tipu dayanya
terhadap wanita dan memperalatnya untuk menjadi seorang pemuas nafsu yang ia
inginkan.
Selain dengan nama Sarinah Rendra
juga menunjuk nama “Dasima” untuk mempertegas arti pada bait yang sebelumnya.
Penggambaran tokoh Dasima mempunyai karakter yang lebih kuat dari pada Sarinah.
Sungguh sangat menyakitkan hidup yang memalukan ulah para birokrasi kita yang
digambarkan oleh Rendra. Dengan semaunya mereka meneriakkan kebenaran tetapi
yang justru dilakukan oleh para pemegang kekuasaan adalah melanggarnya.
Dan kau Dasima
Kabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin
revolusi
Secara bergiliran memelukmu
Dasima yang digambarkan dalam bait di atas jelas adalah sosok yang
terjebak dalam gemelut permainan cinta kemunafikan sang pemimpin revolusi yang
bergantian menikmati tubuhnya. Makna yang lain adalah gambaran negeri kita yang
diperalat dan dikuras habis kekayaannya oleh bangsa lain namun dengan dalih
memberikan kerjasama dan menjalin tali persaudaraan. Kebodohan para penguasa
yang menjadikan negeri ini sebagai barang dagangan yang diumbar-umbarkan kepada
orang lain dengan penawaran yang tinggi demi kepuasannya sebagaimana seorang
calo yang menawarkan dengan harga yang tinggi seperti pada potongan bait
dibawah ini:
Politisi dan pegawai negeri
Adalah caluk yang rapi
Kongres-kongres dan konferensi
Tak pernah berjalan tanpa kalian
Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’
Lantaran kelaparan yang menakutkan
Kemiskinan yang mengekang
0 komentar:
Posting Komentar