Mahasiswa Offering AA Angkatan 2010 Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Wajah Pertiwi dalam Puisi Safari Nur Zaman “Hilangnya Wajah-Wajah”

Wajah Pertiwi dalam Puisi Safari Nur Zaman
“Hilangnya Wajah-Wajah
                 Oleh: Lailinda Nurjanah

Usaha memboyong sebuah sajak, tidak lepas dari sebuah imaji yang beragam. Bisa melalui penyajian sebuah sajak yang beragam pula, dan semuanya akan bermula pada sebuah wajah. Wajah puisi yang akan menjawab batin puisi. Kemudian berlanjut pada batin puisi yang akan terangkum dan bersembunyi pada lahan yang lebih sempit lagi. Bahasa. Kata. Bisa-bisa melalui wajah puisi yang berimaji dan kode-kode bahasa itu, pembaca tidak perlu mencari repotase kabar kesialan orang-orang di koran pagi dan berpikir apa yang dapat direnungkan? Demikianlah bahasa figuratif dalam sajak “Hilangnya Wajah-wajah” milik Safari Nur Zaman, akan menjawab pertanyaan tersebut. Mungkin bukan kesialan yang secara struktural saja dapat dilaporkan tetapi juga renungan yang masih bersembunyi di balik bahasa figuratifnya.
Melihat wajah puisi Safari seakan-akan melihat wajah pertiwi saat ini. Kondisi wajah pertiwi digambarkan oleh Safari melalui “seorang anak” yang menjadi tokoh aktif dan “bapak” sebagai tokoh pasif. Dari simbol tokoh tersebutlah dapat dipahami jika perwakilan seorang anak ini merupakan simbol dari anak-anak bangsa Indonesia.
Judul yang diangkat dalam puisi ini merupakan kisah dari tokoh tersebut, yakni “Hilangnya Wajah-wajah”. Wajah-wajah disini mengarah pada putra-putri Indonesia yang diwakilkan oleh tokoh “seorang anak”. Memang beragam permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia salah satunya adalah masalah sosial. Jika Sumarsono (2012: 5) mengatakan bahwa sosiologi mencampuri urusan hubungan antar anggota, struktur hingga peraturan-peraturan yang berlaku. Demikian juga dalam puisi ini, yakni masalah hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, putra-putri Indonesia dengan peraturan-peraturan yang berlaku atau yang belum diberlakukan berdasarkan peraturan perundangan yang seharusnya menjadi petunjuk atau arah untuk menyelesaikan permasalahan seadil-adilnya. Sehingga dalam puisi ini pengarang lebih memaparkan tentang tokoh yang terlantar atau dilantarkan oleh pertiwi sebagai negaranya.
Melihat kata verba “menangis”, “patah”, dan “remuk” pada bait pertama maka dipahami pulalah, jika anak bangsa yang dimaksud adalah anak bangsa yang bernasip kurang beruntung. Bisa saja ini mengenai keadaan sosial anak-anak gelandangan yang mungkin saja lupa sudah diatur dalam undang-undang yang sebenarnya. Bisa juga nasip anak-anak bangsa yang merasa kurang beruntung menjadi bagian dari wajah pertiwi dan belum merasakan kebanggaan dari bagian pertiwi itu sendiri.
Selanjutnya untuk membuka hal-hal lain yang masih bersembunyi dalam unsur-unsur semiotika tersebut, maka diperlukan pemaknaan untuk mengetahui makna-makna yang ada di bahasa figuratif yang imajinatif. Menurut Suwignyo (2009:49), semiotik merupakan ulasan yang bertolak dari anggapan bahwa sastra merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna dengan memanfaatkan medium bahasa. Sedangkan bahasa juga merupakan sistem tanda atau lambang yang bermakna. Untuk itu sebelum memahami unsur kesosialan dari puisi Safari tersebut, maka diperlukan ulasan tentang simbol-simbol dari diksi yang ada di puisi tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan proses pemaknaan.
Dimulai dengan bait pertama, dengan menyoroti kata “ranting” merupakan simbol dimana ranting adalah tempat pijakan bagi tokoh “anak” bangsa yang rapuh, jika dibandingkan dengan batang pohon. Sedangkan di sini dijelaskan bahwa pijakan atau sandaran itu telah hancur dari ungkapan pada baris ke-2“patah dan  remuk”. “Ranting” sendiri jika dikaitkan dengan bangsa Indonesia menggambarkan tentang peraturan Indonesia yang rapuh. Sehingga pengarang mengatakan jika hal itu mudah remuk dan patah. Karena memang sudak tidak banyak lagi yang diharapkan dari sebuah ranting, dari sebuah pijakan yang saat ini mereka miliki, termasuk juga pertiwi yang hingga saat itu belum bisa menjawab, atau hal lain seperti terlupakannya butir undang-undang yang mengatur anak-anak terlantar. Hal ini karena masih belum berlakunya undang-undang tersebut meski sudah diresmikan puluhan tahun yang lalu.
“Padahal dia ingin memanjat lebih tinggi”, memberikan makna bahwa harapan mereka juga ingin seperti yang lain, meratakan ilmu, sosial, bahkan mungkin ekonomi pada nantinya. Dilanjutkan dengan kata “buah” yang diartikan sebagai hasil atau kebahagiaan yang menjadi tujuan tokoh anak. Sehingga bait pertama jika dikaitkan dengan pemerintahan memiliki makna yaitu sebuah negara yang menjadi pijakan seorang anak yang memiliki cita-cita yang tinggi telah hancur. Sehingga cita-cita tokoh anak terabaikan. Padahal tokoh anak ingin cita-citanya dapat bermanfaat bagi bangsa dan negaranya (Untuk siapa saja yang mau merasakan).
Selanjutnya pada bait kedua, terdapat simbol “cermin” dalam arti yang sebenarnya adalah tempat di mana seseorang dapat melihat dirinya sendiri. Hanya di dalam cermin tokoh anak mampu melihat masa depan yang ingin dicapainya. Sedangkan ketika pijakannya hancur, cermin yang ada di depannya menjadi tidak jelas dan hanya berupa khayalan atau sebatas bayangan saja. Bukan lagi impian yang cemerlang dan jelas lagi keberadaannya.
Bait ketiga, terdapat beberapa pencitraan berupa sarana retorika dengan gaya repetisi kata “sehingga”. Sedang sebelum repetisi tersebut muncul deskripsi keadaan seperti yang tergambarkan pada bait pertama dan ke-2, tokoh anak sedang menaya-nanyakan penyebab nasipnya dan mencoba mencari orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dalam keadaan seperti ini tokoh anak merasa hidupnya tidak pasti. Hal ini dapat tercermin dalam ungkapan repetisi “sehinga” dengan kata-kata “menggelantung”, “bertanya-tanya” dan “kehilangan wajah”. Sudah jelas jika tokoh anak ingin menunjukkan betapa terlantarnya ia, betapa tidak pastinya ia hidup di tanah pertiwi ini. Padahal  ia ingin melihat kepastian dalam menggapai cita-citanya untuk negara dan bangsa, yang diperjelas dalam larik “Padahal dia ingin menjadi lebih pasti—Mengabdi pertiwi”.
Bait keempat, simbol “kursi” dalam makna yang sebenarnya yaitu bermakna tempat duduk atau tempat yang dapat ditempati oleh orang. Sedangkan dalam bait ini kursi berarti tempat pijakan orang-orang yang telah meruntuhkan cita-cita tokoh anak. Demikian sampainya kepolosannya mempertanyakan dan meminta pertanggungjawaban dari sebuah ketidaknyamanan atau ketidak beruntungan tokoh anak terhapat pertiwi yang diungkapakan pada baris terakhir, “bapak di mana negeriku?” disinilah pengarang mengkritik pertiwi dengan pertanyaan yang sederhana tersebut, karena dapat menumbuhkan berbagai gejolak yang harus direnungkan bersama.
Demikian pemaknaan puisi Safari ini, sehingga dapat diperoleh tema yang dapat dijadikan sari dari makna puisi “Hilangnya Wajah-Wajah” yakni seorang anak yang ingin menggapai cita-citanya harus terhalang oleh negerinya sendiri yang seharusnya menjadi pijakannya. Seperti inilah wajah pertiwi berdasarkan ungkapan seorang penyair yang menyembunyikan simbol-simbol itu dengan sangat berbeda.
Penyajian makna tersebut memang sangat melekat dengan kenyataan sosial yang terjadi di bumi pertiwi sekarang. Negara yang seharusnya bisa menjadi pijakan seorang anak bangsa ternyata sulit untuk dimintai pertanggungjawaban. Seperti kasus-kasus penangkapan anak-anak jalanan, kasus ketidakadilan hukum, dan pemanfaatan SDM yang tidak maksimal sehingga banyak yang tidak mendapatkan pemerataan yang tidak baik pula.
Tidak begitu berbeda dengan kasus tersebut seperti kasus agraria yang akhir-akhir menjadi berita yang paling disorot. Sengketa ini melibatkan peran masyarakat yang kesehariannya menjadi petani yang tidak memiliki peraturan tentang penggarapan tanah yang kosong. Sedangkan mereka ingin bercocoktanam, sedang mereka tidak diberi undang-undang yang mengatur hal itu, sedang mereka harus berhadapan dengan investor yang jelas-jelas memberikan loyalty kepada pemerintah dengan peraturan undang-undang yang jelas pula.
Belum lagi masalah pemanfaatan SDM yang tidak maksimal. Hal ini melibatkan juga kaum akademisi. Seperti misalnya para ilmuan pertiwi yang mencari ilmu diberbagai negeri untuk pertiwi. Namun ketika kembali yang di dapat selama ini seperti sia-sia. Anak-anak bangsa seperti inilah yang akan bertanya-tana seperti pada akhir puisi di atas “Bapak, dimana negeriku?”
Sebuah kritik sosial memang sering disampaiakan dengan berbagai cara. Mungkin pemilihan cara dan pengemasan melalui karya sastra berupa puisi “Hilangnya Wajah-wajah” inilah yang dilakukan oleh pengarang. Puisi Safari mengandung kritik dengan pengemasan yang membedakan dengan puisi-puisi yang lain, yakni sangat halus dan mengena.
Dilihat dari diksinya memang tidak ada yang sulit diartikan namun penggambaran simbol-simbol yang dibicarakan dalam puisi dimetaforkan secara halus dan memudahkan pembaca untuk meraba-raba maknanya, sehingga mudah difahami. Selain itu, meskipun mudah difahami tetap memberikan renungan yang mendalam jika dikaitkan dengan beberapa permasalahan di atas. Pemilihan judul dan karakter tokoh yang dipilih oleh pengarang juga saling berhubungan dan sama-sama kuat, sehingga memberikan kesan tentang kondisi pertiwi melalui tokoh yang diangkat dengan mudah.
Persembunyian makna yang secara implisit merupakan sebuah kritikan atau teguran bersama tentang pijakan manakah yang seharusnya kita tempati di negeri Indonesia. imaji yang seperti inilah yang juga akan menjawab dari kode-kode bahasa yang secara tidak langsung pula membuka kenyataan yang cukup tidak baik tentang wajah pertiwi Indonesia. Melalui karya Safari kita seperti menatap renungan sebagai putra-dan putri Indoesia untuk saling bertanggungjawab kepada kewajibannya dan menerima haknya sebagai apa yang sudah diberikan kepada pertiwi. Sebab renungan seperti ini memang akan terus ada, tapi pemikiran tentang seberapa satuankah anak bangsa juga memberikan jasa atau apasajalah kepada negeri? Mari berimajinasi seperti Safari.


HILANGNYA WAJAH-WAJAH

Seorang anak menangis
Saat ranting pijakannya patah dan remuk
Padahal dia ingin memanjat lebih tinggi
Menggapai buah
Untuk siapa saja yang mau merasakan

Seorang anak kehilangan cermin
Dan dia meraba dalam remang dan khayalan

Setiap langkah dia memaki semua sebab
Sehingga dia menggelantung
Sehingga dia bertanya-tanya
Sehingga dia kehilangan wajah
Padahal dia ingin menjadi lebih pasti
Mengabdi pada pertiwi

Seorang anak terhempas
Dari sejumlah kursi suara-suara dan asa
Bapak, di mana negeriku?

Sumber
Judul Kumpulan: Sabda Terakhir-Nyanyian Orang Terluka
Pengarang: Safari Nurzaman
Halaman: 24


DAFTAR RUJUKAN

Sumarsono. 2012. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka Pelajar.
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern. Malang: Asih Asah Asuh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

54f4r1 nurz4m4n mengatakan...

Terima kasih. Semoga dunia puisi Indonesia makin berjaya. Amin

Posting Komentar