“Sekayu” Karya Nh. Dini Sebagai Catatan Kearifan Lokal
Oleh: Redhitya Wempi Ansori
Kepada ramuna guruku
Kepada kampungku sekayu
Dengan harapan dia tidak akan
Berganti nama di masa mendatang
Itulah cuplikan yang dituliskan Nh. Dini untuk
mengawali cerita-cerita dalam novel yang berjudul sekayu, novel yang
ditulis dengan latar desa tempat tinggal masa kecilnya yang penuh dengan
kenangan dan lika-liku hidup. Kenangan ketika ayahnya masih hidup dan dan
menemani hari-harinya menjalani berbagai aktivitas pada masa kecilnya hingga ia
jadikan pundi-pundi inspirasi dalam karya-karyanya termasuk dalam sekayu .
dalam kehadirannya suatu karya sastra tidak akan pernah lepas dari suatu proses
kreatif yang selalu mendampingi terciptanya suatu karya sastra. Proses kreatif
yang dialami Nh. Dini dalam menciptakan karya-karyanya termasuk novel sekayu
adalah pengalaman dan kisah-kisah hidupnya pada masa kecil hingga ia remaja
bahkan dewasa. Jika kita membaca karya Nh. Dini kita seperti diajak berputar-putar
pada sebuah kisah masa lalu yang dialami penulis. Setiap kejadian yang digambarkan penulis melalui untaian kata demi
kata hingga membentuk kalimat yang mampu ditangkap, sehingga membentuk
imajinasi membaca yang seolah tampak nyata. Setiap peristiwa dari masa ke masa
ia tuliskan dengan tidak melewatkan selembar kisah pun yang ia alami untuk
dijadikannya suatu kisah yang menjadi sumber inspirasinya. Sebuah kisah kecil
yang tertuang dalam novel sekayu mengungkapkan beberapa ciri khas budaya
yang tidak dimiliki daerah lain dalam lingkup kecil bahkan dalam lingkup besar
tidak dimiliki Negara lain. Kisah-kisah yang mengungkapkan betapa besarnya
budaya dan ciri khas budaya yang terdapat dalam suatu desa kecil di daerah
Sekayu, yang berada di Semarang Jawa Tengah yang mempunyai banyak kearifan
lokal. Melalui karya sastra Nh. Dini ingin menjadi sebuah catatan kecil menganai
desa sekayu pada masa itu, dengan goresan pena-pena yang membalut kisah-kisah
sederhana penulis ingin menjadikan karyanya secara tidak langsung menjadi
sebuah catatan sejarah yang diilhami dari cerita yang dituliskan dalam suatu
karya. Meskipun A. Teew dalam bukunya pernah menyebutkan bahwa sastra bukan
merupakan catatan sejarah, dengan berbagai pertimbangan bahwa karya sastra
kebanyakan merupakan karya fiksi dan rekaan dari penciptanya untuk menimbulkan
suatu kepuasaan dalam batin penulis atau sastrawan. Hal ini berbanding terbalik
dengan konsep sejarah yang merupakan hasil yang tidak dibuat-buat dan benar-benar
terjadi di masa lalu. Memang dalam karya sastra tidak dapat mewakili konteks
sejarah yang sesungguhnya, tapi setidaknya dalam karya sastra dapat
mengungkapkan suatu kejadian pada masa yang melingkupi inspirasi pengarang
ketika menulis suatu karya. Termasuk dalam konteks melihat suatu kearifan lokal
yang berada dalam suatu daerah pada masa lalu yang diungkapkan melalui suatu
karya sastra. Seiring berjalannya waktu terkadang nilai-nilai kearifan lokal
yang terdapat di suatu daerah itu tidak bisa bertahan hingga hanya menyisakan
puing-puing kecil dari kearifal lokal itu sendiri, bahkan terkadang kearifan
itu ikut hanyut dalam arus modernisasi dan globalisasi, sehingga tidak tersisa
sama sekali bahkan tidak ada bangkainya. Dalam hal ini diperlukan suatu catatan
kecil yang dapat mengangkat kembali suatu kearifan lokal yang terdapat dalam
suatu daerah dalam konteks ini catatan tersebut adalah karya sastra. Nh. Dini
sebagai sastrawan telah melakukan hal tersebut, meskipun tampaknya dia tidak menyadarinya
yang dilakukan pada masa itu adalah
berkarya dengan tujuan menghasilkan suatu karya yang dapat memuaskan batinnya
sebagai seorang sastrawan. Kearifan lokal yang digambarkan dalam suatu
pengkaryaan sastra yang merupakan esensi dari suatu catatan yang secara tidak
langsung turut serta melestarikan suatu budaya dan kearifan lokal yang terjadi
pada suatu masa.
Sosok Nh. Dini
Penulis Indonesia yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, atau
lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini lahir di Sekayu, Semarang, Jawa Tengah
29 Februari 1936. Nh. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah.
Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun
sekali. Masa kecilnya yang penuh larangan ini tertuang dalam kumpulan ceritanya
yang berjudul “Sekayu”. NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak
kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan
ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu
semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita
padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung,
Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya.
Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan
pemahamannya akan lingkungan.
Nh. Dini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan
dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh wanita yang memberontak karena
hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia dari kecaman laki-laki.
Novel pertama Ibu dari Marie Claire Lintang dan Pierre Louris Padang ini
berjudul Dua Dunia (1956) yang dengan ringannya ia menyatakan bahwa
tulisan-tulisannya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya
khayalan. Disusul dengan karya Nh. Dini selanjutnya yaitu La Barka (1973) dan
Pada Sebuah Kapal (1985) yang tidak dipungkiri telah memberinya sebuah
pengakuan sebagai seorang sastrawan.
N.H. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis
bernama Yves Coffin. Dini berpisah dengan suaminya itu pada 1984, dan
mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri
Jakarta. Pada saat bersuamikan Yves, Dini benar-benar memanfaatkan keadaannya
sebagai seorang istri diplomat yang berkesempatan menetap di berbagai Negara.
Dia menulis cerita-cerita yang bersetting di berbagai Negara berdasarkan
pengalamannya. Pada periode ini hadirlah novel-novel N.H. Dini yang berjudul
Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku
Hiroko (1977). Selain novel-novel yang bersettingkan di berbagai Negara
tersebut, Nh. Dini juga menulis novel yang berlatar di tempat kelahirannya di
Semarang seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang
Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979). Selain novel-novel tersebut,
Nh. Dini pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981),
Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang
Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989;
perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai
Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida
Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).
Karena karya-karyanya itu, ia diakui sebagai salah
seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara
terbuka dan blak-blakan ke dalam tulisan. Selain itu, tidak heran jika
penghargaan-penghargaan telah berhasil diperolehnya, yaitu : Penghargaan sastra
terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), SEA Write
Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Walaupun banyak kenangannya
berpusat pada kehidupannya di Semarang dan kemudian di Paris, Ia kini tinggal
di Yogyakarta.
Perannya di dunia sastra tidak diragukan karena dia
adalah perempuan pertama yang dengan blak-blakan menceritakan pengalaman
hidupnya melalui cerita-ceritanya. Selain Nh. Dini pada periode ini tercatat
oleh Rosidi beberapa perempuan pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj.
Dyiantinah B Supeno, dan Hartini. Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat
di sejumlah majalah.
Hingga kini, Nh. Dini telah menulis lebih dari 20
buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak
orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang
berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah
amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi.
Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari
semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya
banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya
sastra. Cerita kenangan “Sekayu” sebagai karya sastra yang diinspirasikan dari
kehidupan dan pengalaman-pengalaman Nh. Dini secara tidak langsung menuntun
pembacanya untuk dapat mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja yang patut
diteladani.
Kearifan Lokal dalam Novel “sekayu”
Novel “sekayu” karya salah satu novelis perempuan Indonesia yang bernama
Nh. Dini disadari atau tidak oleh penikmat karya sastra dalam hal ini adalah
penggemar karya-karya masterpiece Nh. Dini banyak terdapat unsur-unsur
kearifan lokal. Kearifan lokal dalam “sekayu” tidak bisa dilewatkan begitu saja
karena unsur ini penting sebagai sebuah catatan identitas suatu bangsa
Indonesia dalam konteks ini adalah kearifan lokal dari budaya jawa. Kebanyakan
dari penikmat karya sastra Nh. Dini ketika membaca akan terlalu terbuai dengan
kisah-kisah yang dikemas secara sederhana dan indah dengan dihiasi peristiwa
dan kejadian yang tampak nyata, sehingga menghidupkan imajinasi pembaca. Hal
lain yang menjadi fokus pembaca karya-karya Nh. Dini adalah mereka hanya
terfokus dengan tokoh-tokoh yang berada dalam novel tersebut seperti telah
diketahui bahwa Nh. Dini merupakan tokoh feminis. Karya-karya Nh. Dini selalu
identik dengan penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan dan juga
tentang bagaimana kehidupan perempuan itu tidak hanya dianggap sebagai orang
yang hanya di dapur saja, tapi lebih dari itu perempuan mampu melaukan
pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki ini tergambar dari salah satu kutipan
yang ada dalam novel sekayu berikut ini “aku tidak akan melupakan perbantahaanku
dengan nugroho, sampai-sampi dia hampir memukulku seandainya Utono tidak segera
muncul untuk melerai kami” kejadian
dalam kutipan tersebut terjadi karena tokoh ‘aku’ ingin dianggap sebagai
seseorang yang telah dewasa, sebagai wanita yang mulai beranjak dewasa yang
sudah tidak seperti anak kecil lagi sehingga dia tidak mau diatur lagi dalam
arti tidak banyak larangan dan tokoh ‘Nugroho’ yang merupakan kakak dari tokoh
‘aku’ ingin selalu bersikap melindungi adik perempuannya, karena adiknya
merupakan sosok perempuan yang dianggapnya lemah dan memerlukan sosok laki-laki
untuk melindunginya. dari hal tersebut dapat dilihat bahwa sosok Nh. Dini
merupakan sosok feminisme dalam karya-karyanya. Hal itulah yang terkadang
banyak menjadi fokus atau tinjauan telaah untuk menjadi pijakan dalam
mengkritisi karya-karya Nh. Dini. Bertolak dari keadaan tersebut memerlukan
adanya nuansa baru dalam menelaah karya Nh. Dini yang berjdul sekayu yang
dapat ditinaju dari perspektif lain seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai
kearifan lokal dalam novel tersebut. Seiring perkembangan zaman di sadari atau
tidak oleh bangsa Indonesia sendiri, bahwa bangsa Indonesia kehilangan
unsur-unsur kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia, karena tergerus
arus globalisasi dan modernisasi yang melahap habis kearifan lokal yang
dimiliki bangsa Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya
dilestarikan sebagai sebuah dasar pijakan untuk mengatur interaksi kehidupan di
dalam masyarakat. para pemuda Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa
tidak mengenali budaya dari bangsanya sendiri, tapi malah mengetahui dan paham
dengan budaya bangsa lain. Hal ini ironis bagi bangsa Indonesia sendiri, dalam
konteks pembangunan diberbagai sektor justru bangsa ini terpuruk, karena adanya
krisis budaya. Dari sekian pemuda-pemudi di zaman ini jika di survey hanya
beberapa saja yang sadar dan menyenangi budaya Indonesia, begitu juga mengenai
hubungan yang mengatur pergaulan pemuda pada era ini,kecenderungan mereka
bercermin dari budaya bangsa lain sebagai titik tolak gaya hidup yang mengatur
suatu tingkah laku mereka. Ini merupakan gambaran nyata hilangnya kearifan
lokal yang ada dalam suatu budaya bangsa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu
elemen yang merevitalisasi kearifan lokal dari suatu daerah tersebut, sehingga
tidak tergerus arus globalisasi yang kian tidak terbendung lajunya. Karya
sastra merupakan salah satu elemen penting yang secara tidak disadari sekian
banyak orang untuk dijadikan sebagai pijakan untuk membangun kembali kearifan
lokal masa lalu yang dulunya menjadi suatu pola yang mengatur secara harmonis
hubungan manusia dengan manusia di dalam masyarakat dan juga mengatur hubungan
manusia dengan alamnya yang sudah banyak tidak di sadari oleh manusia pada
zaman ini. Karya Nh. Dini yang berjudul sekayu ini banyak sekali menggambarkan kearifan lokal
pada zaman itu yang sangat penting diketahui oleh orang-orang pada zaman ini
umumnya dan remaja pada era ini khususnya. Fungsi karya sastra dalam kegiatan
ini dapat diberdayakan secara maksimal tidak hanya sebagai suatu unsur seni dan
keindahan saja (dulce) dalam karya sastra itu tapi juga ada manfaat(utile) yang
memberikan sumbangsih terhadapat pelestarian budaya bangsa dalam konteks ini
adalah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya jawa yang terdapat dalam
novel sekayu. Diantara terdapat dalam kutipan sebagai berikut “pada
waktu ibu memaksaku menahan nafas untuk minum jamu penyembuh penyakit gatal
atau jamu perangsang nafsu makan” dari kutipan tersebut jelas terlihat
bahwa pengobatan tradisional asli Indonesia masih dipakai meskipun tidak
dipungkiri pada zaman itu sudah ada dokter dan peralatan medis sudah lumayan
canggih tapi masyarakat pada zaman itu masih setia akan ramuan tradisonal
warisan leluhur seperti jamu. Ini merupakan kearifan lokal warisan luluhur
menganai pengobatan yang harusnya dilestarikan karena secara kualitas efeknya
juga tidak kalah dengan pengobatan-pengobatan modern karena memang menggunakan
bahan-bahan alami bukan dari proses kimia yang mempunyai kecenderungan efek
yang berbahaya bagi tubuh manusia. Hal tersebut kontradiktif dengan yang ada
pada zaman sekarang, kebanyakan orang-orang di zaman ini lebih percaya dengan
pengobatan medis yang menggunakan teknologi dalam proses pengobatannya
akibatnya adalah pengobatan tradisional sekian lama semakin sedikit dan bahkan
bisa punah jika tidak di lestarikan. Tradisi minum jamu ini pada zaman dahulu
bukan hanya untuk pengobatan saja melainkan juga sebagai minuman tradisonal
yang yang menyehatkan ini dibuktikan dalam kutipan novel berikut “kadang-kadang
meskipun tidak sakit, ibu mewajibkan kami meminum beberapa teguk jamu yang
dijajakan oleh mbok jamu. Akar-akar dan daun-daun itu amat baik buat
pertumbuhan badan, buat peredaran darah, demikian kata ibu”. Dari kutipan
tersebut memberikan gambaran bahwa minum jamu merupakan suatu tradisi yang
menyehatkan selain terbuat dari bahan alami yang menyehatkan badan jamu juga
memberikan efek pengobatan seperti fungsi awalnya. Jamu juga dikonsumsi ketika
santai meskipun rasanya tidak seenak minuman-minuaman kemasan yang ada pada
zaman ini yang tentunya orang-orang akan memilih minuman dengan rasa yang enak
tapi tidak disadari kebanyakan minuman kemasan terbuat dari bahan-bahan yang
tidak sehat tidak baik untuk tubuh.
Tidak hanya mengenai pengobatan tradisonal dalam hal
ini jamu kearifan lokal yang ada dalam sekayu,tetapi juga cara berpakaian
yang menunjukan suatu kesantunan dan terdapat nilai kesopanan yang
merepresentasikan kearifan lokal dalam konteks busana hal ini terdapat dalam
kutipan sebagai berikut “penjualnya perempuan tua-muda, selalu berpakaian
rapi dan menyenangkan dipandang. Sanggulnya selalu dengan sunggaran yang
mengembang lebar di atas kuping, amat pantas dengan bentuk kepala. Kebayanya
terbuat dari bahan berbunga-bunga, terang dan bersorak di tengah-tengah
lapangan rumput itu, seperti menyimpan sinar tersendiri”. tata cara
berpakaian yang pada zaman ini sudah mulai hilang adalah kesopan santunan dan etika
dalam berbusana, banyak pemuda pada zaman sekarang khususnya wanita tidak
memperhatikan tata cara dan etika berpaiakan yang baik. Kecenderungan mereka
terhadap budaya bangsa lain membuat pola pikir mereka berubah dalam hal
berpakaian. Mereka lebih memandang budaya bangsa lain lebih unggul dan
memandang budaya bangsa sendiri itu terlalu kolot dan tidak modern. Masalah ini
yang menjadikan kini kebaya dan pakaian tradisonal lainnya hanya dipakai pada
acara tertentu saja dan yang memakai kebanyakan adalah orang-orang yang sudah
berumur jarang dari perempuan yang masih muda. Akibatnya kearifan lokal
mengenai tata cara berbusana jawa kian lama kian habis, bukan tidak mungkin
kebaya hanya akan ada di mesium karena sudah jarang digunakan. Dalam interkasi
sosial di suatu masyarakat tidak jarang terjadi konflik-konflik sosial yang
sifatnya ringan dan wajar dan hal itu tidak berlangsung lama. Masyarakat jawa
khususnya jika ada suatu hal yang tidak disukai terhadap suatu hal orang jawa
akan memilih diam karena orang jawa terkenal dengan sifat yang menghindari
konflik, mereka lebih menghindari situasi-situasi yang dapat menimbulkan
ketegangan sosial dengan cara memendam sesuatu hal tersebut, seperti dalam
kutipan dalam novel sebagai berikut “sejak itu aku tidak pernah berkunjung
ke rumah pak Yanto lagi. Kukatakan kepadanya bahwa aku sudah mengerti soal-soal
hitungan dan pada kesempatan penen buah manga yang lebat, ibu tidak lupa
mengirim selusin buah manga golek kepadanya. Kami tidak saling bermarahan, oh,
tidak. Dia kadang-kadang juga muncul, berkunjung ke rumah kami, karena ada
keperluan dengan Teguh”. Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa, orang jawa
meskipun ada suatu konflik sosial antar individu di dalam masyarakat. mereka
cenderung menutupinya dengan cara saling memperbaiki hubungan karena sifat
orang jawa yang telah dipaparkan diatas, orang jawa akan lebih senang dengan
keadaan cinta damai. Mereka lebih baik menghindari adanya konflik dan memilih
diam dalam suatu kondisi yang membuatnya tidak nyaman. Ketika ada masalah pun
seperti yang terjadi dalam kutipan novel tersebut. Mereka tetap baik dengan
orang yang bersangkutan dengan cara memberikan manga ketika sedang panen
mangga.
Nevel ini secara garis besar menarik karena terdapat
unsur-unsur kearifan lokal yang dapat diangkat menjadi sebuah pembelajaran dan
juga dapat dijadikan sebagai catatan sejarah kearifan lokal yang semakin lama
semakin habis tergerus oleh budaya modernisasi dan globalisasi. Dalam
konteksnya yang sederhana novel ini mampu membius pembaca dengan cara khas
penulis menyajikan bentuk-bentuk bahasa novel yang sederhana yang mudah
dipahami. Membaca novel ini juga seperti membaca sebuah peristiwa pada zaman
yang di alami penulis, karena novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata
penulis pada masa kecilnya.
Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern:
Pengantar Pemahaman Teori Dan
Penerapannya. Malang: penerbit A3 (asih, asah, asuh)
Sumardjo. S. 2002. Arkeologi
Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak Kebudayaan.
Yogyakarta: Penerbit Qalam
0 komentar:
Posting Komentar