Rekaman
Fenomena Sosio-Politik
melalui
Puisi Persetujuan dengan Bung Karno Karya Chairil Anwar
Oleh: Anjar Aprilia Kristanti
Pendahuluan
Karya
sastra merupakan suatu produk perekam yang memiliki keterkaitan erat dengan
kehidupan sosial. Meskipun karya sastra merupakan karya individual penulis,
akan tetapi tetap tidak bisa dipisahkan dengan pengaruh sosial disekitarnya,
karena penulis karya juga merupakan salah satu anggota sosial kemasyarakatan
yang memiliki peran sendiri-sendiri dalam kehidupannya. Heri (2010:73)
menyatakan bahwa sastra merupakan pemaduan antara imajinasi pengarang atau
hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari kenyataan. Agar penemuan pola-pola
kehidupan sosial dapat mendekati kehidupan sosial yang sebenarnya, diperlukan
pemahaman terhadap kehidupan sosial yang melatari terciptanya karya sastra.
Setelah memahami latar sosial terciptanya suatu karya dan menghubungkannya
dengan karya tersebut, maka akan diketahui cara pandang penulis menyikapi
peristiwa sosial tersebut. Damono (1978:4) menambahkan bahwa jika terdapat dua
orang penulis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung
berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaanya itu
berbeda-beda menurut pandangannya masing-masing. Maka jelaslah penulis sebagai
memiliki peran dalam masyarakat tersebut tentu memiliki sikap yang berbeda-beda
mengenai suatu fenomena.
Begitu
juga puisi Chairil Anwar yang tak ketinggalan untuk merekam fenomena sosial di
dalamnya. Periode tahun dikenalnya Chairil Anwar merupakan periode dengan
banyak fenomena penting yang terjadi di Indonesia. Setelah runtuhnya penjajahan
Belanda, terjadi revolusi yang dipimpin oleh presiden Soekarno dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diraih oleh Indonesia pada tahun 1945.
Selain pergolakan politik yang dirasakan Chairil Anwar, beliau juga merasakan
pergolakan sastra Indonesia yang dipelopori oleh dirinya sendiri. Chairil Anwar
menjadi pelopor zaman baru yang mendobrak sistem dan konvensi lama. Bentuk-bentuk
puisi yg begitu ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan dipelopori oleh Chairil
Anwar pada periode 45. Chairil Anwar yang
ketika itu berusia 25 tahun dan memilliki jiwa patriotismenya sedang
menggebu-gebu mendukung presiden Soekarno yang berusaha mengatasi polemik
politik antara PKI dan Pemerintah, para seminan termasuk Chairil Anwar yg
mencintai akan syarat kebebasan dalam menumpahkan segala ekspresinya tertulis pada puisi ciptaannya.
Memang hanyalah hal tersebut yang dilakukan para sastrawan-sastrawan penulis
menyikapi fenomena sosial yang terjadi, menuliskannya dalam sebuah karya. Bukan
tidak peduli dan tidak membela maupun menolak dengan lantang, melainkan memang
itulah bagian atau peran sastrawan masa itu dalam menyikapi suatu hal, karena
menurut mereka melalui tulisan juga bisa mempengaruhi kehidupan sosial.
Salah
satu puisi yang kental merekam fenomena sosio-politik di jaman Chairil Anwar
hidup dan berkarya hingga di kenal luas adalah puisi yang berjudul Persetujuan
dengan Bung Karno. Berikut ini disajikan puisi Persetujuan dengan Bung Karno
tanpa mengurangi penulisan yang dilakukan Chairil Anwar:
PERSETUJUAN
DENGAN BUNG KARNO
(Chairil Anwar)
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari
kita bikin janji (1)
Aku sudah cukup lama dengan
bicaramu, dipanggang diatas apimu, (2)
digarami lautmu (3)
Dari mulai tanggal 17 Agustus 1945
(4)
Aku melangkah ke depan berada
rapat disisimu (5)
Aku sekarang api aku sekarang laut (6)
Bung Karno! Kau dan aku satu zat
satu urat (7)
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar (8)
Di uratmu di uratku kapal-kapal
kita bertolak & berlabuh (9)
Masa Penjajahan di Indonesia memakan banyak waktu, oleh karena itu saat 17
Agustus 1945 adalah masa paling bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk para penulis/sastrawan di
Indonesiapun menyikapi dengan cara mereka. Kemerdekaan
bangsa Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Masa setelah
kemerdekkan tersebut, tidak selancar yang dipikirkan. Banyak
pergolakan-pergolakan dalam berbagai bidang dalam berbangsa. Dicatatkan pada
buku dalam tahun 1948 yang diselimuti berbagai kemelut perpecahan,
ketidaksetiaan, penkhianatan, dan perorangan yang bertujuan menghancurkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu puisi ‘Persetujuan dengan Bung
Karno’ ini diciptakan oleh Chairil Anwar pada tahun 1948 ketika terjadi pergolakan tersebut dan merupakan sebuah bentuk dukungan kepada Bung Karno
untuk mempertahankan kesatuan bangsa. Puisi ini lahir atas terjadinya pemberontakan yang terjadi pada tahun
1948. Pergolakan tersebut dimulai dari 8 Desember 1947 dimana pihak Republik
Indonesia dan Belanda melakukan perundingan Renville yang hasilnya semakin
menyudutkan Indonesia dan menguntungkan Belanda Karena wilayah Indonesia yang
semakin dipersempit. Selanjutnya kabinet Amir Syarifudin yang kala itu dianggap
berperan dalam perjanjian tersebut digulingkan pada Januari 1948, dan membentuk
Front Demokrasi Rakyat yang bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang
merencanakan suatu perebutan kekuasaan. Beberapa aksi yang dijalankan kelompok
ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan
demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik,
serta menggerakkan kerusuhan di beberapa tempat. Dan puncaknya pada September
1948 di Madiun terjadi pemberontakan yang anarki untuk merebut RI.
Di tengah
pergolakan semacam itulah, di tahun 1948, ketika presiden Soekarno revolusinya diporakporandakan
oleh kaum kontra, lahir puisi Persetujuan
dengan Bung Karno ini. Pada baris (1), (2), dan (3) diartikan sebagai
ungkapan Chairil yang sepakat dengan ucapan-ucapan yang biasa disampaikan bung
Karno dengan berapi-api. Chairil menggambarkan sosok Bung Karno yang biasa
berpidato dengan bersemangat layakya api dan
ketenangan serta kewibawaan sebagai pemimpin yang digambarkan oleh laut. Akan tetapi, pada bait awal ini
tidak hanya menggambarkan pujian sosok Bung Karno, melainkan bagian awal ini
juga tampak menggebu-gebu untuk membuat kesepakatan dan meminta pertanggung
jawaban dengan presiden untuk bersama menyelesaikan pergolakan politik saat
itu, karena digambarkan pada bait pertama bahwa kemungkinan rakyat akan mulai
bosan dengan sekadar ucapan berapi-api dan ketenangan saja yang dibawa
presiden. Kegentingan perlawanan PKI kala itu banyak membuat masyarakat resah
dan ingin ada seseorang yang bisa menyelesaikannya.
Pada
bait awal memang tampak Chairil netral layaknya rakyat biasa yang hanya meminta kesepakatan untuk segera
menyelesaikan pergolakan politik saat itu. Namun pada baris (3), (4), dan (5)
menunjukkan bahwa Chairil yang seorang sastrawan sekaligus rakyat Indonesia
telah meyakini dalam dirinya bahwa mulai dari 17 Agustus 1945, dirinya sudah
merasa sepakat dan akan mendukung Bung Karno dalam melaksanakan NKRI, serta
dirinya meresapi ungkapan Bung Karno yang berapi-api dan juga kewibaannya
sebagai pemimpin, terlihat dari Aku sekarang api aku sekarang laut.
Begitu pula pada larik-larik berikutnya, menyuratkan bahwa, dirinya dengan Bung
Karno yang memiliki satu landasan harus berjalan beriringan demi pertahanan
bangsa Indonesia yang telah merdeka. Chairil menganggap menganggap dirinya
sudah satu paham satu pikiran dengan Bung Karno untuk mempercayakan langkah
Bung Karno dalam pemertahanan RI tersebut. Pada bait ini jelas menunjukkan
bahwa Chairil tidak termasuk dalam golongan pemberontakan PKI, beliau justru
menjadi pendukung langkah Soekarno untuk pertahanan RI. Bait akhir ini lebih
termasuk pengingatan bagi Bung Karno bahwa dirinya tidak sendiri, melainkan
banyak orang yang sepemahaman dengannya, yang akan menjadi pendukungnya ,
tampak pada Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat. Puisi ini tidak panjang dan banyak omong, singkat dalam penyampaiannya tapi
dalam maknanya. Pemilihan kata yang ada dalam puisi ini terlalu sederhana
sehingga memungkinkan sekali seorang pembaca akan memaknai puisi ini dangkal,
karena penyimbolan yang sering digunakan, misal api untuk semangat yang membara dan laut untuk ketenangan. Padahal dilihat dari tahun pembuatannya saja
puisi ini sudah bisa mewakili bahwa kala itu sedang dibutuhkan dukungan untuk
pemimpin kita dan menarik perhatian untuk menggali lebih dalam sebenarnya ada
peristiwa apa yang melatarbelakangi puisi ini sehingga Bung Karno dibawa untuk
diajak membuat persetujuan. Memang Chairil memiliki makna yang mendalam pada
tiap puisinya. Maka memang benar bahwa puisi Chairil harus dipahami hal-hal
yang melatari puisi-puisi tulisannya. Bahkan Teew mengungkapkan bahwa untuk
mengerti pentingnya puisi Chairil Anwar perlu diketahui situasi pada waktu itu.
Dan tidak mungkin salah bahwa Chairil merupakan sosok yang peka akan sesuatu
yang terjadi di sekitarnya. Beberapa orang mengatakan bahwa Chairil banyak
cakap tanpa ambil peran dalam perjuangan yang sebenarnya. Pembangunan budaya
dan kemungkinan merubah pola pikir masyarakat lewat sastra dilakukan Chairil.
Lewat sajak-sajaknyalah sebenarnya Chairil berperan.
Daftar
Rujukan
Damono,S.D. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Suwigyo,H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan
Penerapannya. Malang: Asih Asah Asuh.
1 komentar:
keren
Posting Komentar