Mengorek
Nilai Didaktis Melalui Cerpen “Peradilan Rakyat”
karya
Putu Wijaya
Oleh: Fryskatana Wira Stya M
I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang akrab kita dengar
Putu Wijaya ini merupakan sastrawan yang serba bisa. Sastrawan yang dilatar
belakangi lulusan Fakultas Hukum di UGM dengan gelar sarjana pada tahun 1969
dan juga pernah belajar seni di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) ini tetap
aktif dalam kegiatan menulis cerpennya.
Tahun 2006 Putu Wijaya kembali menuangkan
pemikirannya lewat cerpen yang berjudul Peradilan
Rakyat dengan menciptakan tokoh utama seorang pengacara muda (anak) cerdas
yang sangat profesional dan pengacara tua (ayah) yang sangat terkenal dan
dihormati oleh para penegak hukum. Cerpen ini menggambarkan wajah peradilan
yang ada di negeri ini, sebab dalam cerpen ini pengarang sangat paham mengenai
keadaan politik, sosial, serta moral yang ada di negara ini. Permasalahan untuk
menulis cerpen ini muncul ketika banyak oknum pejabat yang banyak melakukan
pelanggaran hukum. Dalam cerpen ini Putu Wijaya mengungkapkan kritikannya
terhadap kasus mafia-mafia (markus) yang telah membudaya di negeri ini pada
masa Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan. Komisi Yudiasial pada waktu itu
telah mengajukan 28 hakim untuk dijatuhkan sanksi terkait pelanggaran, namun
rekomendasi tersebut tidak ada satu pun yang ditindaklanjuti. Di era
kepemimpinan Harifin A. Tumpa, dari 11 hakim yang dijatuhi sanksi hanya ada dua
yang ditindaklanjuti. Keadaan negeri yang carut marut membuat para pelaku mafia
kasus bisa menghindari jeratan hukum apabila mereka bisa menyewa pengacara
terkenal sekaligus menyuap aparat negara. Seperti yang terdapat dalam kutipan
cerpen berikut.
...
"Terima
kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang
penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun
datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada
akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk
mereka.
...
...
"Apa yang ingin kamu tentang, pengacara muda? Pengacara muda
tertegun.
"Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya kepada
kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian
keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku”
...
Kutipan tersebut menggambarkan suatu wajah peradilan
di negeri ini yang sedang dilanda oleh penyakit korupsi yang merajalela. Melalui
kedua tokoh, Putu Wijaya mengungkapkan sebuah harapan untuk mencari keadilan di
negeri ini. Kedua kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bagi orang
kaya atau bagi orang yang mempunyai kewenangan atau kekuasaan, keadilan
merupakan barang yang dapat dijual beli, kejahatan mampu ditukar dengan uang.
Jadi orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan tidak patut mendapat keadilan.
Dengan cerpen inilah Putu Wijaya berharap peradilan di negeri ini dapat
memberikan keadilan kepada pihak yang benar. Berikut merupakan kutipan yang
berisikan harapan Putu Wijaya kepada peradilan negeri ini.
Istilah tokoh sendiri menunjuk pada
pelaku dalam cerita, sedangkan watak menunjuk pada sifat dan sikap pelaku dalam
cerita. Tokoh memiliki posisi penting sebagai penyampai pesan atau amanat yang
sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam cerpen Peradilan Rakyat ini karakter atau watak pengacara muda ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
...
"Jangan
dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai
profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya
ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau
kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada
tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah
kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena
sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu
membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan
yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan
uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak!
Sama sekali tidak!"
"Bukan
juga karena uang?!"
"Bukan!"
...
“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga
adalah sebuah ancaman.Dia tidak memberikan angka-angka?"
"Tidak.” Pengacara tua itu terkejut
"Sama sekali tak dibicarakan berapaa kan membayarmu?
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"Pengacara
muda itu tertawa
."Aku tak pernah
mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana
kalau dia sampai menang?"Pengacara muda ituterdiam.
...
Kutipan tersebut seakan Putu Wijaya menyampaikan
pesannya kepada pembaca untuk selalu profesional dalam pekerjaan terutama
kepada penegak hukum di negeri ini agar tidak salah melakukan pembelaan serta
keadilan. Kutipan di atas menggambarkan bahwa pengacara muda tersebut membela
kliennya bukan karena ancaman maupun uang, bahkan pengacara muda mengatakan "Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan
orang!", kutpan tersebut menunjukkan bahwa tokoh pengacara muda ini merupakan
seseorang yang sangat profesional dalam pekerjaanya.
Terkadang yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Dengan kata lain
yang kaya atau yang memiliki kekuasaan selalu benar dan menang sedangkan yang
miskin dilarang benar dan menang. Kutipan tersebut dapat dipetik pelajaran
bahwa apapun pekerjaan yang kita lakukan atau kerjakan hendaknya selalu
konsisten dan senantias bertindak di jalan yang benar, jujur dan mengutamakan
keadilan.
Apalah artinya profesionalitas dalam peradilan hukum
jika hanya meloloskan orang-orang yang salah hanya karena uang dan menyalahkan
orang-orang yang benar. Kutipan di atas memang benar-benar menggambarkan
pengacara yang profesional, tetapi tidak dilihat dari siapa yang dibela, namun
dilihat dari profesionalitas sebagai seorang pengacara yang sesungguhnya, tanpa
tawaran negara yang menjanjikan, tanpa uang. Sehingga kutipan di atas merupakan
sindiran-sindiran kepada aparat-aparat yang selalu memberatkan materi dari pada
keadilan, sebab bagi mereka keadilan tersebut merupakan dagangan yang bisa
dibeli dengan harga yang tidak murah.
Dalam cerpen ini, juga menggambarkan kemarahan yang
terjadi ketika pengacara muda berhasil meloloskan bajingan dari jeratan hukum.
...
Rakyat pun
marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya
baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus
mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
...
Sebenarnya kutipan tersebut memberikan peringatan
kepada aparat, jika hal tersebut selalu ada di setiap peradilan maka betapa
hancurnya negara ini tanpa adanya keadilan dalam sebuah pengadilan yang selalu
memenangkan pihak yang salah. Seorang pengacara yang profesional hendaknya
bertanggung jawab sesuai normayang ada, sehingga tidak menyengsarakan rakyat
kecil yang dianggap selalu salah. Bukan tidak mungkin bila rakyat marah karena
ketidakdilan bagi mereka.
Kutipan dibawah ini merupakan akhir dari kisah yang
disajikan Putu Wijaya melalui cerpen Peradilan
Rakyat ialah nilai kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya meskipun
anaknya melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang pengacara
yang profesional, namun kasih sayang orang tua tidak akan putus karena
kesalahan anaknya. Simak kutipan berikut.
...
"Setelah kau datang sebagai
seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai
profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih,
"Aku
terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang
putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu
bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu.
Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau
berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang
terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri
kita sekarang ini?".
Bagian kutipan di atas menggambarkan penyesalan
seorang ayah kepada anaknya yang merupakan pengacara muda yang profesional akan
tindakannya yang meloloskan penjahat besar di negeri ini. Meskipun demikian
sang ayah tetap menerima dan merindukan kedatangan anaknya namun bukan sebagai
seorang pengacara muda yang profesional melainkan sebagai anaknya.
Peradilan
Rakyat merupakan cerpen yang menggambarkan betapa ironisnya politik di
negara ini, selain itu, cerpen ini juga menggambarkan keadaan hukum yang sangat
buruk karena tidak adanya keadilan yang sejati di negara ini. Banyaknya
mafia-mafia di negeri ini merupakan bukti kebrobrokan moral di negeri ini, yang
mana hukum bisa diperjual belikan. Selain gambaran peradilan di negeri ini,
dalam cerpen ini juga terdapat nilai-nilai pendidikan yang bisa diambil melalui
cerpen ini secara implisit maupun eksplisit, sebab di dalam cerpen Peradilan Rakyat terdapat pesan-pesan
moral yang ditampilkan melalui kedua tokoh tersebut.
Berikut
merupakan nilai yang dapat diambil melalui cerpen Peradilan Rakyat.
1. Orang
yang salah hendaknya dijerat hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan orang
yang benar hendaknya mendapat keadilan atas kebenarannya.
2. Profesionalitas
dalam pekerjaan itu sangatlah penting, sebab dengan bekerja secara profesioanl
seseorang tersebut akan sukses.
3. Kasih
sayang orang tua kepada anaknya tidaklah putus karena kesalahan yang dilakukan
oleh anaknya.
4. Jika
yang kita lakukan benar, maka jangan pernah takut untuk melakukan sesuatu hal
yang benar dan adil.
5. Jangan
pernah salah untuk selalu membela orang yang benar.
6. Keadilan
tidak dapat diperjual belikan, sebab keadilan bukan untuk orang yang salah dan
berkuasa atau kaya.
0 komentar:
Posting Komentar