MAKNA
KEMERDEKAAN MASA DEPAN DIBALIK CERPEN ‘’MERDEKA’’
KARYA PUTU WIJAYA
Oleh: Marinda Agustina
Putu
Wijaya banyak melahirkan karya-karya yang patut diperhitungkan dalam khasanah
sastra Indonesia. Banyak karyanya yang telah dipublikasikan baik yang berbentuk
cerpen maupun drama. Karya-karyanya kebanyakan dituangkan secara simbolik
melalui pemaknaan yang sangat kaya yang pada akhirnya akan melahirkan jutaan
persepsi pada masing-masing pembaca. Putu Wijaya disebut sebagai sastrawan yang
serba bisa karena telah banyak menghasilkan karya yang berjumlah kurang lebih
30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esai, artikel lepas,
dan kritik drama. Bahkan, beliau juga menulis skenario film dan sinetron.
Sebagai dramawan, Putu Wijaya memimpin
Teater Mandiri sejak tahun 1971. Putu Wijaya juga telah mementaskan puluhan
lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya
sastra dan skenario sinetron. Cerpen-cerpennya banyak bertebaran di Harian
Kompas dan Sinar Harapan. I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang dikenal dengan
sebutan Putu Wijaya, dilahirkan di Puri Anom, Tabanan,
Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Putu mengaku
belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. Tulisan
Putu Wijaya dalam karya-karyanya banyak memberikan gambaran tentang kehidupan
dan kemanusiaan yang disampaikan secara implisit, sehingga para pembaca harus
memaknai sendiri tentang karya tersebut. Hal ini tentunya akan menciptakan
persepsi-persepsi yang berbeda pada masing-masing pembaca. Tergantung pada seberapa
besar pemahaman seorang pembaca untuk menguak setiap rahasia yang tersimpan
dibalik sebuah karya sastra.
Putu Wijaya
disebut sebagai sastrawan yang serba bisa karena telah banyak menghasilkan
karya yang berjumlah kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu
cerpen, ratusan esai, artikel lepas, dan kritik drama. Bahkan, beliau juga
menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, Putu Wijaya memimpin Teater Mandiri sejak tahun 1971.
Putu Wijaya juga telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar
negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerpen-cerpennya banyak bertebaran di Harian Kompas dan Sinar Harapan. I Gusti
Ngurah Putu Wijaya yang dikenal dengan sebutan Putu
Wijaya, dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944,
bukan dari keluarga seniman. Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan
Goenawan Mohamad. Dalam sebuah tulisannya Putu Wijaya mengatakan bahwa,
''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau
bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah
siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan,
misteri, dan berbagai makna yang berserak. Dalam pernikahannya yang kedua, Putu
Wijaya dikaruniai seorang anak yang kemudian diberi nama Taksu. Nama Taksu ini
beberapa kali muncul dalam cerpen-cerpennya. Bahkan, dalam cerpen yang akan
saya ulas ini, lagi-lagi nama ini juga muncul sebagai tokoh pemicu pembangunan
konflik dalam cerita ini. Bagi Putu Wijaya, rumah tangga baginya sebuah
"perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan
anak, termasuk soal pekerjaan.
Cerpen ini
memiliki dunia tersendiri yang bertumpu pada isi pesan dibalik alur cerita yang
dimainkan oleh Putu Wijaya. Cerpen ini merupakan gambaran tentang kehidupan
sosial yang dilalui oleh tokoh-tokoh tertentu pada alur yang diangkat oleh
pengarang sesuai misinya. Pada bagian awal cerpen ini dibuka dengan suasana
bangsa ini diawal-awal pertempuran untuk merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah. Nilai-nilai perjuangan ini digali dari monolog antartokoh seperti
yang tergambar pada kalimat berikut ini. Menjelang
pertempuran terakhir yang menentukan, kami semua, para prajurit, bersiap.
Mengumpulkan tenaga, mengerahkan jiwa-raga untuk mengakhiri habis-habisan
benturan yang sudah berlangsung ratusan tahun ini.
Jelas sekali bahwa kalimat-kalimat seperti itu
menunjuk pada sebuah peristiwa pertempuran yang digambarkan melalui narasi
tokoh-tokoh pejuangnya yang berusaha untuk merampas kemerdekaan. Aku duduk di batang pohon kelapa yang mati
disambar geledek. Di pangkuanku senjata, sisa-sisa peluru, rasa sakit, dan
lelah yang sudah tidak aku pedulikan lagi. Barulah pada kalimat ini, si
tokoh aku yang dimunculkan oleh pengarang mulai menggambarkan keadaan si tokoh
utama dalam cerpen ini. Bila subuh pecah
dan matahari menyerakkan bara di langit timur, kami harus menyerbu. Hidup atau
mati itu soal nanti. Roda sejarah ini tidak boleh berhenti. Disini,
pengarang menyisipkan nilai-nilai kesejarahan tentang kemerdekaan yang
seharusnya diperjuangkan secara bersama-sama. Roda sejarah yang tak boleh
berhenti meskipun harus berakhir pada kematian. Kawan-kawanku ada yang berbaring tidur untuk menikmati mimpinya yang
mungkin tidak akan pernah lagi kembali. Ada yang menulis surat buat keluarganya
meskipun dia tahu semua itu tidak akan pernah sampai. Di depan nyala api,
komandan termenung seperti membaca apa yang akan terjadi. Selanjutnya, pada
kalimat ini mulai muncul pemikiran dari Putu Wijaya tentang makna sebuah
kemerdekaan yang direalisasikan dengan cara-cara yang berbeda pada
masing-masing orang. Ada orang yang dengan asyiknya menjalani kehidupan yang
sebenarnya belum dapat memerdekakan dirinya sendiri. Ada pula yang masih
bertanya-tanya tentang apa itu kemerdekaan, serta ada pula yang hanya hidup
dengan sibuk meratapi nasib yang telah digariskan Tuhan padanya. Pengarang
menyajikan sebuah pemikiran yang mengisyaratkan pemaknaan yang lebih ditekankan
pada sebuah perjuangan yang pasti dilalui oleh setiap orang untuk merdeka.
Hingga tentunya banyak orang yang memiliki sikap yang berbeda-beda untuk
menghadapi tantangan demi tantangan dari upaya memperoleh kemerdekaannya
sendiri. Waktu
itulah sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang.
Lebih cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang
pernah aku tonton.
Waktu itulah
sebuah tangan menepuk pundakku. Setan datang dengan wajah yang gemilang. Lebih
cantik dari semua bintang layar kaca atau bidadari di kelir wayang yang pernah aku
tonton. Senyumnya
menghancurkan seluruh duka yang bersembunyi di balik tulang dan urat-uratku
yang sudah patah dan rengat. Dan baunya bukan main harum. Semerbak sehingga
medan pertempuran yang anyir oleh bau darah itu berubah jadi kamar hotel
berbintang sembilan yang sensual. Disinilah tergambar sebuah cerita perenungan tentang adanya
godaan dan rintangan yang akan selalu kita hadapi saat sedang memperjuangkan
kemerdekaan. Pengarang menyimbolkan tantangan itu dengan kata sebuah
tangan setan yang datang dengan wajah yang gemilang. Godaan
yang ditawarkan oleh pengarang berupa sebuah rayuan yang sangat indah sehingga
mampu menggoda siapapun agar terjerumus dalam sebuah keburukan. Hal ini bisa
pula dikaitkan dengan sebuah godaan para pemikul kekuasaan yang banyak tergoda
untuk melakukan permainan politik yang tentunya ini dapat diartikan sebagai
tindakan membelenggu kemerdekaan rakyatnya. Pada bagian selanjutnya, pengarang
mulai meghadirkan sebuah dialog antar tokohnya yang disini juga dapat kita
tmukan simbol-simbol yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
"Bang, aku datang membawa pesan untukmu. Abang punya
waktu sebentar aku ganggu?"
"Pesan apa?"
"Jangan memandang ke depan hanya sebatas pandang."
"Kenapa? Apa yang bisa aku lakukan, aku hanya manusia
biasa yang sudah bertahun-tahun tidak sempat tidur."
"Kalau Abang hanya melihat yang ada di depan Abang,
Abang hanya akan melihat sebuah tiang bendera. Paling banter Abang hanya akan
kepingin menaiki tiang itu untuk mengibarkan bendera”. Dengan dialog yang cukup sederhana
diatas pengarang mencoba memberikan perenungan kepada kita bahwa untuk
mendapatkan kemerdekaan yang seutuhnya tidak hanya akan kita perjuangakan
sebatas apa yang ada di depan mata kita. Artinya, jika kita hanya berambisi
sebatas untuk merdeka saja, paling banter kita hanya akan memperoleh sebuah
nama “Merdeka” tanpa kita memikirkan bagaimana kehidupan nantinya sesudah
merdeka. Apakah kemerdekaan yang telah berhasil kita raih di depan tubuh kita
akan juga dapat kita rasakan dibelakang nantinya?. Inilah yang ingin pengarang
kupas lebih dalam lewat cerpen ini.
"Paling banter
Abang hanya akan menikmati bendera itu mengibas-ngibas ditiup oleh angin yang
bertiup membawa asap knalpot, sampah pabrik, dan debu-debu kotor yang penuh
penyakit. Dalam waktu sekejap Abang akan sakit."
Pesan yang akan disampaikan pengarang kian terasa pula pada kalimat-kalimat
tersebut. Jika kita tak mampuhidup untuk
memperjuangkan kemerdekaan yang semerdeka-merdekanya, maka kita hanya
akan merasakan sakitnya di belakang hari. Pemikiran semacam itulah banyak
ditekankan dalam cerpen ini. "Abang sudah tertipu! Lihatlah
ke depan. Enam puluh lima tahun lagi, kalau Abang merdeka, Abang akan menyesali
apa yang sudah Abang lakukan."
"Kenapa?"
"Enam puluh tahun lagi dari sekarang, pohon-pohon itu
akan ditebangi jadi jalan dan mall. Pencakar-pencakar langit akan menancap di
setiap jengkal tanah di seluruh tubuh kota”.
Dengan
dialog yang gamblang dan lugas, pengarang mulai menunjukkan kritiknya terhadap
keadaan sosial di Indonesia yang memang pada saat ini di kota-kota besar sudah
banyak sekali dibangun gedung-gedung pencakar langit milik pemerintah. Ternyata
konsep kemerdekaan yang dimaksud pengarang tidak hanya terbatas pada apa yang
harus kita perjuangkan, namun terlebih pada bagaimana kita bisa hidup setelah
kemerdekaan itu berhasil kita perjuangkan. Akankah kehidupan akan lebih baik
setelah merdeka atau justru semakin bertambah buruk.
Jalan layang melilit kota, tidak ada lagi yang akan sempat
melihat pagi dan senja merah, karena langit sudah dihancurkan oleh dosa-dosa
pembangunan.
Di jalanan tidak ada lagi ruang bagi pejalan kaki dan
sepeda, semua direbut oleh kendaraan mewah punya para konglomerat.
Kehidupan ini bukan milik rakyat, tapi para pemimpin,
ketua-ketua partai, dan para cerdik pandai yang nenjadi selebriti karena
teori-teori kemanusiaannya yang luar biasa cerdas, tetapi tak pernah berpihak
kepada kemanusiaan. Monolog berikutnya semakin memperkuat pemikiran pengarang
untuk mempengaruhi pembaca tentang kemerdekaan yang sebenarnya masih belum kita
dapatkan sejak dulu. Kemerdekaan sudah dirampas oleh para konglomerat yang
menguasai lebih dari sebagian wilayah negeri ini. Kemerdekaan yang dulunya
mati-matian diperjuangkan oleh para pahlawan tternyata hanya berakhir dengan penindasan
juga, meskipun banyak yang masih tidak menyadari hal tersebut. Melalui cerpen
ini kita dapat merasakan semangat kemerdekaan yang semakin menurun karena telah
termakan oleh teori-teori kemanusiaan yang tak berpihak kepada kemanusiaan
seperti yang dikatakan oleh pengarang. Kebobrokan negeri ini digambarkan dengan
begitu lugas oleh pengarang tentang kehidupan 65 tahun sesudah memperjuangkan
kemerdekaan. Ini merupakan kritik sosial yang diungkapkan secara terbuka agar
kita memerangi segala macam bentuk perampasan kemerdekaan yang banyak terjadi
saat ini. Cerpen ini menyajikan pemikiran tentang ekonomi dan politik bangsa
yang cukup cerdas, dimana kemerdekaan yang sesungguhnya hanyalah milik
segelintir orang yang memiliki banyak uang yang mampu membeli kebebasan itu
kapan saja. Demam berdarah, flu babi,
narkoba, kemiskinan, korupsi, gontok-gontokan agama, disintegrasi. Rakyat
kelaparan sementara para pejabat sibuk bertengkar saling menyalahkan dan
menghasut dialah yang paling tepat memimpin. Keos!
Lalu aku dengar setan tertawa.
Betul tidak, betul tidak apa yang aku aku katakan, kata
setan. Tidak ada gunanya kemerdekaan. Kemerdekaan hanya buat orang kaya dan
yang berkuasa. Kalian, 220 juta kawula, akan tetap menjadi budak yang tidak
punya masa depan.
Bukan kalian yang akan menulis sejarah tapi para
konglomerat, petualang-petualang politik dan para elite yang melihat kehidupan
dari balik teori-teori akademisnya yang abstrak.
Dari
kalimat diatas seolah-olah pengarang telah mampu membayangkan kebobrokan negeri
ini di masa 65 tahun ke depan saat Indonesia dinyatakan memperoleh kemerdekaan
tentunya. Jauh dibalik kemerdekaan itu masih banyak rakyat Indonesia yang masih
menjadi budak orang-orang yangmempunyai kekuasaan. Kehidupan seolah-olah hanya
milik orang-orang kaya dengan segala kemewahan yang dimilikinya. Lalu apa
bedanya kehidupan sebelum dan sesudah merdeka jika pada kenyataannya
kemerdekaan itu hanya dapat dirasakan oleh segelintir orang?.
Setan tertawa ngakak.
Aku jadi muak! Benci! Marah! Sumpek! Aku sumpahi, ludahi,
hajar habis semua kebiadaban itu. Aku malu, aku luka, aku sakit!
Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku. Ketika kubuka
mata, anakku, Taksu, berdiri di depanku dan berbisik. Pada monolog tersebut barulah
terjadi perpindahan alur secara mendadak yaitu gaya penceritaan pada saat
sebelum kemerdekaan dan setelah 65 tahun yang akan datang. Entah apa maksud
pengarang tiba-tiba membelokkan alurnya menuju kehidupan 65 tahun yang akan
datang, yaitu kehidupan yang saat ini sedang kita jalani. Pada penceritaan
berikutnya Putu Wijaya menceritakan sebuah kehidupan berumah tangga yang
digambarkan sering terjadi cek cok antara istri dan anaknya tentang
merealisasikan kemerdekaan seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela. Si tokoh
aku menegaskan kepada istrinya untuk hidup merdeka agar hatinya terbebas dari
rasa benci dan iri hati.
“Aku ingin menjadi
orang yang merdeka. Karenanya aku buang semua kebencian itu, sehingga aku
benar-benar merasa sebagai orang yang bebas dan merdeka." Petikan
kalimat tersebut menggambarkan tentang betapa mudahnya mengucapkan sebuah
pengakuan bahwa kita sudah merdeka. Namun, ternyata kemerdekaan yang
sesungguhnya sangat sulit sekali diwujudkan. Apalagi kemerdekaan yang berkaitan
dengan keikhlasan hati. Selanjutnya digambarkan saat Dewi, istri tokoh aku yang
mengikhlaskan hutangnya kepada para tetangganya untuk dianggap lunas saja
karena kesal dicurigai mau nagih hutang-nagih hutang melulu dan saat eluar mau
bersilaturahmi tetangganya langsung mencelup masuk, seperti ada hantu, takut akan ditagih. Istri tokoh aku yang ditegaskan oleh
suaminya untuk dapat ikhlas seperti kata Nelson Mandela akhirnya mengikhlaskan
hutang-hutang tetangganya supaya bisa bebas dari tekanan batin dan merdeka
lagi. Pada dialog selanjutnya pengarang menceritakan bahwa si tokoh aku yang
mengajarkan tentang kemerdekaan hati agar terbebas dari rasa benci dan
menggaungkan tentang keikhlasan batin dan menularkan konsep kemerdekaan yang
membebaskan perasaan itu kepada semua orang pada kenyataannya masih belum mampu
memerdekakan hatinya seperti perkataan Nelson Mandela yang ia jadikan patokan
merdeka.
"Ya Tuhan,
alangkah beratnya memperjuangkan kemerdekaa. Tapi seberat-beratnya berjuang
merebut kemerdekaan, ya Tuhan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka!".
Dari sinilah pengarang jelas memberikan kritik kepada semua orang bahwa pada
dasarkan membuat gagasan atau ide tentang suatu hal sangatlah mudah. Akan
tetapi, untuk merealisasikannya yang sangat sulit diwujudkan.
Cerpen
ini secara keseluruhan diperkaya dengan pemaknaan yang begitu mendalam dan
mengoyak keingintahuan pembaca untuk menafsirkan sendiri tentang makna lugas
dari cerpen ini. Cerpen ini menyajikan latar dan kisah yang sederhana yang umum
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam cerpen ini tidak disajikan pembeda
mana tokoh antagonis dan protagonisnya. Namun, alur cerita pada cerpen ini
lebih menekankan pada permainan emosi yang mengaduk-aduk pemahaman maupun
penafsiran pembaca. Dari judul cerpennya saja, kita dapat menebak bahwa cerpen
ini akan berbicara tentang makna sebuah kemerdekaan yang sesungguhnya akan
semakin sulit kita rasakan setelah kemerdekaan itu kita dapatnya. Seperti kata
Putu Wijaya dalam cerpen ini bahwa alangkah beratnya memperjuangkan
kemerdekaan. Tapi seberat-beratnya berjuang merebut kemerdekaan, alangkah beratnya hidup sesudah merdeka. Dari
kutipan kalimat ini kita mengetahui bahwa Putu Wijaya ingin menyampaikan kepada
para pembaca tentang betapa sulitnya orang-orang menjalani hidupnya, justru setelah
kemerdekaan itu berhasil didapatkan. Seperti kebanyakan yang terjadi dalam
realitas hidup sekarang, bahwa orang-orang masih banyak yang menangung beban
hidup terlampau berat dan masih merasa terjajah disaat ia merasa sudah merdeka.
Lantas, seperti apakah makna kebebasan yang ditawarkan oleh Putu Wijaya kepada
pembaca?. Kemerdekaan secara fisik memang mudah didapatkan, namun kemerdekaan
hati dan jiwa yang masih berat untuk dilaksanakan. Dalam cerpen ini, Putu
Wijaya menegaskan bahwa kemerdekaan tidak hanya terbatas pada apa yang kita
lihat di depan mata kita, akan tetapi terlebih pada apa yang ada di dalam diri
kita. Untuk apa kita merdeka kalau nyatanya hati kita masih diliputi kebencian
dan kedengkian. Dalam cerpen ini, Putu Wijaya memberikan makna yang berbeda
tentang kemerdekaan yang pada nantinya dapat dijadikan renungan oleh para
pembaca. Cerpen ini secara menarik telah membuka mata kita lebar-lebar untuk
memaknai arti dari sebuah kemerdekaan yang sesungguhnya. Namun, tidak semua
orang mampu merenungi atau bahkan melakukan seperti apa yang dikatakan oleh
Nelson Mandela dalam cerpen Putu Wijaya tersebut. Tidak semua orang mampu
memerdekakan hatinya masing-masing semudah mereka memerdekakan diri mereka dari
segala macam penindasan. Kedengkian dan rasa dendam masih saja terus ada dalam
hati meskipun kata merdeka sudah terucap dalam bibir. Tema ini menjadi inti
pemikiran dari Putu Wijaya saat menyampaikan makna cerita ini kepada para
pembaca. Kebencian, kedengkian, rasa dendam dan iri hati akan terus bergelayut
dalam hati orang-orang yang tidak mengetahui makna kemerdekaan yang sebenarnya.
Dengan latar yang variatif, yaitu dua latar yang sangat berbeda jauh pada
pelukisan awal cerita dan akhir cerita mampu menggambarkan suasana cerpen yang
sangat sesuai dengan latar sejarah kemerdekaan di negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar