HAKIKAT GURU DALAM “GURU”
Oleh: Frety Amora Pradiska
Sastra sebagai cerminan sosial budaya
suatu bangsa haruslah diwariskan
kepada generasi muda. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa
masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sastra pun dapat menjadi stimulus semangat kebangkitan
suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta
sumber perenungan yang sangat kaya.
Karya sastra dapat dipandang sebagai
bentuk perwujudan keinginan seorang pengarang untuk menawar dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu
dapat berupa pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat yang dapat
bermanfaat bagi pembaca. Penulisan karya sastra memiliki banyak tujuan. Karya sastra ditulis untuk
menyampaikan nilai pendidikan, moral, agama dan lain sebagainya.
Kata “guru” yang digunakan
dalam judul cerpen ini mempunyai makna yang beragam. Kata guru secara teknis dapat diartikan
sebagai orang yang
pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Selain itu, guru juga dapat dimaknai sebagai
panutan yang dapat menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa.
Cerpen “Guru” mengandung nilai-nilai edukasi yang
kuat. Cerpen ini diawali dengan kekhawatiran orang tua karena anaknya yang
bernama Taksu
yang bercita-cita
menjadi guru. Bagi orang
tuanya, hal ini adalah malapetaka. Menurut mereka, guru masa
depannya suram dan kehidupannya tidak akan sukses . kutipan di bawah ini
mempertegas gambaran di atas.
Anak saya
bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami
berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu
jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong...
"Taksu,
dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu!
Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita
hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi,
alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi
guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal
meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap
kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan.
Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa
kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya
mau jadi guru."
Suasana awal yang membuka cerita di
atas mau tidak mau akan membuat pembaca membayangkan peristiwa apa yang
kemudian terjadi. Ketidakmauan tokoh Taksu menuruti kemauan orang tuanya
membuat pembaca ikut berpikir sebenarnya apa sebab dari penolakan Taksu.
Mengapa ia sangat mempertahankan cita-citanya itu? Inilah yang kemudian menarik
perhatian pembaca. Di sini tokoh orang tua dari Taksu sangat memaksakan
kehendak, bahkan berbagai cara dilakukan untuk membuat anaknya merubah
cita-citanya.
"Kenapa?
Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? Guru itu
hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang
mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lihat
mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang
kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena
profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja
kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita
sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada
guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar.
Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja
utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh
sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya
untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak
dingin!"
"Sudah
saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan
sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu
menggeleng.
"Dikasih
waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
Kutipan di atas
jelas sekali mengungkapkan bahwa ayah Taksu membeberkan semua unek-uneknya
agar anaknya berubah pikiran. Namun, Taksu tetap pada pendiriannya. Inilah
salah satu nilai edukasi yang dapat dipetik dari cerpen ini, bahwa hidup
seharusnya tidak seperti air di atas daun talas. Taksu bersikeras sampai
kapanpun ia tetap pada pendiriannya, ia ingin menjadi guru. Bahkan suatu hari
ketika orangtuanya mendatangi tempat kos Taksu dengan membawa makanan
kesukaannya dan juga laptop baru, Taksu masih dengan pendiriannya yaitu tetap
ingin mewujudkan cita-cita mulia tersebut.
"Taksu!
Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang
pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka
bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu
bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah
menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru
yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu sudah
paham perihal bagaimana prinsip seorang guru, oleh sebab itulah ia tidak
mau menuruti nasehat orang tunya. Meskipun ia dimarahi kedua orang tuanya,
Taksu tetap tenang, ia tidak mau membantah setiap kata-kata yang keluar dari
mulut orang tunya. Taksu sangat menghormati kedua orang tunya. Inilah nilai
edukasi lain yang terdapat dalam cerpen ini, sebagai anak yang berbakti kepada
orang tua, Taksu tetap pada pendiriannya namun tetap dengan cara yang halus.
Meskipun berbeda pendapat dengan orang tuanya, Taksu tetap menghormati
keputusan orang tuanya tanpa membantah dengan perkataan yang tidak wajar atau
tidak sopan.
"Kamu kan
bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanya
puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah
duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena
tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa
hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan
yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang
tidak berguna? Paham?"
Taksu
mengangguk.
"Paham.
Tapi apa salahnya jadi guru?"
Setiap
pertanyaan yang diajukan kepada Taksu, selalu ia jawab dengan dingin dan
tenang. Seperti “paham, tapi apa salahnya jadi guru?” Kalimat tersebut
menggambarkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan seorang anak jika
keinginannya ditentang orang tuanya. ‘jadi guru. Kan sudah saya bilang
berkali-kali?’’ Masih dengan kalimat yang santun ia menjawab pertanyaan
yang selalu muncul dari orang tunya. Berikut ini kutipan yang mempertegas
gambaran di atas.
"Tiga
bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat
kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang
saya.
"Jadi
guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Melalui tokoh Taksu, Putu Wijaya juga
menggambarkan bagaimana seharusnya watak dan sikap yang harus dimiliki jika
manusia ingin menjadi pemimpin atau panutan, yaitu tidak mudah tergoda dengan
materi atau sogokan lainnya. Taksu tetaplah Taksu, ia adalah manusia
yang teguh pada pendiriannya. Usaha apapun yang dilakukan kedua orang tunya
tidak mempan baginya. Bahkan ketika ayahnya datang dengan membawa hadiah
mobil mewah, Taksu tetapa menolak keinginan orang tuanya.
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di
depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam
hati, karena ia memungut kunci itu
lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan
saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik
tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil
itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Ayahnya
pun mengancam akan menghentikan uang kiriman bulanan. Namun Taksu masih
dengan pendiriannya. Hingga akhirnya membuat ayahnya marah dan mengancam akan
membunuh Taksu. Taksu sungguh merupakan gambaran seorang yang memiliki hati
luhur dan sederhana. Manusia yang mempunyai prinsip hidup yang jelas.
"Aku bunuh kau, kalau kau masih
saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi
guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh
saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab
guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa
yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan
memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru tidak bisa
mati, Pak."...
"O… jadi
narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu
sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Itulah guru yang sejati. Putu Wijaya
mengungkapkan isi pikirannya memalui tokoh Taksu dengan dialognya yang sedikit
namun tajam dimata pembaca. Ilmu yang diajarkan guru akan tetap abadi meskipun
sang guru jasadnya telah tiada. Ungkapan tersebut jelas merupakan suatu nilai
edukasi yang dapat menjadi pembelajaran bagi manusia, bahwa hidup tidaklah
terlalu memikirkan materi tetapi lebih berpikir tentang apa yang telah
diberikan kepada sesama. Secara tidak langsung tokoh Taksu juga menggambarkan
nilai religiositas. Taksu dengan kepribadiannya tersebut meyakini bahwa ia
pasti mati dan kembali pada Tuhan yang Maha Kuasa, namun ada hal yang tetap
hidup dan sudah diberikannya kepada sesama yaitu ilmu. Ilmu datangnya dari
Tuhan dan untuk manusialah ilmu itu anugerahkan. Hal ini tersirat dalam kutipan
di atas.
Kehidupan duniawi akan terasa indah jika
manusia dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi manusia lainnya yaitu ilmu.
Ilmu sangatlah penting dalam kehidupan manusia, itulah yang berusaha
digambarkan Putu Wijaya melalui cerpen ini. Guru melalui ilmunya akan tetap
abadi dan bahkan bisa berkembang dan memberi inspirasi bagi generasi yang akan
membawa bangsa ini menuju kesuksesan.
Taksu akhirnya
memilih hidupnya sendiri, ia pergi dan hidup dengan caranya sendiri. Sementara
kedua orang tuanya terkejut dengan keputusan anaknya. Taksu hanya meninggalkan
secarik kertas yang ia sobek dari buku hariannya. Isinya “ maaf, tolong relakan
saya menjadi guru”. Di sini Putu Wijaya mencoba mencari solusi atas
konflik anak dan orang tua tersebut. Konflik tesebutlah yang menjadikan kedua
orang tua Taksu sadar akan keputusan anaknya tersebut dan mereka sadar bahwa
cara memperlakukan keinginan Taksu adalah salah. Dengan usaha yang pantang
menyerah, akhirnya Taksu pulang dengan menjadi seorang guru yang sukses dan ia
tanpa sedikit pun melupkan orang tuanya. Taksu pergi bukan karena benci kepada
orang tuanya, tapi lebih kepada bagaimana ia menggapai cita-cita mulia
tersebut.
Waktu telah
memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang
Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah
seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor
barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia
seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak
muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara,
karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu
mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi.
Tujuan hidup seorang anak memang menjadi
hal yang utama bagi orang tua. Namun, bukankah seharusnya orang tua itu selalu
mendukung keputusan anaknya jika keputusan itu adalah hal mulia yang dipilih
dan diyakini sang anak. Di cerpen ini ada nilai edukasi lain yang dapat diambil
yaitu tugas orang tua bukanlah menentukan jalan apa yang harus dipilih sang
anak tetapi mendukung, mengarahkan dan mengawasi jalan pilihan sang anak adalah
hal penting dan utama dari tugas orang tua. Dengan catatan, selama
pilihan hidup sang anak masih sesuia dengan norma-norma kebaikan.
Melalui cerpen “Guru”, Putu Wijaya
berusaha menggambarkan perjalanan kehidupan manusia dengan usaha dan keteguhan
dalam berpendirian. Semua tuduhan yang dilontarkan kedua orang tua Taksu
tentang masa depan guru mungkin ada benarnya benar. Tetapi guru tetaplah guru
yang selalu hidup karena ilmu yang diajarkan. Inilah yang digambarkan pengarang
melalui tokoh Taksu dengan dialog-dialognya yang sederhana dan mengena di
hati pembaca.
Karya sastra dapat dipandang sebagai bentuk dari perwujudan keinginan seorang
pengarang untuk menawar dan menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa
pandangan tentang suatu hal, gagasan, moral atau amanat yang dapat bermanfaat
bagi pembaca. Hal inilah yang coba dilakukan oleh Putu Wijaya dalam cerpen
“Guru” ini.
Cerdas dan lugas. Putu Wijaya
merangkaikan idenya dengan kata-kata yang sederhana, namun bermakna luar biasa.
Pesan dalam “Guru” telah mengajarkan kepada kita arti “guru” sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar