Dulu Bangga Sekarang Merana: Wujud
Kekecewaan Pada Bangsa dalam Sajak “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” Taufik Ismail
Oleh: Gamal Kusuma Zamahsari
Saya
ingin mengawali tulisan ini dengan sedikit kisah, ketika para mahasiswa
berkumpul berteriak menyerukan satu kata di depan DPR pada malam bulan mei
tahun 1998. Menuliskan kata bernada kasar pada papan-papan di tangan mereka.
Semangat berkobar menyampaikan aspirasi, berlari mengepalkan tangan tak peduli
ujian semester kala itu, bersama ribuan kawan dari berbagai penjuru tak peduli
dikejar tertembus peluru, jatuh tersungkur di halaman kampus dihantam para
penjaga yang bersenjatakan bedil dan kawannya. Hanya menginginkan satu kata, satu
kata yang merubah keadaan, satu kata indah bagi mereka yang memperjuangkannya. Aspirasi
rakyat yang menginginkan eksistensi diri mereka, tidak terkekang dalam kurungan
bernada otoriter pemimpin mereka. Kebebasan agar dapat menghirup udara segar
demi masa depan negara dan bangsa, reformasi pemerintahan Indonesia. Namun,
apakah itu dapat berjalan mulus jika masih ada sisa lubang-lubang yang mungkin
susah untuk menambalnya karena banyak jumlahnya, menutup satu lubang dengan
menggali tanah di sampingnya sehingga melahirkan lubang baru. Kini rasa percaya
diri kurang tumbuh pada diri anak bangsa, karena mewarisi kebiasaan gali lubang
tutup lubang dengan meminjam sen demi sen yang menjadi warisan.
Warisan
yang seharusnya diharapkan kebanyakan ahli waris, namun ini justru menyakitkan
karena ahli warislah yang harus berjuang menutupi seluruh hutang bapaknya.
Sungguh, harta kekayaan bangsa ini tak ternilai baik yang terbentang di atas
buminya, yang terkandung dalam perutnya serta yang berenang di dalam
samudranya. Namun, kekayaan itu seakan sirna karena kekayaan itu tergantung
dalam pegadaian dunia dan jatuh pada negara-negara besar multi-kolonialis dengan
elegansi ekonomi, mereka ibarat
melakukan kenduri bersama. Bisa dikatakan dengan berat hati dari penjajahan
berbau mesiu, desingan, serta ledakan memasuki era penjajahan baru yang halus
dan harmoni.
Dulu
bangsa ini harum namanya karena negara-negara lain kagum akan revolusinya.
Perjuangan anak bangsa, contohnya Bung Tomo dengan semangatnya berteriak menggelora
di telinga pemuda Surabaya di kala itu berjuang demi kemerdekaan dan revolusi
bangsa Indonesia.
***
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone
akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Dari
penggalan sajak Malu (Aku) Jadi orang Indonesia
di atas dapat kita hubungkan dengan biografi Tauif Ismail. Beliau
menempuh pendidikan tidak hanya di satu daerah saja, ketika beliau SD beliau
menempuh sekolah rakyat atau disingkat SR di Semarang kemudian melajutkan ke jenjang SMP di Bukit Tinggi Sumatra Barat,
pada jenjang SMA beliau tempuh di Pekalongan Jawa Tengah. Selanjutnya beliau
menempuh pendidikan menengah atas yang kedua di SMA Whitefish Bay di Milwaukee, Wisconsin, AS
melalui jalur beasiswa pada tahun 1956—1957. Setelah pulang ke Indonesia beliau menempuh pendidikan tinggi di
Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI, Bogor, 1963.
Sembilan belas lima enam itulah
tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat
diakui dunia
1956 dalam penggalan sajak di atas merupakan tahun ketika beliau
mendapatkan beasiswa, namun terasa janggal ketika membaca “Negeriku baru
enam tahun terhormat diakui dunia”
jika dihitung dari tahun kemerdekaan Indonesia
1945 jaraknya sebelas tahun namun dalam sajak di atas tertulis enam
tahun. Saya sebagai pembaca mengalami kebingungan apa arti dari Negeriku baru enam tahun terhormat diakui
dunia”. Apakah terjadi kesalahan dalam menghitung ataukah memang disengaja
dan enam tahun tersebut merupakan tahun spesial. Namun, beliau adalah seorang
yang pintar dari sisi pembaca saya berasumsi enam tahun dalam sajak Malu (aku)
Jadi Orang Indonesia ini memiliki arti tersendiri. Memang benar, pada tahun
1950 Indonesia baru diakui kedaulatannya tepatnya pada KMB (Konferensi Meja Bundar)
berlangsung. Secara keseluruhan penggalan sajak di atas menceritakan betapa
bangganya beliau sebagai orang Indonesia, beliau bangga bangsanya berhasil
merdeka, beliau bangga menceritakannya kepada orang asing yakni teman sekelasnya
Thomas Stone. Namun pada dua larik terakhir penggalan di atas mulai menunjukkan
bahwa beliau malu, “Dulu dadaku tegap
bila aku berdiri, Mengapa sering benar aku merunduk kini.”
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Dari penggalan sajak
bagian II beliau, saya dapat menangkap
betapa malunya beliau, ketika dulu dengan PD (percaya diri) beliau ceritakan
kepada temannya, inilah bangsaku yang sanggup merdeka dari jajahan Belanda,
namun kini “Langit akhlak rubuh, di atas
negeriku berserak-serak, Hukum tak tegak, doyong berderak-derak” dan di
akhiri “Dan kubenamkan topi baret di
kepala, Malu aku jadi orang Indonesia”. Beliau malu dengan negara-negara
lain sebagaimana tercermin dalam “Berjalan
aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di
Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza, Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan
Mesopotamia, Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata, Dan
kubenamkan topi baret di kepala”.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Pada penggalan sajak
bagian III tercermin betapa kacaunya bangsa ini, KKN (korupsi, kolusi, dan
nepotisme) meraja lela, suap menyuap baik di pengadilan bahkan perhitungan
suara pada pemilu yang seakan-akan hanya gurauan anak TK. Beliau geram atas
tingkah polah para pejabat dan yang berwenang yang melakukan tindak kriminal
kelas kakap yang terselubung dalam jas safari mereka. Beliau berdoa dan yakin
bahwa mereka yang melakukan hal keji itu akan masuk neraka. Pada akhir
penggalan sajak di atas Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi
dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang,
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.menggambarkan bahwa bangsa ini sudah kehilangan
akhlak mereka memiliki agama dan kitab suci sebagai pedoman hidup namun tidak
dalam kehidupan sehari-hari apakah ini yang disebut agama di atas KTP. Saya
megibaratkan bahwa barang elektronik saja memiliki buku panduan penggunaan,
begitu juga manusia jika salah membaca pedoman atau panduan dalam hidupnya
pasti akan rusak berantakan.
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Akhlak lah yang patut
digaris bawahi dan ditebalkan, beliau mengulang kata-kata di atas dalam bait ke
II dan ke IV, menunjukkan betapa malunya beliau menjadi orang Indonesia.
***
Demikianlah, sajak Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia karya Taufik Ismail menggambarkan betapa malu beliau
mejadi orang Indonesia. Pada mulanya beliau bangga. Namun, di masa kini beliau
melihat betapa buruk dan kacaunya bangsa ini karena kelakuan putra bangsa yang
keji yang tidak menghargai dan melihat bagaimana dulu para pejuang merebut dan
mempertahankan kehormatan bangsanya. Akhlak mulia sangat dibutuhkan bangsa ini,
bangsa ini membutuhkan generasi yang berakhlak sesuai dengan ajaran agama dalam
kitab suci.
DAFTAR
PUSTAKA
Wikipedia. Tragedi Trisakti. (on line).
Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013
Wikipedia. Taufik Ismail. (on line).
Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013
Wikipedia. Perempuran Surabaya 10 November. (on
line). Wikipedia.co.id, diakses 21 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar