DISTORSI NILAI INDONESIA DI MATA TAUFIK ISMAIL
DALAM PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA
KARYA TAUFIK ISMAIL
Oleh: Rohim Efendi
Bingung! Itu yang pertama kali saya rasakan ketika mendapat
tugas untuk menulis sebuah esai sastra. Apa yang harus saya tuliskan? Tidak
banyak karya sastra yang saya baca. Tapi saya meliliki satu puisi yang menarik
perhatian saya. Puisi karya Taufik Ismail yang ditulis tahun 1998. Ya! Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia judul
puisinya. Apa Anda pernah membacanya? Kalau belum pernah, dan merasa penasaran
silahkan baca. Jika tak sempat untuk mencari atau membeli bukunya, Anda bisa
mencarinya dengan menjelajah di Internet browser.
Puisi ini ditulis oleh seorang sastrawan besar yang terlahir
sebagai orang Indonesia, ditulis dengan bahasa yang ringan dan tidak memerlukan
pemahaman yang tinggi untuk menerka isinya. Taufik Ismail menjadikan dirinya
sebagai (Aku) aku yang malu jadi orang Indonesia dalam puisinya. Seperti sebuah
refleksi jaman, puisi ini membawa sebuah fenomena sosial yang terekam jelas
dalam benak penyair. Tapi ia tidak menulis puisinya dengan nada-nada kritik
yang umumnya dengan nada tinggi melainkan menuliskannya seperti sebuah sindiran
atas distorsi nilai yang semakin tinggi. Rasa bangga menjadi orang Indonesia
tak mampu bertahan lama. Seperti wangi parfum murahan yang dibeli di pinggir
jalan. Wangi sekejab lalu hanyut dalam tersapu keringat kecut mengguyur badan.
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Ketika di Pekalongan, SMA
kelas tiga / Ke Wisconsin aku dapat beasiswa / Sembilan belas lima enam itulah
tahunnya / Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Dari
penggalan puisi diatas kita tahun 1956 adalah tahun kebanggaan bagi Taufik Ismail. Ia memenangkan beasiswa
American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High
School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia. Tentunya
ini kebanggaan yang luar biasa baginya.
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Proklamasi Indonesia sebagai pernyataan dan simbol dari
kemerdekaan Indonesia memang dideklarasikan tahun 1945, namun belanda dan dunia
internasional baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949-1950 tepatnya
enam tahun sebelum Taufik Ismail melanjutkan study ke Wisconsin, AS sebagai angkatan pertama dari Indonesia.
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Mengapa sering benar aku merunduk kini
Indonesia begitu terhormat di mata dunia, itu terlihat dari
kekaguman bangsa-bangsa barat terhadap revolusi Indonesia. Namun kebanggaan itu
mulai luntur dari diri Taufik.
Taufik menggambarkan demikian: Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak / Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak / Berjalan aku di
Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, / Berjalan aku di Sixth Avenue,
Maydan Tahrir dan Ginza / Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia /
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata / Dan kubenamkan
topi baret di kepala / Malu aku jadi orang Indonesia
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam wikipedia negara
hukum dijelaskan bahwa Negara Hukum
bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar
hukum yang adil dan baik. Hukum menjadi landasan tindakan setiap negara. Ada
empat alasan mengapa negara menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya
berdasarkan hukum
1.
Demi kepastian hukum
2.
Tuntutan perlakuan yang sama
3.
Legitimasi demokrasi
4.
Tuntutan akal budi
Negara hukum berarti alat-alat negara
mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan
dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum, tujuan suatu
perkara adalah agar dijatuhi putusan sesuai dengan kebenaran. Tujuan suatu
perkara adalah untuk memastikan kebenaran, maka semua pihak berhak atas
pembelaan atau bantuan hukum.
Tapi bagaimana rupa hukum di negara kita?
Lihat bagian II
…/ Hukum tak tegak,
doyong berderak-derak/…
Lihat bagian III
Di negeriku,
selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Hmm… tepat
sekali bila Taufik mengatakan bahwa langit akhlak rubuh. Kebobrokan akhlak para
penguasa yang terekam dalam memori Taufik
selama puluhan tahun itu menjadi sebuah catatan fenomena yang
menggelikan. Begitu ironi. Ketika pada zaman penjajahan Belanda, para
Revolusioner berjuang demi mewujudkan Indonesia merdeka sedangkan kini setelah
dunia mengakui kemerdekaan Indonesia justru bangsa ini sendiri yang mulai
memporakporandakannya secara terang-terangan. Pondasi bangsa yang dikatakan
kokoh, ternyata keropos oleh mental pejabat dan aparat yang korup, rakyat yang
pemalas, rakyat yang miskin dan dimiskinkan, pendidikan yang amburadul, banyak
kekayaan alam yang dikeruk habis-habisan untuk kepentingan pribadi, dan lain
sebagainya. KKN telah menjadi kiblat utama untuk memperkaya diri sendiri.
Rakyat yang mempertanyakan dibungkam dengan sapatu lars kemudian dipenjarakan.
Hukumpun memihak. Para penegak hukum maju tak gentar membela yang bayar. Bila
dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin zamannya. maka puisi ini bisa kita
jadikan cermin agar kita tahu betapa
terdistorsinya nilai-nilai keindonesiaan kita. Sebagai bangsa yang besar harus
punya malu. Tetapi kalau tidak, kita akan hanya menjadi negara pengecut. Negara
yang tidak pernah bercermin pada sejarah. Menatap masa depan bangsa dari dan
kemajuan ekonomi Indonesia hanya berdasar pada terpenuhinya kantong-kantong
pribadi penguasa tanpa melihat mereka yang hidup dikolong-kolong jembatan, dan
balita digendongan ibunya menangis kepanasan dan kelaparan. Masihkan kita mampu
membusungkan dada? Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia!
0 komentar:
Posting Komentar