Budaya Penghalang Cinta
dalam Naskah Drama Berjudul Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya
Oleh: Pramudita Parahita Pawestri
Mendengar nama
Putu Wijaya sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. I Gusti Ngurah Putu
Wijaya begitulah nama lengkap seorang sastrawan yang lahir di Tabanan Bali
tanggal 11 april 1944. Sastrawan yang akrab disapa Putu Wijaya ini sudah
melahirkan banyak karya sastra seperti novel, cerpen, drama dan Putu Wijaya
menulis scenario berjudul Perawan Desa dan Kembang Kertas. Keduanya meraih
penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI).
Putu Wijaya terkenal dengan teror mental yang menjadi ciri khasnya dalam
menelurkan karya sastra. Putu yang lahir di Bali dan besar di tanah Jawa sedkit
banyak mempengaruhi karya-karyanya seperti yang terlihat dalam naskah drama
yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam.
Naskah drama
Bila Malam Bertambah Malam menceritakan seorang bangsawan yang bernama Gusti
Biang. Tokoh antagonis ini menuduh Nyoman akan meracuni dirinya padahal itu
semua tidak terjadi.
NYOMAN
Gusti Biang, pil
ini musti ditelan satu persatu.
Pakai pisang ambon atau pisang
susu, atau air. Pilih mana yang Gusti
suka. Tidak pahit
rasanya Gusti. Dan dalam tempo
seperempat jam, Gusti
akan merasa segar. Sesudah
itu minum puyer
ini, untuk menghilangkan
pusing-pusing Gusti.
GUSTI BIANG
Tidak!
NYOMAN
Obat-obat
ini dikirimkan dokter
Gusti. Harus dihabiskan.
GUSTI BIANG
Tidak,
tidak. Aku tahu
semuanya itu. Kalau
aku menelan semua obat-obatmu
itu, aku akan
tertidur seumur hidupku, dan tidak akan bangun-bangun lagi, lalu good bye. Lalu kau akan
menggelapkan beras ke warung cina. Kau selamanya iri
hati dan ingin membencanaiku ...
Kalau sampai aku
mati karena racunmu, Wayan akan
menyeretmu ke pengadilan.
Sudah
sejak lama GustiBiang tidak cocok dengan Nyoman, tidak hanya menuduh Nyoman
akan meracuninya, Gusti Biang juga mengusirnya dan menagih semua yang telah
diberikan Gusti Biang selama depan belas tahun merawat Nyoman. Putu Wijaya
mencoba menggambarkan seorang bangsawan dengan kasta Ksatria yang sangat tamak
dan penuh perhitungan melalui tokoh Gusti Biang.
GUSTI BIANG
Setan bawa kemari buku itu!
(gusti biang
mengambil buku itu
dan memberi isyarat
kepada wayan agar mengambil kaca
mata dan lampu
teplok. wayan segera
melakukannya dan mengangkat lampu
teplok tinggi-tinggi)
Nah, di sini
dicatat semua perongkosan
yang kau habiskan selama
kau dipelihara di
sini. Nyoman Niti, asal
dari desa Maliling,
umur lebih kurang delapan belas
tahun. Kulit kuning
dan rambut panjang. Badan biasa,
lebih tinggi sedikit dari Gusti Biang.
Mulai dari tahun
lima puluh empat,
lima pasang baju, sebuah boneka, sebuah bola bekel, satu biji kelerang,
satu tusuk konde, dan ...
WAYAN (Memotong)
Benar, piih, semua Gusti catat.
NYOMAN
Gusti Biang ....
GUSTI BIANG
Tahun
lima puluh lima,
sekarang! Dua baju
rok, batu tulis, kebaya,
pinsil, satu batang
jarum, sepasang teklek, tikar
dan seekor anak
kucing belang.
WAYAN
Ah, benar Gusti
Biang, titiyang masih ingat
sekali ketika pertama kali Nyoman mengenakan
kain kebaya. Piih, semuanya itu sudah lewat.
GUSTI BIANG
Selama
dua tahun ini
sudah berjumlah dua
juta rupiah ... kemudian
sekarang tahun lima
puluh enam! Tidak ada,
sebab aku lupa
mencatatnya. Tahun lima puluh tujuh, aku juga lupa mencatatnya. Tetapi
di sini yang kuingat, ia memecahkan
sebuah cangkir dan kaca
mataku. Lalu tahun
lima puluh delapan! Sepasang
sandal, sekotak bedak,
kaca jendela dipecahkannya, dua
buah gelas tiba-tiba menghilang, sekilo daging dimakan
si belang karena
lupa
mengunci dapur. Tiga
buah sisir, tiga
butir kelapa hilang. Seekor
ayamku yang paling
baik disembelihnya, sepuluh anak
ayam tiba-tiba mati, yang
bulu putih, hitam,
coklat, kuning, dan berumbun. Lalu ...
Selain
mengusir Nyoman, Gusti Biang juga mengusir Wayan dari purinya karena Wayan
menghina suaminya yang seorang bangsawan dan pahlawan. Gusti Biang juga tidak
terima kalau anak semata wayangnya Ratu Ngurah menikah dengan Nyoman yang hanya
bersal dari kasta Sudra. Putu Wijaya yang juga orang Bali ingin menggambarkan
bahwa saat ini kasta agaknya sudah tidak berlaku lagi, karena seseorang bisa
memilih pasangannya sendiri tanpa harus memperhatikan kasta. Pandangan seperti
ini memang sedikit menyimpang dari budaya yang telah berurat akar dalam
masyarakat Bali, yang bagaimanapun juga kasta masih diperhatikan. Lewat naskah
ini Putu mencoba untuk merubah paradigma tersebut. Hal itu tersampaikan lewat
dialog Wayan
WAYAN
Tiyang
menghamba di sini
karena cinta tiyang kepadanya. Seperti
cinta Ngurah kepada
Nyoman. Tiyang tidak pernah
kawin seumur hidup
dan orang-orang selalu menganggap tiyang
gila, pikun, tuli, hidup. Cuma
tiyang sendiri yang
tahu, semua itu tiyang lakukan
dengan sengaja untuk melupakan kesedihan,
kehilangan masa muda
yang tak bisa dibeli
lagi.
(Memandang Ngurah
dengan lembut. Tapi tiba-tiba
ia teringat sesuatu
dan kemudian
berkata)
Tidak.
Ngurah tidak boleh
kehilangan masa muda
seperti bape hanya
karena perbedaan
kasta.
Kejarlah perempuan itu,
jangan-jangan dia mendapatkan
halangan di jalan. Dia pasti tidak akan berani pulang
malam-malam begini. Mungkin
dia bermalam di dauh
pala di rumah
temannya. Bape akan mengurus
ibumu. Pergilah cepat,
kejar dia sebelum terlambat.
Dalam kehidupannya sendiri, Putu Wijaya tidak
menikah dengan orang Bali melainkan menikah dengan Renny Retno Yooscarini yang lebih
dikenal dengan nama Renny Djajusman yang kemudian bercerai. Sedikit banyak
cerita dalam naskah Bila Malam Bertambah Malam sama seperti kehidupan Putu
Wijaya sendiri yaitu menikah dengan orang yang berbeda kasta bahkan menikah
dengan orang yang bukan dari kasta manapun. Terciptanya naskah yang bercerita
seperti itu kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh kehidupan Putu Wijaya yang sejak
tamat SMA meneruskan di Jawa tepatnya di Jogjakarta lalu menetap dan bekerja di
tanah Jawa. Di Jawa tidak mengenal istilah kasta. Orang-orang bisa dengan bebas
memilih denagn siapa dia akan menikah. Hal inilah yang tidak ditemui di
kehidupan masyarakat Bali.
Melihat
dan membaca naskah ini seolah-olah melihat Putu ingin meleburkan dua kebudayaan
yang bereda. Budaya kasta yang besifat kaku dan tertutup sedikit demi sedikit
ingin dirubah oleh Putu seperti budaya yang ada di Jawa dan kenyataanya
sekarang banyak putra-putri Bali yang menikah dengan orang yang tidak berasal
dari kasta manapun termasuk Putu Wijaya sendiri. Putu Wijaya sebagai putra Bali
yang memiliki kasta tinggi tentu memiliki alasan tersendiri mengapa ia
menciptakan karya yang bertolak belakang dari budayanya itu. Banyak
naskah-naskah drama yang ketika dibaca sulit untuk dipahami apa yang sebenarnya
ada dalam naskah itu, hanya orang-orang yang sudah biasa bersinggungan dengan
kehidupan teater saja yang bisa memahami, meskipun sebuah karaya sastra
memiliki multi interpretasi tergantung dari siapa yang menginterpretasikan dan
interpretasi serta apresiasi setiap orang pastinya akan berbeda-beda. Putu yang
terkenal dengan teror mental yang kebanyakan ia selipkan di setiap
karya-karyanya tidak terlalu Nampak dalam naskah dramanya ini.
Orang awam
yang tidak begitu paham dengan dunia teater pastinya akan memahami inti dari
cerita ini karena memang ceritanya mudah dipahami dan alurnya pun mudah untuk
diikuti, selain itu naskah drama ini tergolong realis karena masalah-masalah
yang ditimbulkan dalam cerita hampir sama dengan kehidupan sehari-hari. Penggambaran
tokoh dan penokohannya pun hampir sama dengan kebanyakan orang pada umumnya.
Ada tokoh antagonis, protagonis, dan tritagonis yang mewarnai cerita dengan
keunikan dan karakter masing-masing yang begitu kuat. Banyak amat yang kita
peroleh dari membaca naskah ini yaitu amanat bahwa cinta tidak bisa dibatasi
oleh status sosial seperti kasta, biarkan cinta itu memilih dan menemukan cinta
sejati dengan sendirinya. Tidak hanya itu, amanat lain yang bisa kita ambil
adalah kita tidak boleh memaksakan kehendak pada orang lain, belum tentu orang
lain akan suka dengan apa yang kita pilihkan untuk mereka dan juga semua orang
memiliki hak yang sama tidak melihat dari status mana orang itu berasal. Dalam
cerita ini kita juga diajarkan untuk pandai membalas budi seperti yang
digambarkan oleh Putu dalam dialog Gusti Biang dan Nyoman. Nyoman sangat setia
pada Gusti Biang karena Gusti Biang sudah merawat dan menyekolahkan Nyoman,
meskipun lama-kelamaan Gusti Biang menjadi tidak suka pada Nyoman, tetapi
Nyoman tetap mau mengabdi. Secara keseluruhan, naskah ini sangat bagus dan
potensial untuk dipentaskan serta terdapat banyak hal yang bisa dipetik dan direnungkan
dalam naskah drama ini. Maka tidak heran Putu menjadi seorang sastrawan yang
terkenal dengan karya sastranya yang bagus dan menarik.
Sumber:
_____.2012. Putu Wijaya Sastrawan
Serba Bisa. (online)
(http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/176-sastrawan-serba-bisa,
diakses tanggal 5 Mei 2012)
0 komentar:
Posting Komentar