Punahnya Dolanan
Tradisional dalam Drama ‘Padang
Bulan’
Oleh: Zakiah
Alif Syakura
Drama
‘Padang Bulan’ ini adalah drama sederhana buat Belia karya Ucok Klasta.
Tokoh-tokoh pada drama ini adalah Padang, Bulan, Jembar, Kalangan, Aki, Nini/
(sekaligus) Ibu lugu, Lugu, pejabat Pemerintah Kota, Politikus (Anggota Dewan
Kota), Boss (Pengusaha), Petugas Kamtib. Drama ini terdiri atas 5 adegan.
Drama
ini kaya dengan beberapa simbol. Simbol-simbol tersebut sebagai bentuk
penyampaian kepada penonton. Ucok ingin menyampaikan seberapa banyak permainan
tradisional yang sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak modern sekarang. Kehadiran
tokoh Padang, Bulan, Jembar, dan Kalang juga sebagai salah satu simbol yang
terdapat dalam drama ini. Keempat tokoh tersebut menyimbolkan permainan
tradisional yang punah punah terkikis dengan modernisasi.
Pada awal adegan 1 sampai 2 Ucok
memperlihatkan adegan permainan anak tradisional, khususnya anak Jawa. Hal
tersebut terlihat dari adegan saat keempat tokoh bermain tebak-tebakan di malam
hari saat bulan purnama. Selain itu,
Ucok juga menyebutkan beberapa permainan tradisional yang sudah mulai punah
melalui dialog tokoh Padang ‘Nah, main apa kita sekarang ? Kejar-kejaran? Betengan? Gaprakan ? Tebak-tebakan?’. Kemudian pada adegan 2, Ucok
memperkenalkan kebiasaan Aki dan Nini yang bercerita kepada anak-anak sambil
menyuguhkan jajanan tradisional, seperti klenyem (seperti dalam drama).
Pada keseluruhan drama, Ucok juga
mengenalkan beberapa lagu tradisional sebagai simbol pemusnahan lagu
tradisional akibat modernisasi. Lagu tradisional yang digunakan dalam drama ini
adalah ‘Padang Bulan’ dan ‘Menthok-menthok’. Lagu ‘Padang Bulan’ menggambarkan
kegirangan anak-anak zaman dahulu saat bulan purnama datang dan bermain. Semua
anak berkumpul untuk bermain, berbeda dengan anak-anak zaman sekrang yang lebih
asyik dengan kecanggihan teknologi. Hal tersebut diakhir drama diibaratkan Ucok
dengan berubahnya tokoh Padang, Jembar, dan Kalang menjadi playstation, handphone,
dan Buldoser.
Pada adegan ke-3 pergantian latar
diawal dengan dialog Aki. Dialog Aki dari balik panggung dan keluarlah tokoh
Lugu memperagakan cerita Aki seolah cerita Aki tersebut menjadi nyata dan dapat
dinikmati menonton. Pada cerita Aki tersebut, Ucok menyampaikan bahwa
modernisasi seperti itulah yang telah mengikis permainan tradisional. Kemewahan
membuat anak-anak lupa bahwa ada permainan tradisional yang lebih baik. Keadaan
yang berbinar-binar membuat permainan tradisional semakin dilupakan. Anak-anak lebih
asik dengan kecanggihan teknologi daripada permainan trasdisional.Ucok juga
seakan ingin mengajarkan bahwa dalam permainan tradisional mengajak untuk
saling bersosial satu sama lain, saling mengasihi, saling menghargai, dan
saling membantu. Sedangkan moderninasi cenderung membuat orang egois serta
mementingkan diri sendiri. Hal tersebut tercermin dalam adegan dialog pejabat
dan Boss serta Lugu yang meminta-minta malah dicaci oleh Boss dan diusir oleh
kamtib.
065. Lugu : Tidak mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya
manusia! Saya bukan binatang!
090. Lugu : Kalau ini memang kampungku, lantas mana rumahku hayooo?!
091. Nini : Rumah kita dan rumah-rumah tetangga sudah jadi gedung-gedung
megah itu anakku.
092. Lugu : Lha pasar? Pasar Wage?
093. Nini : Kamu lihat supermarket itu? Itulah pasar kita.
094. Lugu : Lha
tegal, sawah …?
095. Nini : Yah … Sebutlah itu sekarang : jalan tol.
096. Lugu : Lha yang hilir-mudik di
jalan ini? Pasa ngebut ini …?
097. Nini : Ya, itu pedati kita, gerobak kit, gledheganmu …
098. Lugu : Kampungku jadi macam ini?! O ya, o ya … Bagaimana dengan lapangan?
Jadi apa tempat bocah-bocah berkumpul kalau malam padhang mbulan?
099. Nini : Jadi … Jadi ‘ dufan’ Le
…
100. Lugu : Haaa … Tapi … Tapi kan ini semua … Milik kita? Kan kampung kita?
101. Nini : Sayangnya … Ini semua bukan milik kita.
102. Lugu : Lantas orang-orang kampung pada dimana?
103. Nini : Mereka di gedung-gedung itu … Tapi bukan pemiliknya … Klining serpis-nya. Mereka di
supermarket-supermarket itu … Tapi bukan pemiliknya … Kuli gudangnya. Mereka di
rumah-rumah mewah itu … Tapi bukan pemiliknya … Babu-nya. Mereka di jalan-jalan itu … Tapi bukan pemiliknya …
Kakilimanya. Mereka di pabrik-parik itu … Tapi bukan pemiliknya …Buruhnya.
Mereka dimana-mana … Tapi tak punya apa-apa … Tak ada tempatnya … Merana …
104. Lugu : Cukup! Cukuuup ! Cukuuuuuuup! Ini gila … Ini gila … Gila! Aku mau
kampungku … Kembalikan kampungku! Kembalikan kampungku! Kampungku !!!
Keunggulan
lainnya dari drama Ucok ini adalah menyajikan alur yang campuran. Hal tersebut
terlihat pada adegan 4, setelah adegan Lugu dan Nini selesai (adegan 3) pada
adegan 4 kembali lagi pada Bulan dan kawan-kawannya. Jika dilihat dari segi
keunggulan drama ini menyajikan perbandingan kepunahan dolanan dan tradisi lainnya di masa
modern. Namun, kekurangan lain dari alur tersebut adalah beberapa orang yang
belum mengetahui keseluruhan naskahnya akan bingung. Hal tersebut karena
tercantum pada naskah Ucok menginginkan antara Nini dan Ibu Lugu (adegan 3)
adalah pemain yang sama.
Pada adegan 5
bisa disebut gebrakan yang dilakukan Ucok pada drama ini. Hal tersebut karena
pada adegan ini kedua setting dipertemukan dengan cara tokok dari setting
tradisional menjadi simbol-simbol modernisasi yang mengakibatkan bergesernya dolanan
tradisional di keseharian anak-anak. Hal tersebut dapat dilihat pada dialog
berikut.
152.
Bulan : He! Kok pada diam?! Padang! Padang …(Suara melunak).
153.
Padang : Aku bukan Padang. Aku PLEIII
… STESIEEEN …
Bulan terlonjak mundur.
154.
Bulan : Play station?!
Bulan mendekati Jembar.
155.
Bulan : Jembar … Heh! Jembar! Jembar
…
156.
Jembar : Aku bukan Jembar. Aku
HENPOOON …
Bulan tambah terlonjak.
157.
Bulan : Handpone?!
Bulan mendekati Kalangan.
158.
Bulan : Kalangan … Kamu apa lagi?
Kalangan …
159.
Kalangan : Aku bukan Kalangan. Aku
BULDOZERRR …
Bulan bahkan terjengkang.
160.
Bulan : Buldoser?!
Plei
Stesien, Henpon, Buldozer mulai tertawa mengikik, lama-lama makin keras dan
makin keras sambil berkata-kata secara menyayat-parau.
161. Dimana Padang,
Bulan? Dimana Jembar, Bulan?! Dimana Kalangan Bulan?!
Mereka
mulai merengsek, mengerubut Bulan, menarik-nariknya kesana-kemari.
162. Bulaaan … Bulaaan
… Bulaaan … BULAAAN! BULAAAAAN!!!
Sambil
meronta-ronta Bulan memekik-mekik memanggili teman-temannya.
PADANG !!! JEMBAR !!!
KALANGAN!!! DI MANA KALIAN TEMAN-TEMANKU SAYAAANG???!!! PADAAANG!!! JEMBAAAR!!!
KALANGAAAN !!!
Drama
ini memiliki beberapa pesan moral untuk menikmatnya, seperti maju dan
kembangkan negara kita, namun jangan melupakan budaya dan tradisi yang
terdahulu. Lestarikan dolanan tradisional sehingga tradisi dan budaya
tidak punah.
5 komentar:
wah.... sangat menarik.... boleh kah saya minta copy an naskahnya? saya ingin mementaskannya di sekolah tempat ngajar saya...kalau berkenan boleh di kirim ke email saya roni.syhrn@gmail.com
saya juga ingin sekali mementaskan. jika boleh, kirimlah naskahnya ke email saya. yulitaayusuryani@gmail.com
Woow...luar biasa, Saya ingin mementaskan disekolah tempat saya mengajar, Bolehkah mengirimkan copy naskanya, email saya dwiyanti.odi73@gmail.com terimakasih
Saya ingin mementaskan disekolah.Bolehkan saya minta copy naskahnya ke email saya septi.rahayusulis@gmail.com
Terimakasih atas penjelasannya...
Posting Komentar