PESAN ‘CERITA DARI
TAPAL BATAS’ OLEH KURNIA HADINATA
Oleh: Dwi Sastra Nurokhma
Suatu karya diciptakan
untuk dibaca dan diapresiasi. Penciptaan suatu karya secara tidak langsung
diniatkan untuk dapat mempengaruhi pembaca. Akan tetapi, cara setiap individu
dalam menyikapi suatu hal tentu berbeda. ‘Cerita dari tapal batas’ yang
mengisahkan mengenai kehidupan seorang prajurit selama dia ditugaskan di salah
satu wilayah terluar Indonesia yang sedang terjadi konflik yaitu Papua tentu
melahirkan berbagai persepsi berbeda dari para pembacanya.
Ada kalanya pembaca akan
berpikir bahwa pengarang menciptakan ‘Cerita Dari Tapal Batas’ agar masyarakat
Indonesia yang memiliki skemata bahwa aparat bukan pengayom masyarakat akan tetapi
musuh masyarakat dapat berubah. Akan timbul pula pendapat bahwa aparat yang
bertugas dan masyarakat Papua hanyalah korban. Berbagai persepsi yang timbul
dalam benak saya menggiring saya untuk lebih mengerti siapa pengarang dan apa
yang terjadi di di Papua sehingga memacu pengarang untuk menciptakan cerpen
tersebut.
Pengarang sendiri
dilahirkan 17 Desember 1981 silam di kota budaya Batusangkar, Sumatera Barat.
Merupakan alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa Sastra
dan Seni (FBSS) Universitas Negeri Padang (UNP) tahun 2004. Dari sedikit data
yang saya peroleh mengenai pengarang, tentu pengarang bukan orang yang
mengalami langsung menjadi masyarakat Papua yang hidup di lingkungan konflik.
Pengarang juga bukan seorang mantan atau calon prajurit yang ditugaskan di
wilayah konflik.
“Di sungai ini kami
punya bapa dibunuh;
di lereng gunung itu dulu ada sejumlah kampung yang dikasih habis sama ABRI; di lapangan itu tete moyang kami dulu dipaksa untuk membakar
koteka karena dianggap primitif; gunung itu dulu kami punya sekarang orang
sudah kasih rusak kami punya mama; dulu kami gampang cari binatang di hutan
tapi sekarang kami tidak boleh masuk karena katanya milik perusahaan yang
dilindungi Undang-undang negara; kami punya anak tidak bisa maju karena
guru-guru di sekolah hampir tidak ada, susah dapat obat karena mahal; dsb.”
OPM sendiri
timbul karena mereka, penduduk papua merasa bahwa mereka tidak memiliki
hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia
lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah
perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan
wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang
merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan
dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Cerita-cerita mengenai penindasan yang masyarakat
alami ini tidak pernah dibukukan, tetapi diwariskan turun-temurun dari generasi
ke generasi. Nada dasar segala ungkapan ini adalah: kami dinilai bukan manusia.
Artinya, orang Papua merasa bahwa mereka tidak diperlakukan sebagai manusia
tetapi sebagai obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek
pengembangan ekonomi, obyek turisme, dan sebagainya. Kutipan dari blog yang
berisi dialog antara Budi Hernawan dan Theo van den Broek, Theo van den Broek
yang merupakan narasumber menyampaikan rasa sakit hatinya kepada pihak
yang berwajib atas yang dilakukan
terhadap keluarga narasumber.
Pengarang dalam
cerpennya menuliskan sedikit mengenai kehidupan penduduk yang masih primitif
dimana mereka masih makan hasil buruan yang mereka dapat. Mungkin sesuatu yang
alami, yang belum mengikuti arus perubahan itu perlu dibiarkan bagaimana adanya
agar keragaman tetap terjaga. Pengarang memilih menuliskan cerpen dari sudut
pandang seorang prajurit baru dimana sebenarnya tokoh utama dalam cerpen tidak
dengan sungguh-sungguh ingin menjadi prajurit. Dia hanya ingin menuruti
kehendak sang ayah yang igin sekali anaknya menjadi prajurit.
Inilah
kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas.
Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah
karena aku ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku
sangat ingin aku menjadi tentara, dan untuk itu dia mau melakukan apa pun.
Tapi, kemudian
pengarang menuliskan bahwa jiwa nasionalisme yang dipupuk selama masa studynya
membuat tokoh utama diharuskan untuk mencintai profesi dan bertekad untuk siap
mati membela tanah air. Pedoman mereka adalah NKRI harga mati. Lebih baik
pulang membawa nama dari pada gagal dalam menjalankan tugas. Dalam masa
pendidikan, pemikiran mengenai siap mati bela Negara dipupuk agar mereka
benar-benar mengabdi. Dijelaskan juga akan perjuangan yang dilakukan sang ayah
agar tokoh utama dapat masuk di akademi militer agar tokoh utama mengikuti
jejak sang kakek. Dijelaskan pula mengenai seorang prajurit, teman tokoh utama
yang justru berada di kubu OPM karena membutuhkan materi lebih setelah menikah
dan memiliki seorang anak. Kemudian terjadi konflik batin pada diri tokoh
utama. Sahabat, kakak seperjuangan yang dulu begitu berjiwa nasionalis berubah
menjadi penghianat. Hal ini seakan membuat cerpen sedikit timpang, terjadi
pergolakan antara memihak prajurit atau masyarakat Papua. Akan tetapi kemudian
saya kembali beranggapan bahwa mungkin yang dimaksudkan oleh pengarang di sini
adalah sedikitnya gaji yang diterima prajurit selama masa jabatannya membela
dan mempertahankan bagian Negara Indonesia. Padahal di daerah konflik, mereka
dapat terbunuh kapan saja. Sebagaimana yang pengarang tuliskan sebagai berikut
Tuan
tahu berapa gaji prajurit TNI berpangkat rendah di negeri ini? Ya, mungkin
terlalu kecil bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah yang
harus diamankan, atau dibandingkan dengan negara tetangga kita. Inilah
dilemanya, pemerintah kita menuntut profesionalisme TNI, namun di sisi lain
pemerintah masih minim dalam meningkatkan kesejahteraan hidup prajuritnya.
Lihat saja anggaran pembelian alat keamanan dan pemeliharaan. Sangat minim.
Jelas, peralatan TNI sangat di bawah standar, ketinggalan zaman dan berusia
lanjut. Armada pesawat TNI, misalnya, jauh dari standar modern, sudah tua.
Tidak mengherankan kalau banyak peristiwa kecelakaan pesawat militer di negeri
ini, dan menelan korban yang tidak sedikit setiap tahun. Berapa banyak prajurit
yang gugur sia-sia? Tidak mengherankan pula jika banyak oknum TNI yang
berprofesi ganda menjadi tentara bayaran, bekingan pejabat dan pengusaha,
sampai menjadi bandit kelas kakap dan penjahat negara yang jelas-jelas
melanggar kode etik profesi bahkan menanggalkan janji yang terpatri sewaktu
pendidikan dulu.
Dari kutipan di atas,
terlihat opini pengarang yang menyudutkan pemerintah pusat yang kurang tanngap.
Pengarang menuliskan setiap kata dalam cerpen dengan utuh dimana semua tertata
rapi dengan bahasa yang mudah di pahami dan pemilihan kata yang beragam. Seakan
sedang membaca syair dalam bentuk prosa. Hal ini tidak lepas dari jiwa
pengarang yang juga merupakan seorang penyair.
Peristiwa
pembuka dan penutup pada cerpen dimana tokoh utama mengalami kecelakaan pesawat
dengan tokoh yang sengaja dijabarkan oleh pengarang kembali mengusik pikiran
pembaca apakah cerpen ini dibuat berdasarkan kisah nyata atau hasil imaji
pengarang yang dikembangkan dari peristiwa yang diketahuinya. Peristiwa
jatuhnya pesawat militer seringkali terjadi, hal mengenai jatuhnya pesawat yang
sering terjadi juga diungkapkan pengarang dalam cerpen tersebu. Memang jenis
pesawat helikopter Super Puma SA 330 pernah jatuh pada juni 2009 di Lanud Atang
Sanjaya, Bogor, dan masih banyak lagi kecelakaan pesawat militer. Sebagian
besar fakta yang dicantumkan dalam cerpen seakan ingin mengubah pandangan
masyarakat mengenai kemiliteran di Indonesia. Pengarang mengarahkan pembaca
untuk tidak hanya memikirkan masyarakat Papua yang menjadi korban OPM, tetapi
juga prajurit yang gugur selama bertugas mengamankan bagian dari wilayah
Indonesia yang dijajah. Sampai saat ini konflik di Papua masih terjadi. Masih
juga ada prajurit baru yang ditugaskan di daerah tapal batas Indonesia
tersebut. Pengarang mencoba mengajak kita melalui cerpennya untuk tidak saling
menyalahkan dan bersatu mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
tangan bangsa lain. Karena, tidak dapat dipugkiri bahwa gerakan OPM, GAM, dan
juga Timor-Timor yang telah lepas dari Indonesia tidak menutup kemungkinan akan
adanya campur tangan dari bangsa lain.
0 komentar:
Posting Komentar