KRITIK SOSIAL IWAN SIMATUPANG DALAM NASKAH DRAMA
‘RT NOL RW NOL’
Oleh: Hasan Nugroho
Aneh, inilah kata yang tiba-tiba muncul ketika sekilas melihat
judul sebuah tulisan, yang ternyata adalah judul sebuah naskah drama karya Iwan
Simatupang, ‘Rt Nol Rw Nol’. Namun justru dari keanehan itulah sisi menarik
dari naskah drama ini muncul, tak hanya sekedar aneh, namun judul naskah drama
ini dapat dikatakan unik. Jika biasanya alamat kependudukan dimulai dari angka
satu, misalnya saja Rt 01 Rw 01, maka kali ini dimulai dengan angka nol. Memang
tidak wajar, namun inilah yang membuat pembaca benar-benar tertarik untuk
membaca naskah drama ini untuk mencari tahu apakah yang dimaksud dengan angka
nol di dalam judul ini. Karena tidak mungkin judul dari naskah drama ini dibuat
secara asal-asalan. Penulis pasti sengaja membuat judul demikian dengan tujuan
tertentu.
Ketika selesai membaca seluruh naskah drama ini, sesuai
dengan prediksi awal, judul ‘Rt nol Rw nol’ merupakan sebuah simbol. yakni
untuk melambangkan para gelandangan dan orang-orang terlantar yang tidak
memiliki alamat yang jelas, orang-orang yang tidak memiliki Kartu Tada
Penduduk, bahkan keberadaan mereka di negeri ini seolah-olah diabaikan oleh
masyarakat.
Naskah drama ini menceritakan tentang nasib dari beberapa orang gelandangan dan dua
wanita penghibur yang hidup di dalam satu lokasi, mereka semua tinggal di
kolong jembatan. Dari kolong jembatan inilah cerita dimulai dan berakhir. Cerita
ini dimulai dengan perbincangan antara
Kakek, Si pincang, Ina, dan Ani di bawah kolong jembatan yang ramai oleh hiruk
pikuk lalu lintas. Kakek adalah seorang mantan kelasi kapal, Si pincang adalah
seseorang yang memiliki kekurangan kondisi fisik, yang selalu gagal mendapatkan
pekerjaan yang memuaskan. Sedangkan Ani dan Ina adalah kakak-beradik yang
bekerja sebagai wanita penghibur. Mereka meratapi kejamnya kota besar. Setiap
hari Ani dan Ina pergi mencari pelanggan dengan ditemani oleh seorang tukang
becak yang bertugas mencarikan dan mengantarkan mereka kepada pelanggannya. Ani
dan Ina selalu berharap dari pekerjaannya ini mereka akan hidup lebih baik.
Setelah Ani dan Ina pergi bekerja, datanglah laki-laki
bernama Bopeng. Bopeng juga merupakan penghuni kolong jembatan itu, namun hari
itu Bopeng mengisyaratkan bahwa ini adalah hari terakhirnya tinggal di kolong
jembatan, karena ia telah diterima bekerja sebagai kelasi kapal. Hari itu
Bopeng datang ke kolong jembatan bersama seorang wanita bernama Ati. Ati adalah
seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya ketika di pelabuhan. Ati tersesat
dan tak tahu arah jalan pulang, ia juga kehabisan uang untuk pulang ke
kampungnya hingga akhirnya bertemu dengan Bopeng.
Karena merasa iri hati, pincang menyudutkan Bopeng,
hingga membuat Bopeng tersinggung. Akhirnya terjadilah pertengkaran argumen
diantara mereka, kemudian kakek memisahkan mereka berdua. Ati yang gundah
hatinya ingin ikut Bopeng berlayar, namun Bopeng menolaknya dan menyuruh Ati
untuk pulang ke kampung halamannya. Beberapa saat kemudian Ina datang dan
membawa kabar bahwa Ani akan dinikahi oleh salah satu pelanggannya, Ina sendiri
juga membawa kabar bahwa ia akan menikah dengan Si tukang becak. Hal ini
mengisyaratkan bahwa Ani dan Ina akan segera meninggalkan kolong jembatan itu
untuk hidup yang lebih baik. Singkat cerita, Si pincang akhirnya juga sepakat
untuk mengantarkan Ati ke kampung halamannya, dan berjanji akan kembali
bekerja, kemudian menikahi Ati. Ati sebenarnya juga mengajak Kakek untuk pulang
ke kampung, namun kakek menolaknya dan memilih tetap tinggal di kolong jembatan
itu, yang sering mereka sebut dengan Rt nol Rw nol.
Naskah drama yang menurut catatan dibuat sekitar tahun
1966 ini memiliki tema tentang perjuangan hidup seseorang untuk mendapatkan
kehidupan yang layak dan lebih baik. Penggunaan tokoh gelandangan dan PSK
menunjukkan masyarakat kaum bawah, yang miskin dan menderita. Jika kembali
diputar ke masa lalu saat naskah ini di tulis, yakni pada tahun 1966, angka
inflasi di Indonesia sangat tinggi, disebabkan oleh menumpuknya defisit APBN
dari tahun 1950an hingga pertengahan 1960an, akibatnya Indonesia mengalami
krisis ekonomi yang meresahkan. Krisis ekonomi inilah yang yang menyebabkan
masyarakat menderita. Naskah drama ini seolah-olah merupakan sindiran terhadap
keadaan sosial-ekonomi saat itu yang sedang berada di bawah.
Selain itu naskah drama ini juga memberikan banyak
kritik sosial yang terjadi di Indonesia saat itu. Bahkan saat ini, kritik sosial
yang ada di dalam naskah drama ini sebenarnya masih cukup relevan. Secara
sederhana kritik sosial merupakan tanggapan atau kecaman terhadap kondisi yang
ada di dalam suatu masyarakat. Jika ditinjau dari judulnya, sebenarnya naskah
drama ini sudah menunjukkan adanya kritik sosial. Judul ‘Rt Nol Rw Nol’ artinya
tidak memiliki alamat. Dari judulnya terlihat bahwa pengarang sebenarnya ingin
menanggapi tentang keberadaan orang-orang pinggiran yang dalam naskah drama ini
diwujudkan pada sosok gelandangan dan
PSK yang menghuni Rt Nol Rw Nol. Orang-orang ini sebenarnya ingin diakui dan
diperhatikan oleh negara, mereka ingin memiliki alamat tetap dan Kartu Tanda
Penduduk tetap. Akan terasa sangat menyakitkan jika keberadaan mereka tidak
diperhatikan. Padahal mereka juga bagian dari negara ini.
Dari kutipan-kutipan dialognya, naskah drama ini juga
banyak mengandung kritik sosial. Penggunaan bahasa yang mudah dicerna, penataan
alur maju dan lurus juga memudahkan pembaca dalam menafsirkan isi dan menemukan
kritik sosial dari naskah drama ini. Berikut adalah beberapa kutipan dialog
yang mengandung kritik sosial.
PINCANG : Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.
KAKEK : Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan
ini. Bukankah dilarang
gandengan lewat di sini.
ANI : Lalu?
KAKEK : Hendaknya, peraturan itu
diturutlah.
ANI TERTAWA
TERBAHAK-BAHAK.
KAKEK : Kalau begitu apa guna larangan?
ANI : Untuk dilanggar.
KAKEK : Dan kalau sudah dilanggar?
ANI : Negara punya kesibukan.
Kesibukan itu namanya: bernegara.
Kutipan dialog di atas menunjukkan
bahwa pengarang ingin menyinggung dan mengecam
mengenai realita sosial yang ada di negara ini, yakni tentang banyaknya
pelanggaran-pelanggaran yang ada di berbagai aspek, yang membuat rakyat kecil
menjadi menderita. Pelanggaran-pelanggaran yang ada ini akhirnya membuat aparat
yang bersangkutan menjadi sibuk, sehingga fungsi mereka akan terlihat dalam
menyikapi pelanggaran ini.
ANI :Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah
bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi
pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan
jagung apek, bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang
enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental
berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan
sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas.
Kutipan dialog dari Ani di
atas menanggapi tentang penderitaan yang dialami orang-orang pinggiran yang
digambarkan dengan memakan makanan yang semuanya serba setengah busuk. Kata
busuk merujuk pada sesuatu yang sudah tidak layak, rusak dan berbau. Pengarang
seperti ingin menunjukkan kepada pembaca betapa kejamnya hidup yang dihadapi
oleh orang-orang pinggiran seperti mereka. Mereka sebenarnya juga mendambakan
hidup yang layak dan lebih baik, yang digambarkan dengan sepiring nasi,
sepotong daging rendang, sebutir telur balado, segelas penuh the manis panas,
dan pisang raja kuning emas.
SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA
KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.
INA : Gimana, kak?
ANI : Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam,
kan?!
Dari kutipan dialog antara
Ina dan Ani di atas pengarang seolah
ingin semakin memantapkan pandangannya kepada pembaca mengenai kejamnya
kehidupan yang dialami oleh orang-orang pinggiran ini. Ina dan Ani adalah
wanita penghibur, demi mendapatkan uang agar dapat hidup lebih baik, mereka
mengabaikan semua halangan yang ada selagi merasa masih mampu.
KAKEK :
Ah, tidak. Aku seolah kembali merasakan kantukku yang dulu, ketika ibuku
melenakan aku tidur itu. Kenangan, inilah sebenarnya yang membuat kita sengsara
berlarut-larut. Kenanganlah yang senantiasa
membuat kita menemukan diri kita dalam bentuk runtuhan-runtuhan. Kenanganlah
yang jadi beton dari kecongkakan diri kita, yang sering salah diberi nama oleh
masyarakat, dan oleh diri kita sendiri, sebagai: harga diri. Kini, aku bertanya
kepadamu, nak: Di manakah lagi harga diri di kolong jembatan ini?
PINCANG :Semua persoalan ini tak bakal ada,
bila kita bekerja, punya cukup kesibukan. Semua kenangan, harga diri, yang
Kakek sebutkan tadi, adalah justru masalah yang hanya ada bagi jenis
manusia-manusia seperti kita ini: tubuh, yang kurang dapat kita manfaatkan sebagaimana
mestinya, dan waktu lowong kita bergerobak-gerobak.
KAKEK : Kalau aku tak salah, kau tak henti-hentinya cari
kerja.
PINCANG : Ya, tapi tak pernah dapat.
Kutipan dialog antara Kakek
dan Si pincang diatas menunjukkan bahwa pengarang ingin menyinggung kondisi
masyarakat di negri ini yang sering menganggap bahwa orang-orang pinggiran ini
tidak pantas mempunyai harga diri, tidak pantas untuk memiliki pekerjaan yang
layak. Mereka seolah lupa bahwa oang-orang pinggiran ini adalah manusia juga
yang ingin hidup lebih baik.
PINCANG : Masyarakat punya
prasangka-prasangka tertentu terhadap jenis manusia seperti kita ini.
KAKEK :
Eh,
bagaimana rupanya seperti jenis kita ini?
PINCANG : Masyarakat telah mempunyai keyakinan yang berakar
dalam, bahwa manusia-manusia gelandangan seperti kita ini sudah tak mungkin
bisa bekerja lagi dalam arti yang sebenarnya.
KAKEK :
Menurut
mereka, kita cuma bisa apa saja lagi?
PINCANG : Tidak banyak, kecuali barangkali sekedar mempertahankan hidup taraf sekedar tidak mati saja, dengan batok kotor kita yang
kita tengadahkan kepada siapa saja, kearah mana saja. Mereka anggap kita ini
sebagai suatu kasta tersendiri, kasta paling hina, paling rendah.
KAKEK
: Sekiranyalah
mereka tahu apa-apa kemahiran.
PINCANG : Jangan kecualikan aku, Kek. Kakek dan aku sama-sama
termasuk mereka yang setiap saat siap mempertaruhkan apa saja, asal dapat
meninggalkan kedudukan sebagai manusia gelandangan ini.
KAKEK
:Tampaknya
mereka sama sekali tak sudi memberi kesempatan itu.
PINCANG :Tampang kita saja sudah cukup membuat mereka curiga.
Habis, tampang bagaimana lagikah yang dapat kita perlihatkan kepada mereka,
selain tampang kita yang ini-ini juga? Bahwa tampang kita tampaknya kurang
menguntungkan, kurang segar, kurang berdarah, salah kitakah ini? Bahwa dari
tubuh dan pakaian kita menyusup uap yang pesing, uap dari air kali yang butek
di kolong jembatan ini, salah kitakah ini?
KAKEK :Hukum masyarakat tetap begitu. Kalau mau melamar kerja, tampillah dengan
tampangmu yang paling menguntungkan.
Kutipan dialog lanjutan dari
Kakek dan Si pincang diatas semakin mempertegas
sindiran dan kecaman pengarang terhadap persepsi yang ada di dalam
masyarakat yang menilai bahwa orang-orang pinggiran ini adalah kasta yang
paling hina dan paling rendah, yang dianggap sudah tidak mampu bekerja.
Persepsi-persepsi demikian memang sesuai dengan realita sosial yang ada di
negara ini, seringkali orang-orang yang memiliki nasib lebih beruntung
merendahkan orang-orang pinggiran yang miskin dan tinggal di kolong jembatan. Persepsi-persepsi
yang seperti demikian itu sebenarnya terasa sangat menyakitkan bagi mereka,
jika boleh memilih tentu tidak ada orang yang menginginkan memiliki nasib
demikian. Bahkan dalam kutipan dialog paling akhir, mereka yang tercermin dalam
Si pincang, siap mempertaruhkan apa saja asal dapat meninggalkan kedudukan
sebagai manusia gelandangan. Dari sini
juga terlihat bahwa mereka sebenarnya masih memiliki harga diri dan tidak mau
untuk di rendahkan terus-menerus.
PINCANG :Satu per satu kita –
pungguk-pungguk kerinduan bulan – akhirnya berakhir dengan terapung di sungai
butek ini. Mayat kita yang telah busuk, dibawa kuli-kuli kotapraja ke RSUP,
lalu ditempeli dengan tulisan tercetak: Tak dikenal. Kita dikubur tanpa
upacara, cukup oleh kuli-kuli RSUP. Atau, paling-paling mayat kita disediakan
sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran.
KAKEK :Itu masih mendingan. Itu namanya, bahkan dengan
mayat kita, kita masih bisa menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan,
lewat ilmu urai untuk mahasiswa-mahasiswa kedokteran. Apa jadinya dengan
kemanusiaan nantinya, tanpa kita?
Dari dialog di atas pengarang
juga ingin menyindir Satpol PP (Sekarang) yang memperlakukan mayat-mayat orang
pinggiran ini secara tidak sepantasnya, yang menguburkan mereka tanpa adanya
upacara pemakaman. Namun di sisi lain mereka masih bersyukur jika kelak
mayatnya dapat berguna bagi mahasiswa-mahasiswa kedokteran, mereka merasa bahwa
seolah-olah mereka menjadi pahlawan.
PINCANG :Tapi, ada kukenal bang
becak yang jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan
sekaligus dengan sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat
dengan pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah
punya mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan
lagi sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik
haji.
ATI : Wah, dari uang lendir.
PINCANG :Dari uang lendir atau
bukan, pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak
pakai sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?
ATI : Jijik,
ah.
PINCANG : Jijik atau tidak jijik, najis atau tidak najis, ya lendir atau
tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik
Dialog antara Si pincang dan
Ati ini mengkritik adanya sekelompok orang yang bekerja secara tidak halal,
namun uang hasil kerja tersebut justru digunakan untuk beribadah agar orang
tersebut memiliki kedudukan yang terhormat di mata orang lain.
INA : Dan aku sangat gembira atas putusan
Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik,
entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai
sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!
Ucapan Ina di atas
menunjukkan bahwa orang-orang pinggiran ini rela hidup lebih menderita demi
mendapat kedudukan yang tetap, baik status maupun tempat tinggal. Mereka
sebenarnya juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka masih memiliki
eksistensi di balik status sosialnya yang sebelumnya dianggap rendah.
INA : Abang selama ini telah banyak
bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku
sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata
itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi
ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana
Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek
di samping Abang (Suara Batuk-Batuk Kakek),
melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua
yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling
bahagia di dunia ini. Tapi, dengan hati yang
pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu
bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam
kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat
sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di
bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada
harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang
sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang
telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam
percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong
jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh
pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu
oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu
lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku
Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit. Dan
bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum
tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap
pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku
lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar,
apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku
bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia,
tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia
yang sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi,
itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu
penduduk! (Menangis) Kartu penduduk,
yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut
dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa
kita dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut
sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas
truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran
bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian
kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar
lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku
mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun,
basah kuyup oleh keringat dingin.
Dari kutipan ucapan Ina di
atas jelas terlihat bahwa pengarang juga mengkritisi sesuatu terkait sikap
pemerintah terhadap golongan orang-orang pinggiran ini. Orang-orang ini membutuhkan kepastian dalam
hidup mereka, mereka merasa tidak nyaman hidup dalam ketidakpastian. Mereka
sudah muak dengan janji-janji yang di iming-imingkan kepada mereka. Dalam
mencari kepastian ini hal pahitpun rela di jalani, daripada selalu mendengarkan
janji-janji manis yang serba tidak pasti kapan akan terwujud.
KAKEK :Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan
ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik
siapa saja yang datang kemari karena
rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang
terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan
berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap
irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat
saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin
keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin
keluar kita dari rel, dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup.
Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang
membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir
mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran,
menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat
malam.
Dan kutipan terakhir dari Kakek
ini menunjukkan sebuah peenyelesaian
dari drama ini yang menunjukkan betapa kejamnya hidup mereka, ‘manusia-manusia terpojok’ yang memiliki
nasib tak menentu, hidup dalam ketidakpastian, memiliki cita-cita, tapi tak
tahu bagaimana mewujudkannya. Pengarang melalui kritik sosial di dalam drama
ini seolah-olah mengajak pembaca untuk lebih peduli dan memperhatikan
keberadaan mereka. Pengarang ingin menyampaikan bahwa mereka sebenarnya masih
memiliki eksistensi, mereka berusaha menunjukkan eksistensinya dengan melakukan
usaha-usaha untuk mengangkat derajat mereka. Meskipun terkadang cara-caranya
kurang tepat, hal ini disebabkan karena keterbatasan mereka. Tidak sepatutnya mereka direndahkan oleh
manusia yang lain, karena sebenarnya mereka masih mempunyai harga diri, mereka
ingin hidup layak dan berada dalam kepastian.
Secra keseluruhan, ditinjau
dari kritik-kritik sosial yang tersurat maupun tersirat, dapat dikatakan bahwa
naskah drama ini merupakan sebuah karya sastra yang luar biasa. Pengarang mampu
menangkap realita-realita sosial yang ada secara tepat, kemudian menanggapinya
dengan melakukan sindiran-sindiran yang tertuang dalam naskah drama ini. Tema
dari naskah drama yang membahas tentang perjuangan hidup masyarakat kalangan bawah
untuk lepas dari penderitaan ini, rasanya juga sudah cukup untuk menyindir
akibat buruk adanya krisis ekonomi pada tahun 1966 yang membuat masyarakat
benar-benar menderita. Pembaca juga diajak oleh pengarang untuk lebih peduli
dan memperhatikan, serta tidak merendahkan orang-orang pinggiran ini. Keunikan dari karya ini adalah kritik-kritik
sosial yang ada di dalamnya masih relevan dengan keadaan yang ada saat ini,
padahal karya ini diciptakan hampir 50 tahun yang lalu. Berarti dapat dikatakan
bahwa sikap masyarakat saat ini secara garis besar tidak berbeda jauh dengan
stengah abad yang lalu, meskipun modernisasi perlahan-lahan sudah mengubah pola
pikir masyarakat saat ini.