Estetika
Persajakan Sihir Hujan,
Sapardi Djoko Damono
Oleh: Muliyawati
Dalam hidup, bahasa menjadi sangat penting. Bahasa adalah salah satu
bentuk ekspresi diri yang bisa diutarakan secara tersirat maupun tersurat.
Lewat bahasa, manusia belajar memaknai setiap gerak diri, lingkungan, dan alam.
Bahasa memberi sebuah ruang khusus dimana gairah seni muncul dan berkembang.
Gairah seni itu penulis golongkan dalam wadah cantik yang bernama sastra. Bukan
bermaksud mengkotak-kotakkan antara bahasa, seni, dan sastra, namun penulis
ingin mengajak pembaca melihat dan menilai keseluruhan dan hubungan dari
ketiganya.
Bahasa lahir untuk menciptakan seni dan seni ada sebagai
pondasi dari sastra. Ketiganya adalah kombinasi yang sempurna dari peradaban
manusia. Perlu diingat bahwa sastra tidak pernah lahir dari ruang yang kosong.
Sastra adalah cermin dari masyarakat karena objek karya sastra adalah hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
dengan dirinya sendiri membuat dinamika sastra selalu berubah-ubah dan berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman.
Setiap orang mempunyai kepekaan terhadap seni dan
keindahan yang berbeda-beda. Kepekaan ini sangat penting untuk menilai suatu
karya sastra. Kepekaan inilah yang biasa disebut dengan estetika. Estetika
mempunyai dua cabang, yaitu estetika struktural dan estetika semiotika. Kedua
cabang estetika ini saling mendukung sama lain dan bila dipisahkan akan
menimbulkan sebuah kepincangan dalam karya sastra itu. Layaknya kupu-kupu dan
bunga jika dipisahkan tentu akan berdampak buruk pada keduanya.
Dalam
perkembangan sastra, tidak semua unsur dalam estetika struktural diterapkan
pengarang dalam karya sastranya, namun ada bagian yang sengaja dihilangkan
seperti rima dan asonansi. Hal ini sah-sah saja bila mengingat bahwa sastra
adalah bentuk pembebasan diri penciptanya. Kita dapat melihat bentuk pembebasan
diri salah satu sastrawan terkenal yaitu, Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya
yang berjudul Sihir Hujan berikut
ini.
Sihir Hujan
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
Sapardi
Djoko Damono
Hujan
selalu membawa sesuatu yang misterius untuk diungkapkan. Lewat hujan, ada pesan
yang ingin disampaikan secara diam-diam. Diam yang menginspirasi Sapardi Djoko
Damono untuk menuangkan cerita tentang hujan lewat salah satu sajaknya yang
berjudul Sihir Hujan. Sajak ini
adalah salah satu sajak terbaik selain sajak Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti,
dll. Sajak Sihir Hujan tidak hanya
menceritakan tentang hujan saja, melainkan ada sesuatu yang disimpan oleh Sapardi.
Sesuatu yang jika diuraikan ternyata mengandung makna yang lebih dari sekedar
hujan.
Karya-karya Sapardi yang lain merupakan pembuktian bahwa sosok
Sapardi sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia sastra. Hal ini
dibuktikan dengan gaya puisinya yang khas-lebih condong ke bahasa yang
sederhana, sajaknya berbentuk prosa lirik yang sastrawan lain jarang
menggunakan bentuk semacam ini, dan dari beberapa penghargaan yang telah
diraihnya dalam bidang sastra, seperti anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima
Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003.
Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia
terkemuka, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Sejak remaja Sapardi menyukai
buku-buku sastra dan mulai mengirimkan karya sastranya yang berbentuk puisi ke
berbagai majalah. Selain itu, pendidikannya yang tinggi di bidang sastra juga
mendukung kemampuannya dalam menulis. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan
Lontar. Menjadi pimpinan redaktur di berbagai majalah membuat setiap karya
Sapardi tidak murahan dan tidak terlalu picisan layaknya karya yang dibuat
seorang remaja. Kematangan dari berbagai aspek menjanjikan karya Sapardi begitu
kuat dan menonjol. Dalam setiap karya sastra
yang dibuatnya, Sapardi cenderung melahirkan perasaan-perasaan yang
dikandungnya lewat pencitraan seperti kesunyian, kesedihan, kekecewaan, serta penantian.
Bentuknya yang terutama puisi liris, mendukung hal ini.
Dalam
kritik esai ini salah satu karya Sapardi yang penulis kaji adalah sajak yang
berjudul Sihir Hujan dengan pendekatan
ekspresif. Pendekatan ini lebih berimbang karena pengarang dan karyanya akan
sama-sama dinilai sebagai kesejajaran yang utuh.
Dalam sajak
Sihir Hujan, terdapat estetika yang
menggaib bersama kumpulan larik dalam setiap baitnya. Dilihat dari bentuknya,
puisi ini terdiri dari 7 larik yang tidak sama panjangnya. Cara penulisannya,
semua larik di tulis dengan mempertimbangkan keseimbangan antara sisi kanan dan
sisi kiri, jelas bahwa tipografi dipertimbangkan oleh Sapardi. Enjambemen
(peristiwa sambung-menyambung isi dua larik sajak yang berurutan) juga
ditemukan dalam puisi Sihir Hujan. Pada larik 1-2 dan 5-6-7. Hal ini
menyebabkan irama pembacaan menjadi tersendat, seakan-akan ada hentakan.
Dilihat dari rimanya, puisi ini kaya akan rima awal dan akhir (larik 1-2 dan
larik 5-7). Pengulangan (aliterasi) juga terdapat pada kata hujan, pohon,
jalan, dan selokan yang terdapat pada larik 1 dan 5. Dalam puisi ini ditemukan
adanya tanda baca dan huruf kapital sebagai penanda awal larik dan bait. Ini
menunjukkan kejelasan dalam pemaknaan puisi meskipun terdapat enjambemen. Pada
awal larik pertama, kata hujan merupakan pembuka- perwujudan dari judul.
Hasil analisis sajak ini, membawa kita pada masalah
makna: Siapakah sebenarnya yang dimaksud dalam puisi ini? Apa maksud dari
penulisan puisi ini? Penulis menginterpretasikan bahwa puisi Sihir Hujan diciptakan untuk kita yang
selalu bertanya dan cenderung untuk menghindari sebuah permasalahan dan coba
diingatkan oleh pengarang lewat hujan, bahwa kita tidak bisa lari dan
bersembunyi dari kenyataan. Ini ditunjukkan melalui bait pertama.
Hujan mengenal
baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.
Sedangkan dalam bait
kedua, mengisyaratkan bahwa kita pada dasarnya tidak boleh menyerah ataupun
mengeluh pada keadaan yang sudah dan akan terjadi. Pasti ada rahasia yang tersembunyi di dalam
setiap peristiwa dan hanya waktulah yang bisa menjawabnya. Ini bisa dilihat
dalam bait kedua yaitu:
Hujan, yang
tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
Di
akhir sajak ada sesuatu yang sulit untuk dimaknai. Meskipun dengan bahasa yang
sederhana, namun sajak ini mengandung banyak sekali kemungkinan-kemungkinan dalam
penafsirannya. Namun, bagi penulis pribadi sajak-sajak Sapardi begitu menyentuh
meski menggunakan bahasa yang sederhana. Demikianlah estetika persajakan Sihir Hujan yang dapat penulis urai dalam coretan kecil ini. Tentu tidak
sempurna, namun penulis selalu berharap agar pembaca memberikan kontribusi agar
tulisan ini semakin baik kedepannya.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan
Indonesia Modern, Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.
Imanuddin.
2010. Estetika Sajak Penyair Mutakhir
Syaiful, (online), (http://anggunsasmita.blogspot.com/2010/12/estetika-sajak-penyair-mutakhir-syaiful.html),
diakses 25 Maret 2013.
Sarumpaet, Riris K. Tohar dkk. 2010. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Yudiono. 1990. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung:
Angkasa.
0 komentar:
Posting Komentar