Lakon Skenario Kehidupan
dalam Naskah Drama Maling Karya Auf
Sahid
Oleh: Rizki Rohma
Manusia bak lakon yang
memainkan drama kehidupan sendiri dalam dunia yang hanya sekejap mata ini.
Dalam dunia yang tak tahu kapan berakhirnya ini manusia merupakan lelakon dari
kehidupan yang bak pelangi berwarna-warni kemudian bak badai petir yang
menyambarnya sewaktu-waktu tanpa pamit permisi tanpa kata-kata. Sebagai lakon
manusia hanya pelaku yang bermain di atas kisaran waktu yang terus berputar
dengan tema atau jalan yang sudah dikarang penciptanya. Pelaku dalam kehidupan
yang sudah ada ceritanya hanya bermain sebagai penghias atau mengisi kegiatan untuk
lebih hidup yang tak berbatas waktu. Sebagai pelaku hanya bisa patuh dan
berjalan sesuai alur yang sudah diciptakan tanpa manusia bisa keluar dari
lintasan kehidupannya. Skenario penuh cerita indah, manis, pedih, siksa, nyata,
maya diciptakan untuk lakon kehidupan. Skenario itu berjalan sangat terkendali
bak masinis duduk di atas kereta yang melaju dengan jalan satu rel. Satu rel
yang berarti mulus tanpa ada kendali dan tidak membuat ia berbelok-belok ke
segala arah dengan satu relnya. Ia hanya merasakan satu rasa saja tanpa ada
silang-silang rel yang lain untuk bisa mendahului. Lakon manusia bukanlah
seperti kereta yang berjalan dalam satu rel. ia melakonkan banyak adegan yang
sudah diciptakan dengan segala suasana yang terpampang dalam skenario. Skenario
yang penuh dengan beragam rasa tanpa manusia bisa melawan walaupun ia berontak
dengan yang harus dilakonkannya. Lakon kehidupan yang sebenarnya bukan dirinya
dilampiaskan pada dirinya. Lakon yang memberatkan hidupnya harus dimainkan
dengan segala perannya tanpa ada berontak kehidupan walaupun ia tidak ingin
seperti yang sudah digariskan tetapi ia harus menerimanya karena manusia adalah
lakon skenario kehidupan.
Drama kehidupan manusia
sungguh tak berbatas dalam secarik kertas, lembaran buku ataupun setumpuk arsip
dalam map. Sebagai lakon manusia mencoba mewujudkan melalui kata imajinatif
skenario dramanya. Kata yang menjadi kalimat dipenuhi dengan dialog-dialog imajinasi
diperankan manusia sendiri seperti ia bermain dalam dramanya sendiri. Skenario dituliskan
untuk melukiskan tokohnya lengkap dengan segala alur dan konflik dirangkai
dengan kata yang indah dan imajinatif dan sarat akan estetika. Skenario
pengarang dalam dialog mampu membawa penikmat sastra menikmati cerita yang
disuguhkan lengkap dengan maksud yang hendak disampaikan. Untuk mengungkapkan
makna dibalik cerita yang tertulis pada dialog-dialog pengarang memasukan
unsur-unsur seperti tokoh, alur, latar dan tema. Inti dari cerita atau pesan dapat dirasakan
penikmat sastra melalui penggambaran tokoh dalam dialog sampai pada pemaknaan
penikmat karyanya. Karena sudah dituliskan pada skenario kehidupan manusia
harus menjalani hidupnya sesuai dengan skenarionya itu walaupun ia tidak
bertindak tetapi ia harus menerima kenyataan yang mungkin pahit. Seperti itulah
lakon drama manusia dalam kehidupan dikendalikan oleh pencipta atau
pengarangnya.
Penokohan dalam naskah
drama Maling ini yaitu tokoh maling
digambarkan orang yang licik, jahat, pintar bersembunyi dan suka mencuri barang
milik orang lain. Hal ini ada pada kutipan dialog berikut
Maling : (keluar dari tempat
persembunyiannya, menodongkan celurit)
Mas, serahkan bungkusan itu.
Maman : Siapa sampeyan?
Maling : Tidak perlu banyak bicara.
Serahkan saja bungkusan itu.
Maman : Waduh, mas. Ini tadi sulit
dapatnya. Saya saja tadi hampir jatuh, digigit semut, dikejar tawon, kecebur
sungai....
Maling : Hei! Aku tidak mau mendengar
curhatanmu. Serahkan! (mengacungkan senjata)
Maman : Iya, iya. (menyerahkan bungkusan.)
Ini juga, Mas?
Maling : Ndak usah. Buat kamu aja. (pergi)
Maman : (sambil menghabiskan mangga) Gila,
siapa itu tadi? Masak minta mangga saja pake senjata? Ah, mungkin istrinya lagi
ngidam. Atau mungkin dia yang ngidam? Aneh, gitu saja pake nodong. Memang jaman
sekarang ini orang-orang pada aneh. Masalah sepele saja pakai kekerasan, maksa.
Atau kalau tidak, nyogok nyuap. Padahal kalau dia mau usaha sedikit saja pasti
dapat. Aku saja rela manjat pohon, digigit semut, dikejar tawon, demi mendapat
mangga ini. Tapi dia, seenaknya mengambil jerih payah orang lain. Serahkan
bungkusan itu, hah! Anak kecil ingusan juga bisa…
(tiba-tiba
Maling masuk sambil melemparkan mangga pada Maman)
Maling : Hei! Mana isinya tadi?
Maman : Apa toh?
Maling : Mana isi kresek tadi.
Maman : Lha ini kamu lempar. Piye toh?
Maling : Bukan itu.
Maman : Mana lagi?
Maling : Yang asli.
Maman : Yang asli apa?
Maling : Isi yang asli!
Maman : Iya, apa?
Maling
: Uang kelurahan!
Penokohan pada tokoh
Maman digambarkan lelaki yang lugu, apa adanya dan mudah dibohongi orang lain,
maka dari itu ia malah dituduh sebagai malingnya. Hal ini ada pada kutipan
berikut
Maman :Aduh, sialan. Ini gara-gara mangga
curian. Pasti yang punya nggak ikhlas. Mana sih kunciku? Aduh, gawat. Aduh,
sudah diujung tanduk nih. Eh, Mas. Jangan diam saja. Tolong, mas.
(Maling
membantu membukakan pintu rumah Maman)
Maman : Makasih ya mas.
Maling
: Sama-sama.
Maman : Kok pinter sampeyan, Mas? Kayak
maling sa... Maliiiiing... maliiiiing....
(Si
Maling langsung menutup pintu dan menguncinya dari luar. Maman masih
berteriak-teriak, Maling panik, dan orang-orang terdengar berdatangan. Si
Maling bersembunyi di semak-semak. Warga masuk)
Lurah : Man, mana malingnya? Buka
pintunya.
Maman : Aduh, (terdengar suara kentut)
bocor.
Lurah : Man, mana.. bau apa ini?
Maman : Tolong Pak... Pintunya dikunci
(terdengar suara kentut berkali-kali)
Seseorang : Man, kamu mencret ya?
Maman : Toloooong, buka.
Penokohan pada tokoh
lurah digambarkan orang yang ingin untung sendiri karena kedudukannya sebagai
lurah serta bijaksana dan taat pada aturan. Hal ini ada pada kutipan berikut
Lurah : Sampeyan ini bagaimana? Baru
begini saja capek. Ayo cepat! Sampeyan
dan mbak Seseorang ke sana. Mas Seseorang cari yang sebelah sana.
Seseorang
: Lha Bapak?
Lurah : Saya jaga di sini.
Warga : Woo...
Seseorang : Sampeyan kok enak?
Lurah : Lho, ini juga bagian dari
tugas. Ayo cepat. Nanti malingnya keburu jauh. Berangkat!
(warga
berpencar, musik mulai fade out)
Lurah : (menghela nafas) Ada-ada
saja. Pencurian di desa ini kok ndak ada habisnya. Mulai dari kehilangan
sandal, rantang isi makanan, pakaian, sampai kendaraan. Seminggu yang lalu
sandalnya Mbak Surti hilang. Katanya, sandal itu mahal sekali harganya. Beli di
luar negeri. Lalu dia lapor ke saya, minta tolong untuk menggerakkan seluruh
jajaran Hansip mencarikan sandalnya. Sandal saja beli di luar negeri. Mungkin
itu kenang-kenangan dari majikannya saat jadi TKW dulu.
Lalu
kemarin lusa, senter, pentungan termos kopi dan
rantang makanan di pos Hansip hilang. Ya baru ini ada Hansip kemalingan.
Keterlaluan. Gara-gara itu, saya mulai habis isya sampai malam ikut muter-muter
mencari. Jadi ndak bisa lihat sinetron kesukaan saya. (pada bagian ini
bisa disebutkan salah satu judul sinetron yang sedang populer)
Nah, sekarang
yang hilang malah lebih besar, uang kelurahan. Akhirnya mau tidak mau saya harus
ikut mengejar. Apalagi tiga hari lagi Pak Camat mau datang melihat apakah uang
bantuan dari Pemda sudah diterima dan digunakan atau belum. Ini bisa kacau
kalau ketahuan dicuri. Jabatan saya sebagai Lurah bisa terancam.
Benar-benar
keterlaluan. Desa Suka Makmur kok banyak maling. Tidak cocok dengan namanya,
Suka Makmur. Siapa sih dulu yang punya ide nama Suka Makmur? Kalau begini
terus, besok mau saya usulkan saja ke Presiden. Namanya diganti menjadi Suka
Maling. Jadi kalau banyak pencurian saya tidak bakal disalahkan. Sudah sesuai
dengan namanya.
Lurah :
(masih di dalam panggung) Hei! Hei! Stoooop! Kembali! Apa-apaan kalian?
Seseorang : Mengejar maling, Pak.
Lurah :
Tapi kenapa ke sana. Sini! Kembali ke sini!
(warga kembali)
Seseorang
: Mau bagaimana Pak? Malingnya lari
ke sana.
Lurah : Ya jangan dikejar.
Seseorang
: Bukannya kita dari tadi ngejar
maling, Pak?
Lurah : Iya, tapi kalau larinya ke luar
daerah kita ya sudah, jangan dikejar.
Seseorang
: Mau ke luar daerah, mau ke luar
negeri, namanya maling ya harus dikejar, Pak. Apalagi yang dicuri uang
kelurahan, Pak.
Lurah : Lho, kamu ini bagaimana sih? Kita
ndak bisa seenaknya saja melewati batas desa. Bisa kacau.
Seseorang : Tidak bisa bagaimana? Bagaimana dengan
uang kelurahan?
Seseorang : Benar, Pak. Ayo semuanya. Mumpung
malingnya belum jauh. Kejaaar!
Lurah : Stooop!
Seseorang : Apalagi, Pak?
Lurah : Saya bicara belum selesai kok
mau main kejar saja.
Seseorang : Pak, kalau kita terlalu banyak bicara
kapan malingnya akan tertangkap?
Lurah : Begini Bapak-bapak, Ibu-ibu.
Sebagai warga desa yang baik kita memang sudah seyogyanya ikut membantu
mengamankan desa. Salah satunya dengan cara ikut mengejar pencuri seperti
sekarang.
Seseorang : Nah, maka dari itu tidak perlu banyak
bicara. Sekarang ayo kita kejar. Kejaaaar!
Lurah : Stooooop! Ini masih belum
selesai! Dasar orang tidak berpendidikan.
Seseorang : Pak, kita semua memang hanya lulusan
SD dan hanya Bapak yang sarjana. Tapi di mana-mana kalau hanya urusan seperti
ini tidak perlu pendidikan tinggi. Ya, kan?
Warga : Betul.
Lurah : Nah, kalau begitu apa sampeyan
tahu kalau mengejar maling seperti ini ada aturannya?
Seseorang : Mana ada?
Lurah : Lho, ada.
Seseorang : Apa?
Lurah : Dalam Perdes pasal 15 ayat 10
butir (e) tahun 1965 telah dijelaskan bahwa: Kegiatan pengejaran pencuri,
jambret, rampok dan atau semacamnya hanya boleh dilakukan oleh warga dan atau
perangkat desa sebatas lingkungan desa mereka sendiri.
Seseorang : Nah, kalau malingnya lari keluar desa
bagaimana?
Lurah : Itu sudah diatur dalam pasal dan
ayat yang sama pada butir (k), bahwa: Jika pelaku yang telah dijelaskan pada
butir (a) melarikan diri hingga ke luar batas desa maka warga dan atau
perangkat desa wajib membuat surat ijin pengejaran pada perangkat desa yang
dimaksud hingga disetujui oleh perangkat desa yang dimaksud.
Seseorang : Wah, bisa berbulan-bulan, Pak.
Seseorang : Padahal tinggal sedikit lagi kita bisa
menangkap maling yang selama ini sudah meresahkan desa.
Warga : Betul.
Lurah : Mau bagaimana lagi? Ini sudah
aturan.
Seseorang : Siapa sih yang membuat aturan
merepotkan seperti itu?
Lurah : Saya sendiri juga kurang tahu.
Tahun pembuatannya saja 1965. Saya masih di dalam perut.
Alur yang terdapat
dalam naskah drama Maling karya Auf
Sahid adalah alur maju yang ceritanya runtut dari awal hingga akhir. Di awal
cerita diceritakan salah satu warga kampung kemalingan kemudian warga dan pak
lurah mencari maling tersebut.
Lurah : Cari sampai dapat! Tadi larinya
ke arah sini.
Seseorang : Tapi kok hilang, Pak.
Lurah : Ya kalau begitu pasti ada di
sekitar sini. Nggak mungkin jauh. Begini saja, kita berpencar saja.
Seseorang : Aduh, Pak, capek.
Lurah : Sampeyan ini bagaimana? Baru
begini saja capek. Ayo cepat! Sampeyan dan mbak Seseorang ke sana. Mas
Seseorang cari yang sebelah sana.
Seseorang
: Lha Bapak?
Lurah : Saya jaga di sini.
Warga : Woo...
Seseorang : Sampeyan kok enak?
Lurah : Lho, ini juga bagian dari tugas.
Ayo cepat. Nanti malingnya keburu jauh. Berangkat!
Kemudian muncul Maman
yang dituduh sebagai maling karena waktu warga mencari maling ia tidak
kelihatan batang hidungnya.
Seseorang
: Eh, Pak. (sambil menunjuk ke rumah)
Seseorang
: Iya, Pak. Jangan-jangan...
Lurah : …eits, jangan gegabah dulu.
Seseorang : Tapi ini kan rumahnya…
Lurah : …..iya, tapi jangan asal menuduh
dulu.
Seseorang
: Sudahlah, Pak. Pasti dia. Sekali
maling tetaplah maling.
Lurah : Tenang, tenang dulu. Kita lihat
baik-baik dulu. (mengetuk pintu rumah) Kulo nuwun… Mas Maman… Mas Maman…. Mas
Maman…. (hening)
Seseorang : Lho, bener kan, Pak?
Lurah : Bener apanya?
Seseorang : Ya pasti dia. Lihat dia sekarang pasti
ketakutan di dalam.
Seseorang
: Benar, Pak. Kita dobrak saja
pintunya.
Semua
warga : Ya, ya.. kita dobrak saja
pintunya.
Lurah : Tenang, tenang dulu. Jangan
ngawur.
Seseorang : Sudahlah, Pak. Nanti dia keburu kabur
lewat belakang. Ayo dobrak saja.
Semua
warga : Ya ayo… (mereka mengambil kursi
kayu panjang di depan rumah dan akan digunakan sebagai alat pendobrak)
Semua
warga : Satu… dua…. Ti….
(Maman
tiba-tiba muncul dari luar panggung)
Maman
: Hoi, ada apa ini?
Lurah : Lho, Maman? (pada warga) He,
bangkunya... Anu, Man, maaf. Tadi kita sedang mengejar maling.
Maman : Lha terus kok pada nggrumbul
di depan rumah saya ada apa?
Lurah : Tadi malingnya lari ke sekitar
sini, jadi e..., kami mengejar ke sini dan e.... kebetulan lewat rumahmu,
jadi..
Seseorang : Jadi sekarang kamu ngaku saja Man.
Mana hasil curianmu?
Maman : Curian? Curian apa? Lha wong aku
dari WC umum kok?
Seseorang
: WC umum? WC umumnya kan
jelas-jelas rusak.
Maman : Eh, anu, sungai.
Seseorang
: Sungai? Di sini mana ada sungai
Man?
Seseorang : Alah, ngaku saja, Man. Sekali maling
tetap saja maling.
Maman : He, mulutmu nggak pernah
disekolahkan ya? Ngomong seenaknya aja. Aku tadi dari jalan-jalan kok.
Lurah : Tenang, tenang. Jangan ribut.
Man, kamu ngaku saja dari mana?
Maman : Dari jalan-jalan, Pak. Suer!
Seseorang : Lha itu apa?
Maman : Mana?
Seseorang : Itu dibalik jaketmu.
Maman : Nih liat (sambil membuka jaket)
Seseorang : Di balik baju.
Maman : Ini (sambil membuka baju) Puas?
Seseorang
: Lha itu apa? (sambil menunjuk
buntelan dalam sarung Maman)
Seseorang : Buka sarungmu!
Maman : Ngawur! Ini aurat!
Seseorang : Pasti itu, Pak!
Lurah : Man, coba lihat isi bungkusan
itu.
Maman : Wah, jangan Pak. Ini bukan milik
umum, Pak.
Lurah : Sudah, keluarkan saja. Daripada
kamu dikeroyok sama orang-orang.
Maman : Ampun, jangan! (menyerahkan
bungkusan pada Lurah)
Lurah : (mengeluarkan sandal dari dalam
bungkusan) Lho, punya siapa ini?
Seseorang
: Lho, itu kan sandalku yang beli
di luar negeri? Jadi kamu Man? Hah?
Lurah : Sudah, sudah. Kita tadi mau cari
maling uang, bukan maling sandal.
Di akhir cerita
diceritakan Maman harus menanggung akibat dari maling yang sebenarnya. Ia
disangka maling karena di rumahnya ditemukan barang-barang yang dicuri tetapi
sebenarnya Maman dijebak oleh maling itu.
Lurah : Man, Maman. (membuka pintu)
Lho, ini malingnya!
(Warga
masuk semua. Mereka keluar dengan membawa seseorang yang berpenampilan seperti
Maling. Yang lain membawa rantang, pakaian, pentungan, senter dan hasil “curian”
lainnya yang ada di dalam rumah Maman)
Seseorang : Akhirnya, kamu kena juga ya.
Seseorang
: Jadi selama ini dia sembunyi di
dalam rumah Maman.
Seseorang
: Maman sialan. Jadi selama ini
dia yang menyembunyikan maling ini.
Seseorang : Selain itu ternyata dia yang mencuri
pakaian kita selama ini. Lihat ini, ini semua pakaianku yang hilang.
Seseorang : Ini juga perlengkapan Hansipku ada
di sini.
Seseorang
: Langsung hajar saja.
Lurah : Tenang dulu, kita lihat dulu
bagaimana wajahnya. (ketika penutup wajah Maling dibuka, ternyata orang
tersebut adalah Maman dengan mulut tersumpal dan tangan terikat.)
Lurah :Lho, jadi kamu malingnya?
Maman : Bukan, Pak. Ini salah paham.
Tadi ada orang yang mengikat saya.
Seseorang : Alasan! Sekali maling tetaplah
maling.
Seseorang : Kalau nyolong makanan dan pakaian
saja berani, nyolong uang pasti juga berani.
Maman : Ampun, bukan saya. Ini salah
paham.
Warga : Ayo hajar saja, sikat dia.
Bakar hidup-hidup.
Maman : Toloooong.....
Adapun latar yang ada
pada naskah drama Maling ini adalah
latar tempatnya di halaman rumah sebuah kampung, di rumah Maman. Latar waktunya
di malam hari.
(Setting
tempat halaman rumah di sebuah kampung. Waktu malam hari. Dari luar terdengar
suara gaduh derap langkah orang berlari sambil berteriak maling diiringi musik
pembuka.
Seseorang : Akhirnya, kamu kena juga ya.
Seseorang
: Jadi selama ini dia sembunyi di
dalam rumah Maman.
Seseorang
: Maman sialan. Jadi selama ini
dia yang menyembunyikan maling ini.
Unsur intrinsik seperti
tokoh dan penokohan, alur, dan latar disampaikan Auf Sahid melalui
dialog-dialognya dengan jelas. Jadi, dari dialog yang diperankan tokoh dapat
diidentifikasi unsur intrinsiknya. Peran yang harus diperankan tokoh juga
diungkapkan Auf Sahid dengan gamblang dari dialog yang dibuatnya. Drama Maling karya Auf Sahid ini banyak
dijumpai pada kehidupan manusia bahwa sesuatu yang tidak dilakukan bisa saja
menjadi ia yang melakukannya karena kebusukan orang lain. Dengan demikian drama
karya Auf Sahid ini menceritakan kehidupan yang dijalani manusia yang sudah
digariskan oleh penciptanya walaupun ia tidak menyukainya.
0 komentar:
Posting Komentar